Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Analisis Politik: Politik Dinasti Merusak Negeri (Studi Kasus Cianjur)
6 Agustus 2024 13:14 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Isma Maulana Ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Permasalahan politik identitas di Indonesia memang menjadi diskursus publik yang mengisi literasi politik sejak dahulu kala, hanya saja mulai kembali hangat selepas rezim Joko Widodo berkuasa sepuluh tahun terakhir ini. Jokowi, seperti yang dilaporkan oleh Catatan Tempo tentang Nawadosa Jokowi telah berusaha mencengkram kekuasaan dengan mengerahkan keluarga dan orang-orang terdekatnya untuk berkuasa.
ADVERTISEMENT
Politik dinasti atau dinasti politik merupakan sistem reproduksi kekuasaan primitif yang mendasarkan kekuasaan pada darah dan keturunan hanya dari beberapa orang saja. Dalam konteks negara demokrasi, dinasti politik justru lahir pada suatu proses yang seolah-olah demokratis; di dalamnya ada pemilihan umum dan lain sebagainya tetapi calon yang ditawarkan adalah orang-orang yang secara keturunan merupakan bagian dari sang penguasa.
Pada kasus baru, kita justru mengenali gejala baru yang marak kembali terjadi dalam demokrasi tanah air, dinasti politik tidak lagi disandarkan pada hubungan darah belaka melainkan dari kedekatan secara pengalaman dan nasib hidup. Gejala ini sebenarnya telah terjadi sejak lama, perilaku Korupsi, Kolusi, Nepotisme sebagai bagian dari sejarah dan “budaya” bangsa telah menjadi warisan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.
ADVERTISEMENT
Tetapi, periode belakangan ini gejala ini semakin menguat dengan keterlibatan ajuda-ajudan atau orang-orang dekat dengan penguasa yang mendapat “titah” untuk duduk di kursi pemerintahan. Ada semacam upaya untuk menggenggam kekuasaan yang hanya berpusat pada satu golongan saja, sayangnya perilaku ini kurang mendapat sorotan dari pengamat hingga jurnalis politik, karena fenomena nepotik-kolusi ini bersemayam dalam ketiak politik dinasti yang disandarkan pada hubungan darah.
Kejahatan terhadap demokrasi yang marak akhir-akhir ini terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang terpilih secara demokratis telah menjadi suatu preseden buruk dalam usaha kita untuk melakukan demokratisasi tanah air dalam segala lini kehidupan bangsa. Bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang duduk di tingkat nasional, bahkan erosi demokrasi terjadi di tingkat bawah hingga desa-desa.
ADVERTISEMENT
Membangun Dinasti dari Bawah
Tak mengherankan jika kemudian V Dem Insitut University of Gotenberg, Swedia memberikan peringkat indeks demokrasi Indonesia di angka 87 atau hanya mendapat 0,36 poin saja di mana pada tahun 2014 lalu indeks demokrasi Indonesia berada di peringkat 63. Penurunan demokrasi kita juga berdampak pada kehidupan di sektor lainnya, hal ini terlihat dari indeks anti korupsi Indonesia yang hanya menurun dari poin 3,84 ke 3,76 dari Badan Pusat Statistik.
Musabab dari perilaku ini merupakan rentetan akibat dari kejahatan konstitusional yang diperagakan di tingkat elite, hukum sebagai moral sekaligus penjaga nilai-nilai dalam merawat kehidupan berbangsa-bernegara telah dihancurkan atas nama kepentingan kecil suatu kelompok saja, ketika politik akhirnya diliarkan tanpa jeratan erat dari hukum maka politik menjadi liar, pada kondisi liar inilah politik justru bertindak secara dekonstruktif.
ADVERTISEMENT
Ketika keadaan seperti ini, seharusnya daerah yang telah mendapat desentralisasi kuasa dan otonomi daerah yang luas sebagaimana amanat reformasi harus hadir menjelma merawat dan menjaga demokrasi. Sayangnya, perilaku daerah dan nasional ternyata tidak berbeda, keduanya berkait-kelindan merusak demokrasi, meskipun tentu tidak semuanya.
Sifat dekonstuktif yang terjadi bahkan ditingkat bawah sendiri sebenarnya sudah terlihat dari masa kampanye pemilu lalu, terlihat bagaimana beberapa organisasi yang berisi para pejabat di tingkat arus bawah mengundang salah satu calon wakil presiden. Tentunya, politik tidak pernah hadir sebagai bagian dari keikhlasan, keikhlasan dalam politik merupakan bentuk keculasan dan kepicikan orang-orangnya.
Senantiasa ada kepentingan yang mengapung yang kemudian tenggelam dalam ambisi, begitu gambaran politik tanah air kita yang telah liar. Di daerah, dinasti politik diwujudkan secara samar-samar dengan dalih “meneruskan Pembangunan”, Herman Suherman misalnya sebagai Bupati Cianjur mempunyai kerabat dekatnya yang duduk sebagai bagian dari anggota legislatif, perilaku lainnya ia juga menaruh ajudannya untuk mendampingi ia sebagai bupati dan wakil bupati periode mendatang.
ADVERTISEMENT
Tertutupnya Akses Politik Bersama
Pada awal mula semangat keruntuhan Orde Baru, kita semua sepakat untuk menciptakan kehidupan demokrasi tanah air yang terbuka untuk semua, hal yang kemudian tidak pernah diberikan oleh Soeharto, seiring berjalannya waktu harapan memang selalu hancur di depan realitas yang membelenggu.
Daerah-daerah yang diberikan angin kebebasan demokrasi justru turut serta mengkhianati demokrasi oleh orang-orang di dalamnya. Perilaku sebagaimana yang dilakukan Herman dalam analisisnya justru akan bersifat dekonstruktif, Cianjur akan menjelam Republic of Fear, di mana kita cemas sekaligus takut bahwa demokrasi tidak akan hidup.
Ketakutan itu disandarkan pada bagaimana proses elektoral Cianjur ke depannya hanya akan diisi dan dimenangkan oleh orang-orang yang merupakan bagian dari titah kelompok-kelompok tertentu saja. Hal ini pernah terjadi sekurangnya pada dua Pemilu sebelumnya, politik dinasti Tjetjep Muchtar telah mengantarkan anaknya, Irvan Rivano menjadi pemenang Pemilu.
ADVERTISEMENT
Dan terbukti, Irvan Rivano telah merusak akuntabilitas demokrasi dengan menjadi bupati yang terkena kasus korupsi. Perlu diketahui, saat itu Irvan Rivano menjabat sebagai bupati berdampingan dengan Herman Suherman, bupati Cianjur hari ini.
Usaha menjaga demokrasi tetap hidup memang harus dilakukan sejak dari bawah, bahkan sejak dalam pikiran orang-orang yang akan mengisi politik. Memang, kita bersepakat bahwa demokrasi bukanlah sistem terbaik, tetapi demokrasi adalah sistem yang paling memungkinkan untuk menjaga the ontology of the not yet kita dan merealisasikannya.
Kemudiannya, kita pun perlu melihat bahwa politik dinasti bukan hanya dinisbatkan pada darah kekeluargaan semata, ia harus melihat pada bagaimana orang-orang tertentu yang dimaksudkan untuk menduduki jabatan tertentu pun sebagai bagian dari politik dinasti.
ADVERTISEMENT