Konten dari Pengguna

Jalan Demokrasi di Tangan Mahasiswa

Isma Maulana Ihsan
Founder Belajar Politik, Mahasiswa aktif S1 Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, aktifis pergerakan, mahasiswa gabut dan pengagum rahasiamu
26 Juni 2024 18:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isma Maulana Ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa sedang demonstrasi. Foto milik pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa sedang demonstrasi. Foto milik pribadi.
ADVERTISEMENT
Ada satu istilah dalam kajian politik kita yaitu ontology-the-not-yet semacam cita-cita atau fantasi di masa depan yang ingin dihidupkan di masa lalu melalui agenda sejarah dengan jalan politik. Yang belum tiba ini dalam kadar pergaulan Indonesia ini ialah menciptakan masyarakat adil dan makmur sebagaimana tertuang di dalam pembukaan konstitusi 1945.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya mencapai yang belum tiba itu, harus dilakukan dengan menjaga agar tidak terjadi chaos; suatu istilah yang menggambarkan bahwa kepakan sayap merpati di Malaysia dapat meruntuhkan kediktatoran Kim Jong Un di Korea utara, untuk itu sebagai bangsa yang bernegara, kita memilih demokrasi guna menjaga cita-cita the not yet itu tetap terpelihara dalam agenda sejarah kita.
Kenapa kita memilih demokrasi? sistem demokrasi bukanlah sistem terbaik dari sederet sistem bernegara yang ada dalam alur sejarah umat manusia, tetapi ia yang paling memungkinkan untuk tetap menjaga kemanusiaan tetap hidup, hal ini diakibatkan dari basis paling fundamental penyelenggara demokrasi ialah warga negara.
Artinya, negara harus menjaga kedaulatan warga negara karena hanya pada dirinya demokrasi dinisbatkan. Meskipun, kerap pada akhirnya demokrasi ditikam karena adanya ketakpedulian pada kedaulatan warga negara tadi yang berakibat pada tidak sampainya demokrasi pada kaidah etisnya; dari, oleh dan untuk rakyat.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, perlu ada penjagaan terhadap demokrasi dari segala kejahatan berbangsa dan bernegara, beberapa ahli menyebut perlu dikuatkannya institusionalisasi lembaga-lembaga negara dalam kaidah trias-politica, lembaga yudikatif tidak melakukan perzinahan politik dengan lembaga seperti eksekutif begitu pun dengan yang lainnya, pada jalan ini demokrasi prosedural akan semakin menguat.
Tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme pun dapat dicegah sedemikian rupa. Meskipun, di sisi lain penguatan demokrasi harus pula dilakukan dengan penjagaan terhadap kebebasan warga negara, kebebasan dalam berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pohon kebebasan ini pun harus dijaga agar tidak menyentuh akar-akar kedaulatan antar sesama warga negara, maka meminjam penjelasan B.J. Habibie, selain diperkuatnya Hak Asasi Manusia (HAM) perlu juga dipertegas tentang Kewajiban Asasi Manusia (KAM).
ADVERTISEMENT

Demokrasi Kita Hari Ini

Demokrasi kita sedang tidak berjalan pada apa yang diharapkan sebelumnya. Bukan hal baru, telah lama demokrasi kerap dimatikan oleh mereka-mereka yang dikatakan pendukungnya. Soekarno misalnya, telah membunuh demokrasi atas nama demos, kebebasan telah ia cabut atas nama penyelamatan Indonesia dari ancaman neokolonialisme dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Hari-hari ini, udara demokrasi kita tercemari polusi gejala-gejala otoritarianisme, pemberangusan media, pengekangan kebebasan hingga perseukusi kepada mereka-mereka yang berani menyatakan pendapatnya. Polusi ini telah dihirup pejabat-pejabat kita, hingga mereka lupa bahwa ada yang belum tiba untuk dipersembahkan kepada rakyat.
Dalam keadaan seperti ini, seyogyanya kaum intelejensia turun tangan, mereka-mereka yang terdidik secara politik harus dapat tampil; menyelematkan demokrasi, menjaga kemanusiaan manusia agar tetap hidup (keep humanity alive) dengan menjaga kesetaraan dan persamaan tetap ada dalam arus sejarah manusia yang telah dihilangkan belakangan ini.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa, adalah satu entitas yang masuk pada kalangan kaum intelejensia ini; mereka tidak boleh berdiam diri saja saat kemanusiaan manusia terancam, jika mereka berdiam diri saja maka sesungguhnya mereka ini telah menghancurkan dan meleburkan semua sifat kemanusiaan, telah menghilangkan segala bentuk tanggung jawab keilmuannya.

Mahasiswa dan Tanggung Jawab Masa Depan

Karena ada visi bersama tentang yang belum tiba; yang harus diambil di masa depan untuk dihidupkan di masa kini (back to the future) maka tanggungjawab menjaga agar agenda tersebut tetap hadir ialah di kalangan mahasiswa sendiri sebagai bentuk pertanggung jawaban keilmuan.
Di Cianjur misalnya, Himpunan Mahasiswa Tjiandjur (HIMAT) telah berusia 62 tahun, telah banyak himpunan ini menghasilkan tokoh-tokoh nasional yang membangun negara dan daerahnya sendiri-sendiri. Misalnya, Deden Nasihin (Aleg terpilih Provinsi Jawa Barat) sebagai kandidat kuat Bupati Cianjur, Mohammad Toha, Dr. Syachru, hingga tokoh muda seperti Asep Daenuri dan Rifky Ramdhan Nur Fazri S.Sos, sebagai tokoh penggerak kepemudaan di sana.
ADVERTISEMENT
HIMAT telah berkontribusi menghasilkan kader-kader terbaiknya pada upaya untuk mencapai ontology the-not-yet tadi, tak dapat dipungkiri pemupukan intelektualitas dan etikabilitas perlu dimiliki oleh mereka-mereka yang akan menjadi tokoh sejarah, menjadi penggerak peradaban dan HIMAT telah sukses melakukan hal tersebut.
Tetapi di sisi lain, banyak organisasi mahasiswa tak terkecuali HIMAT surut-pasang kaderisasi sebagai proses pemupukan kecakapan, pembentukan insan ulul albab yang berilmu, berkarakter, bertakwa pada Tuhan YME, berkomitmen pada realisasi cita-cita kemerdekaan Indonesia sebagai kader umat dan kader bangsa, yang mengakibatkan tak terpeliharanya mahasiswa-mahasiswa yang berpotensi.
Hal ini karena tak jarang, mahasiswa Indonesia secara keseluruhan tidak pernah benar-benar memiliki blue print yang jelas perihal kiblat apa yang akan dijadikan patokan pembangunan bangsa ke depan. Mahasiswa ini kerap disimbolkan menjadi cowboy yang hanya datang saat keadaan kota tidak aman, kemudian pergi ke horizon tertentu saat dirasa semua sudah tentram, artinya mereka tak tuntas dalam melakukan pergerakan, mereka tidak selesai melakukan upaya evolusi atau pun revolusi.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan perjuangan mahasiswa ini kerap momentual, ketika momen tersebut telah usang, mereka pun tak menjadi relevan. Maka, dalam konteks perjuangan demokrasi mereka ditantang untuk agar tetap relevan dalam kondisi apa pun dan kapanpun, untuk tetap relevan tersebut maka mahasiswa tak terkecuali HIMAT, harus mendudukan kembali definisi demokrasi yang bukan hanya perebutan, perlebaran dan mempertahankan kekuasaan semata. Pada kondisi ini, kita akan benar-benar serius menapaki the-not-yet tadi.