Konten dari Pengguna

Mengaharapkan Pemimpin yang Mampu Menata di Pilkada 2024

Isma Maulana Ihsan
Founder Belajar Politik, Mahasiswa aktif S1 Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, aktifis pergerakan, mahasiswa gabut dan pengagum rahasiamu
5 Juni 2024 14:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isma Maulana Ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto milik pribadi. (Ihsan)
zoom-in-whitePerbesar
Foto milik pribadi. (Ihsan)
ADVERTISEMENT
Perkembangan politik tidak hanya dipengaruhi dengan perubahan arus globalisasi atau pun realitas politik yang terjadi saja. Ia juga turut dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang semakin massif dan canggih. Pengaksesan teknologi pada kancah perpolitikan menjadi sesuatu yang sangat penting dewasa ini.
ADVERTISEMENT
Seorang pemimpin akan direkam tingkah pola, tutur dan perilakunya oleh teknologi. Implikasinya semakin menyulitkan para pemimpin untuk dapat membohongi masyarakat, meskipun berbohong merupakan tabiat utama seorang politisi.
Tetapi, di sisi lain algoritma teknologi pun membahayakan pada beberapa segmen politik yang akan semakin mempolarisasi masyarakat. Misalnya, algoritma kerap kali menawarkan hal-hal yang disukai oleh si pengguna tanpa kemudian mengonfirmasi nilai-nilai etis atau pun kebenaran di dalamnya.
Saat-saat seperti inilah kemudian arus teknologi yang semakin massif ini perlu untuk diimbangi dengan perilaku praktis politik yang beroerientasi pada nilai-nilai etis yang penuh keugaharian dan sadar diri.
Sosok-sosok pemimpin yang hadir dalam drama panggung politik harus memiliki rasa tahu malu karena jika tidak maka pemanfaatan teknologi dengan segala konsekuensinya akan ditrabas.
ADVERTISEMENT
Hal ini, senantiasa berkaitan dengan paradigma berpolitik, sekurangnya paradigma politik utamanya di Indonesia selalu berada pada dua kutub: Kalah-Menang (Kenarokisme) atau Kesatriya (politik demokratis).
Paradigma pertama selalu menisbatkan politik pada persoalan kalah-menang, melepaskan proses pada persoalan yang luhur, pokoknya asal menang saja. Kalah merupakan sesuatu yang hina, maka dalam prosesnya pelanggaran etika dan lain semacamnya adalah halal.
Di media sosial, paradigma pertama ini selalu meniscayakan keterpecah belahan, penghembusan isu meskipun hal itu tendensius dan bohong serta ujaran kebencian adalah hal yang dianggap normal dalam politik.
Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan pandangan kedua yang mendudukan politik pada nilai-nilai yang luhur, politik dijadikan acuan untuk merealisasikan ide-ide pembangunan. Maka, masyarakat dididik untuk dapat berdiri di atas kaki sendiri baik secara intelektualitas atau pun pada program kerja yang dirumuskannya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat tidak dididik menjadi manja dengan hanya mengharapkan pemberian semata, masyarakat tidak diajarkan untuk hanya berpangku tangan saja menerima uluran bantuan pemerintah yang senyatanya banyak menggembosi APBN.
Melainkan, masyarakat diberikan kesempatan yang setara dan sama dengan pemberian ruang-ruang kerja kreatif sekaligus inovatif untuk mengembangkan kemampuannya, hal ini ditopang pula dengan pendidikan politik dan literasi digital yang mapan.
Sayangnya, pemilu bulan februari 2024 lalu belum bisa menampilkan paradigma kedua ini, kita masih terjebak dalam paradigma pertama sehingga tidak memberikan gambaran yang lebih jelas pada konteks pembangunan nasional ke depan.
Mengharapkan Pemimpin yang Mampu Menata
Akan tetapi, kita tetap musti berharap. Pada pemilukada 2024 mendatang, semoga ada pemimpin yang mampu menata baik menata pikiran, menata kata, dan menata kotanya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Dengan semakin massifnya perkembangan teknologi tak sedikit banyak pemuda yang akhirnya memiliki ketertarikan untuk dapat tampil sebagai pemimpin yang mampu menata.
Di beberapa wilayah misalnya muncul sosok-sosok muda yang digadang-gadang akan maju pada kontestasi mendatang, Jakarta punya Kaesang-terlepas dari segala kontroversi putusan MA.
Di Cianjur mempunyai Gardian Muhamad yang digadang-gadang masuk radar calon wakil bupati atau Haji Ayung (Sahrul Latief) telah banyak mendapat atensi dari golongan mahasiswa dan pelajar bahwa ia disebut pantas duduk sebagai orang penting di Cianjur, di Bandung sendiri muncul sosok Faridz Nurul Mubaraq yang disebut akan tampil pada kontestasi Pilwalkot Bandung.
Masyarakat bisa memantau nama-nama calon pemimpin yang ada di daerahnya masing-masing untuk kemudian mendalami bagaimana rekam jejak, visi dan etikabilitasnya sebagai calon pemimpin.
ADVERTISEMENT
Dan beruntungnya, teknologi telah mempermudah hal tersebut, seseorang bisa melakukan tracking terhadap sosok calon pemimpin yang akan tampil dan kemudian dapat membagikannya pada masyarakat banyak.
Hal ini tentunya suatu langkah evolusioner dalam rangka mencari sosok pemimpin yang mampu menata untuk perbaikan bangsa dan negara ke depannya. (*)