Konten dari Pengguna

Kita Terlalu Simbolik!

Isma Maulana Ihsan
Founder Belajar Politik, Mahasiswa aktif S1 Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, aktifis pergerakan, mahasiswa gabut dan pengagum rahasiamu
10 Desember 2022 18:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isma Maulana Ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto milik pribadi
zoom-in-whitePerbesar
foto milik pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Secara terus terang saja, saya mau mengatakan bahwa bangsa kita ini terlalu selalu terjebak dalam hal-hal bersifat seremonial, hal-hal yang bersifat simbolik.
ADVERTISEMENT
Substansi dilupakan, dan selalu gampang kagum, gampang seneng, gampang pula benci dan caci makinya. Seolah-olah mereka seperti selembar daun, yang jatuh terombang-ambing dihempaskan angin.
Kita lihat, dulu. Duta Pancasila adalah dia yang tidak paham pancasila, dia yang menjadi duta militer hanyalah seorang yang tau baris-berbaris tidak mengetahui bahwa perang bukan hanya dalam hal senjata, jauh dari itu teknologi menjadi alat perang dewasa ini.
Duta-duta lain, hanya menjadi ajang endorsment, entertain dan lain sejenisnya. Subtansinya acapkali dilupakan, duta pancasila jelas mereka harus mengerti pancasila agar kemudian ia tidak kaku sebagai ideologi negara yang tertutup dan final, bagaimana mau menjelaskan pancasila, jika ditanya tentang pancasila apakah kontruks kebudayaan atau ideologi negara saja bengong?
ADVERTISEMENT
Duta baca, bagaimana mereka mau mengerti pentingnya baca, ketika yang dipersoalkan hanyalah angka literasi di Indonesia nomor 61 dari 62 negara.
Tanpa kemudian, secara kritis berpikir berapa jumlah buku yang ada dalam satu tahun untuk diserahkan kepada masyarakat, tanpa berpikir kenapa masyarakat arus bawah lebih memilih membeli makan ketimbang buku untuk asupan pengetahuan.
Sisi lain, kita melihat feodalisme dan senioritas diutamakan, mereka yang bermodal retorika dan jika menilik pepatah sunda, "Bangga ku payung butut" alias membanggakan diri dengan sesuatu yang remeh, dianggap superior dan hebat. Baru masuk gorong-gorong saja, seorang pejabat sudah dinilai layak menjadi pejabat. Baru bermodal kata-kata manis saja, sudah diagung-agungkan jadi satriyo piningit bangsa!
Kita selalu terjebak pada permukaan, merasa bahwa mereka yang berisik adalah yang paling banyak terisi. Tanpa kemudian merenungkan hakikat sesungguhnya fungsi masing-masing.
ADVERTISEMENT
Dalam ranah dunia mahasiswa hari ini, kita melihat orang-orang ketika mereka bingung terhadap suatu pertanyaan dengan tingkat bahasa yang sewajarnya muncul dari mulut mahasiswa kemudian bertanya, "Jadi intinya apa?", kognitif mereka tidak bermain sebabnya sederhana ketika mereka presentasi, yang dilakukannya hanyalah mencomot dari internet kemudian membacakannya di depan kelas.
Tetapi, perilaku tersebut tidak sepenuhnya berada dalam genggaman kesalahan mahasiswa semacam tadi. Lebih pula ada andil para pengajar yang tidak pernah memberikan penjelasan kepada para mahasiswanya tentang penting atau tidaknya mereka mempelajari hal tersebut sehingga tidak ada ghirah dari mereka untuk secara sungguh-sungguh belajar.
Hal di atas, disebabkan karena memang kita terjebak dalam simbol. Asalkan mereka mengerjakan tugas, ya tidak menjadi masalah. Urusan mereka berpikir atau tidak, itu bukan soal. Dari gaya berpikir dan belajar seperti itu pada akhirnya menjadi lingkaran setan tersendiri.
ADVERTISEMENT
Kita terjebak dalam arus di mana kita terjebak simbol bukan subtansi. Mulai dari duta baca yang tidak tahu bacaan apa yang ia sukai, duta pancasila yang tidak tahu sila-sila pancasila, duta polisi atau militer yang hanya tau baris-berbaris dan muka sangar dan pelbagai persoalan lucu lainnya.
Pada akhirnya, karena realitas kita seperti itu; saya juga mungkin ikut andil bagian dalam arus masyarakat tersebut.