Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Ke Mana Tempat Pulang?
20 April 2025 11:16 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Isma Maulana Ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Mungkinkah kita sangat begitu kesepian? dan kita mencari banyak hal untuk membuat kita sekurang-kurangnya menghilangkan rasa sepi? teknologi yang semakin melipat semuanya ternyata tak mampu memberikan vaksin penyembuh dari hati-hati yang rapuh? dan kerinduan akan kehangatan terasa begitu memilukan di tengah sepi ramai dunia per-viralan dan ke-trend-an.
ADVERTISEMENT
Manusia berjalan begitu cepat, ke sesuatu yang masih menjadi misteri. Banyak pihak sudah bersuara tentang nasib kemanusiaan manusia, beberapa kawan sudah mengeluarkan petuah; jika teknologi akhirnya lebih manusiawi ketimbang manusia yang kerap dinilai nirempati. Persoalan moralitas, memang manusia lebih banyak mewacanakan ketimbangkan memperlihatkan.
Kerinduan akan pulang yang sesungguhnya ternyata tidak dapat diperoleh dengan rituil ibadah semata, suguhan tontonan dan algoritma media sosial membuat banyak orang memutuskan untuk jaga jarak dengan hal-hal yang pada akhirnya dinilai fatanisme dan kultus individu. Kemudiannya, mereka menjadi alternatif lain dengan mengagungkan sesuatu-sesuatu yang sama buruknya.
Pemilihan budaya tidak dilakukan atas dasar kebebasan dan bentuk niat. Berlindung dibalik ketiak tranding dan agar tidak ketertinggalan jaman, manusia telah bertransformasi menjadi sesuatu yang asing bahkan untuk sesamanya. Dalam sejarah panjang evolusi kita, ini barangkali bukan yang pertama, tapi bagi kita yang merasakan ini pastilah yang paling mengerikan.
ADVERTISEMENT
Kata-kata sebagai bahasa yang membuat manusia dapat menciptakan fiksi dan membuatnya bertahan hidup lebih lama dari sejenisnya telah lebih banyak diketikkan ketimbang dibisikan, manusia lebih banyak menunduk sekaligus mendongak pongah dalam waktu bersamaan ketimbang duduk setara melihat segala kemungkinan yang manis dan harmonis.
Kesepian adalah akibat dari perilaku tadi. Suatu hal yang menjadi implikasi logis dari segala tabiat manusia yang telah berhasil melipat segalanya dalam satu genggaman. Saya barangkali adalah salah seorang korban kegenasan waktu yang mengikis rasa kemanusiaan kita.
Bukan karena kita tidak membaca Max Haveelar atau teori keadilan dari pencetus utilitarian. Melainkan kebenaran dan kebaikan adalah barang dagangan yang dijual secara bebas di pasar kemunafikan. Kebaikan sejati adalah kenaifan sedang kebenaran yang murni adalah sumber kecurigaan. Kita hidup dilingkungan hipokrit dan tidak menjadi lip of service adalah suatu kekeliruan.
ADVERTISEMENT
Kesepian yang akhirnya membungkus kita sebagai insan, telah mengantarkan segala penderitaan. Manusia tak dapat diajak bicara, maka teknologi adalah kawan seutuhnya. Membiarkan kita terlena, dan semuanya menjadi pengulangan kepada awal dari akhir. Kita akhirnya hancur di tengah peradaban yang semakin tak teratur.
Lalu, pada momen tertentu kita bertanya muara akhirnya seperti apa? tanpa kita sadari kita telah berakhir. Maka, benarlah ucapan itu; kemudahan telah membuat peradaban manusia berakhir begitu mengenaskan. Dan di sela-sela upaya reflektif diri, seorang berkomentar di aplikasi toktik tentang, "Hidup kita ya urusan kita, selain donatur dilarang ngatur". (*)