Pemimpin Muda yang Tak Bisa Memimpin

Isma Maulana Ihsan
Founder Belajar Politik, Mahasiswa aktif S1 Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, aktifis pergerakan, mahasiswa gabut dan pengagum rahasiamu
Konten dari Pengguna
16 Februari 2023 17:42 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isma Maulana Ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto milik pribadi (edited by canva)
zoom-in-whitePerbesar
foto milik pribadi (edited by canva)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya baru saja melihat konten totalpolitik bersama Ferry Irwandi yang bertekad untuk menghidupkan kembali ruang publik sebagai ajang pertukaran gagasan dan pikiran.
ADVERTISEMENT
Banyak pembelajaran dan makna yang saya peroleh dalam konten yang mempersoalkan perubahan dari proporsional terbuka ke tertutup. Di mulai dari bahwa kedua konsep tersebut tidak penting karena yang lebih penting adalah pascapemilu itu sendiri.
Yang jika menilik wacana modern, hal tersebut disebut sebagai akuntabilitas demokrasi (accountability democratie) atau dapat juga disebut demokrasi yang berjalan substantif. Yaitu, demokrasi yang tidak hanya mempersoalkan tentang pemilu tetapi output yakni adanya keterwakilan masyarakat di dalam pascapemilihan umum.
Atau meminjam penjelasan PM Malaysia, Datuk Anwar Ibrahim ketika berkunjung ke Indonesia disebut sebagai, "Penunaian amanah dan punya integritas" kira-kira begitu.
Akan tetapi, jauh lebih dari itu agaknya sudah terlalu banyak konten maupun artikel hingga jurnal ilmiah yang membahas perbincangan tersebut, saya justru tertarik ketika Host acara bertanya kepada Ferry, youtuber dengan cinematik terkeren di Indonesia ini, tentang peran pemimpin muda di 2024.
ADVERTISEMENT
Ferry menjawab, bahwa, "Memuakan". Yaps, hemat saya seolah-olah jawaban Ferry ini mengisyaratkan tentang bagaimana pada hari ini, kita menggembar-gemborkan kepemimpinan kaum muda atau keterwakilan hingga peran kaum muda dalam politik bangsa.
Tetapi, secara alam realitas sendiri kaum muda dalam politik acapkali tidak mendapat kesempatan yang sama karena harus berbenturan dengan pemikiran dari orang yang berada di atas mereka. Walhasil, apa pun yang kemudian dilahirkan ialah apa yang dikehendaki ya hasil daripada "restu" golongan tua.
Di sisi lain, kepemimpinan muda yang secara (meski tidak mengeneralisir) umum masih banyak yang butuh pengalaman dan intelektual selalu berujung kepada egosentris kaum muda. Seperti, biasa terjadi dalam forum-forum pelajar yang kadang selalu tumbuh kecemburuan di antara forum-forum tersebut yang berakhir pada, "Aku benar sendiri".
ADVERTISEMENT
Suatu pernyataan imperatif yang justru tidak membedakannya perilaku antara golongan lama dan golongan baru alias kaum muda. Acapkali pula, argumen yang dipaparkan oleh forum semacam tadi, tidak mendasar dan terkesan serampangan. Menggunakan sesuatu yang seolah-olah keren tetapi senyatanya jauh daripada kata keren itu sendiri. Teriak-teriak pelanggaran hak, tetapi di sisi lain melanggar kewajiban.
foto saat Penulis turun ke jalan sebagai representasi dari kekecewaan para Mahasiswa terhadap pengesahan RKUHP yang masih banyak memuat pasal bermasalah. Foto Milik Pribadi (istimewa)
Persis seperti kita melihat abang-abang "oknum" mahasiswa yang dikirimi lipstik serta bedak oleh Soe Hok Gie, bahwa mereka yang demo dan yang di demo sama saja!
Dalam dunia pelajar pun begitu, forum-forum tersebut selalu merasa ingin baik dengan mengkooptasi hingga mengganggu kinerja organisasi yang sama-sama bergerak dalam usaha untuk "berkontribusi" untuk kemajuan bangsa.
Persis, seperti saling menjatuhkannya para calon politisi yang ingin naik ke tumpuk kekuasaan. Sebenarnya, ini kesalahan siapa? Sistem pendidikan kita yang menitikberatkan pada peringkat sehingga belajar adalah usaha untuk mengalahkan orang lain, bukan untuk memuliakan sesama manusia?
ADVERTISEMENT
Atau ini adalah hasil dari kesalahan sistem politik kita? Yang berparadigma, menang atau kalah, bukan paradigma seperti yang tertuang dalam buku Demokrasi Pilihlah Aku karangan abang Alfian? yaitu paradigma ksatria?
Paradigma ksatria adalah sebuah anggapan bahwa politik tidak harus menang atau kalah, melainkan sudah jauh berbicara bukan hanya tentang pemilu dan pertarungan kekuasaan. Francis Fukuyuma barangkali menyebut istilah ini dengan akuntabilitas demokrasi.
Dan tentunya, untuk mencapai akuntabilitas tersebut dibutuhkan kesadaran dan integritas. Dan inilah yang diperlukan dewasa ini, integritas, suatu kata yang sering kita dengar dalam retorika politisi-politisi kita tetapi urung kita lihat dari perilaku mereka. Termasuk dari generasi muda yang menuntut integritas tapi masih banyak dari mereka bertingkah sebaliknya.
ADVERTISEMENT