Konten dari Pengguna

Kita Bubarin Indonesia Saja, Ya?

Isma Maulana Ihsan
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Tjiandjur Pusat, Pendukung Indonesia Bubar jika keadaan tidak berubah.
17 Maret 2025 12:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isma Maulana Ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi orang-orang berdemo di Indonesia. FOTO MILIK PRIBADI (Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang-orang berdemo di Indonesia. FOTO MILIK PRIBADI (Istimewa)
ADVERTISEMENT
Sebagai suatu bangsa, kita tidak pernah merasa paling pesimistis sejak hari ini di masa-masa yang lalu. Rasa pesimisme yang lahir bukan karena sumber daya manusia atau alamnya yang tidak mumpuni dan mencukupi untuk menghidupi segenap manusia yang hidup dari air dan tanahnya.
ADVERTISEMENT
Rasa pesimistis itu tidak lahir atas kekalahan pada bangsa lain. Sepanjang sejarah, kita pernah merasakan getir pahit kekalahan; Sultan Agung kalah telak melawan VoC, tetapi dari sana tidak lahir pesimisme, tidak muncul kekhawatiran akan nasib anak cucu. Melainkan muncul kemuliaan atas keberanian untuk tidak tunduk pada mereka yang meracuni.
Tatkala Diponegoro ditipu Belanda atau saat Tjokroaminoto gagal mendirikan pemerintahan sendiri yang dipimpin pribumi, bangsa kita tidak pesimis apakah suatu masa benar-benar akan mewujud negara yang berdaulat, adil dan makmur?. Mengutip yang dikatakan Bung Hatta; kita banyak merasakan kekalahan, tetapi kita tidak pernah merasa kalah.
Rasa kalah yang akan membuat kita hancur, rasa kalah yang akan membuat kita merana, hilang arah dan tak tahu lagi tuju mana yang hendak kita capai. Rasa kalah yang menyelimuti generasiku hari-hari ini, rasa takut yang muncul dan pesimisme paling radikal yang pernah ada sepanjang sejarah bangsa.
ADVERTISEMENT
Kita Kehilangan Makna K.i.t.a
Sebagai suatu kesatuan dari pelbagaimacam suku bangsa, di antara aku, kamu dan dia kehilangan arti kata kita yang merekatkan semuanya dalam satu tunggal yang ika. Kita tak menjadi segan atas segala persatuan yang telah dibangun, malahan tak tanggung-tanggung berani untuk meruntuhkan kata kita dalam partikular-partikular paling banal.
Polarisasi politik atas dasar kepentingan politik semata, elektoral yang tidak bermoral telah mengantarkan kita menjadi bangsa yang tercecah belah, kehilangan identitas kolektif dan terjebak pada fantasi-fantasi paling mini yang memecah kongsi. Atas dasar ini, kapital moral sebagai ujung harap pembangun peradaban bangsa, runtuh karena narasi habits of the heart ala Toucqville tidak dihembuskan pada dalam diri bangsa kita.
Taman yang luas bernama Indonesia itu tidak menjelma lagi bunga-bunga yang indah, dan di tengah-tengahnya kita melingkar menikmati sang Garuda yang terbang tinggi, air mancur tidak lahir dari beribu sungai dan maritim kita yang kuat melainkan hasil dari jerit tangis seorang Ibu yang kehilangan anaknya karena memutuskan #KaburAjaDulu atau tentang seorang generasi muda yang hancur dan lara akibat pongah menghadapi dunia Indonesia yang penuh banalitas moral.
ADVERTISEMENT
Kehilangan empati antaranak bangsa telah menjadikan kita sebagai bahasa persatuan dalam kamus Indonesia, dihapuskan dengan dalih perbedaan kecil prefensi politik atau sekadar klub dukungan bola. Pada konteks lebih jauh, kita bahkan kehilangan banyak hal; aparat penegak hukum yang tak bisa diandalkan karena harus bayar, bayar, bayar, revisi UU tentara yang ugal-ugalan, liga korupsi yang membebalkan hingga pemuka agama yang cabul tak berkesudahan beresonansi dengan kematian akal pengetahuan penganut-penganutnya.
Dari Apa Lagi Kita Berharap?
Maka, dari apa lagi kita bisa berharap? segala dimensi kehidupan Indonesia telah menuju pada kegelapannya dan kita tidak tahu butuh berapa masa untuk menemukan kembali cahaya. Lilin-lilin tidak bisa kita hidupkan, karena kita lebih suka mengutuk kegelapan ketimbang menyalakan lilin.
ADVERTISEMENT
Bukan karena lilin itu tidak ada, melainkan siapa peduli orang mau menyalakan lilin atau tidak? rasionalitas bangsa kita digadaikan untuk kebutuhan perut dan kebenaran hanyalah tentang siapa dapat apa dan seberapa banyak? tidak ada moral absolut dalam membangun tanah air, maka keabsolutan itu ialah kepentingan politik pragmatis niretis semata.
Pemimpin kita tidak dapat bertutur secara baik, segala macam bentuk masukan, kritikan dan harapan yang dititipkan pada pundaknya dijawab dengan kalimat arogan dan penuh kecongkakan: NDASMU! dan dengan gaya joget gemoynya menantang sesiapapun yang berani menyatakan pendapat dihadapannya.
Pemuka agama kita sama kacaunya, mereka tidak mendidik umat agar berani untuk bertindak saat keadaan mendesak. Pemuka agama telah memalukan Tuhan atasnama tuhan, menggadaikan keimanan untuk jabatan dan kepentingan pada tangan mereka juga rasionalitas kritis umat mati, feodalisme dipertebal serta khurafat dan takhayul adalah kepercayaan yang tak bisa dibantah apapun.
ADVERTISEMENT
Kaum intelektual kita kerap terjebak dalam gedung-gedung tinggi universitas, senantiasa telat bertindak, telak menerima kekalahan di depan mata. Universitas pula mengobral gelar, jabatan doktor dijual belikan, pengajar melakukan plagiarisme dan kecurangan pengetahuan sedang mahasiswa-mahasiswanya disibukan dengan kebutuhan-kebutuhan irelevan dengan perannya sebagai kaum intelejensia.
Pejabat-pejabat kita tidak pernah konsekuen untuk berpijak pada kebenaran dan integritas, di antara mereka berlomba mengakumulasikan kekayaan untuk dilombakan dalam liga korupsi nasional. Beribu-ribu triliun uang rakyat jatuh ditangan yang salah, berjuta-juta nyawa pula terancam kehidupannya.
Maka, dari apa lagi kita berharap? pada dimensi apalagi kita bisa bermimpi bahwa Indonesia akan baik-baik saja nantinya. Jika seperti ini, apakah tepat mengajukan tesis: Kita Bubarkan saja Indonesia, Ya? karena sebagai suatu bangsa, kita tidak pernah merasa paling pesimis sejak hari ini di masa-masa yang lalu.
ADVERTISEMENT