news-card-video
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Puncak: Hal yang Luput Diperhatikan

Isma Maulana Ihsan
Founder Belajar Politik, Mahasiswa aktif S1 Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, aktifis pergerakan, mahasiswa gabut dan pengagum rahasiamu
10 Maret 2025 16:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Isma Maulana Ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Milik Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Milik Pribadi
ADVERTISEMENT
Banjir yang melanda beberapa wilayah di Jawa Barat selama beberapa hari terakhir ini telah membuat Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi geram terhadap banyaknya pengrusakan alam yang terjadi di wilayah-wilayah resapan air, pembangunan yang tidak berorientasikan pada kesinambungan alam telah banyak menghancurkan, paradigma yang hanya berpaku pada pengakumulasian kapital telah mendorong banyak insan lalai dan alpa terhadap kewajibannya pada alam.
ADVERTISEMENT
Puncak adalah salah satu wilayah resapan air, penjaga keseimbangan kehidupan manusia di banyak tempat. Kehancuran alam di Puncak akan beresonansi terhadap bencana-bencana alam di berbagai wilayah yang kerap pada akhirnya merenggut korban jiwa dan kerugian material yang tidak sedikit. Pada kondisi demikian, diperlukan adanya penataan ulang terhadap kebijakan yang dikeluarkan sebagai upaya penyelesaian dan pencegahan kembali terhadap pengrusakan alam yang semakin mengkhawatirkan.
Upaya penertiban yang dilakukan tetap harus berpegangan erat pada asas memanusiakan manusia. Alam menjadi prioritas utama, tapi dalam waktu bersamaan harus kait-kelindan dengan nasib manusia yang terkena penertiban juga. Hal yang kiranya menjadi luput dalam diskursus publik akhir-akhir ini, memang, kerusakan alam yang ditimbulkan begitu mengkhawatirkan tetapi melupakan yang sejati dalam dialektika kehidupan adalah sesuatu yang tidak elok pula.
ADVERTISEMENT
Nasib Pekerja di Area Puncak
Penertiban di Puncak, melahirkan dampak sosial lingkungan yang tidak sedikit. Kompleksitas sebagai implikasi logis penerbitan ini menyangkut hal multidimensional kehidupan manusia dan keberlangsungan alam. Satu sisi, muncul harapan akan kembalinya kesejukan dan keasrian Puncak sebagai tempat yang paling asyik menghabiskan waktu bersama keluarga setelah penat dan panas di kehidupan kota.
Tetapi, di sisi lain ada kekecewaan dan kehancuran hati orang-orang yang pernah mencari penghidupan di sekitaran Puncak, derai air mata dan segala kenangan yang bersemayam di Puncak hancur bersama bangunan yang rata. Dilematis kemanusiaan memang hadir di sini, wacana moral kita temukan di dalam kolom-kolom komentar di kanal media sosial. Ada yang menyayangkan, ada pula yang mensyukuri.
ADVERTISEMENT
Namun, kehidupan musti tetap berjalan pemerintah daerah dalam hal ini Bogor dan Cianjur serta pemerintah provinsi Jawa Barat perlu memerhatikan nasib para pekerja yang nasibnya diambang ketidakpastian. Peningkatakan pengangguran juga akan berpengaruh signifikan pada daya beli masyarakat, potensi kejahatan sosial dan kriminalitas terutama di saat-saat bulan Ramadhan dikhawatirkan akan meningkat.
Hal ini menjadi perlu karena ada ribuan pekerja, yang menggantungkan nasib di sekitaran Puncak. Mereka-mereka ini tidak mengerti banyak soal tentang kelangsungan alam, keasrian lingkungan dan lain sebagainya yang mereka ketahui hanyalah bagaimana menyambung hidup dengan bekerja. Bekerja adalah tanda kemuliaan, hanya itu yang mereka pahami dan yakini, ketika tempat bekerja mereka digusur ke manakah mereka berjalan akhirnya?.
Wacana publik dan hegemoni media, perlu mengangkat persoalan ini ke ranah permukaan agar pada akhirnya setiap stakeholder yang ada memerhatikan keberlangsungan setiap dimensi; alam dan manusianya. Menata alam harus dibarengi dengan pemanusiaan manusia, sejalan dengan pembangunan infrastruktur yang memerhatikan aspek sosiologis pembangunan tidak hanya menjadi proyek-proyek keuangan semata, sebagaimana diterangkan Dedi Mulyadi pada podcastnya bersama Bagus Muljadi.
ADVERTISEMENT
Pemerhatian terhadap nasib para pekerja pun adalah tanda dari pemerintah daerah bahwa memang pemda dan pemrov serius untuk membangun wilayahnya tidak hanya pada asas pembangunan dan pengembalian keasrian tetapi sisi kemanusiaan yang juga diperkuat. Abai terhadap nasib dan masa depan mereka adalah tanda bahwa pemerintah telah meninggalkan rakyatnya.
Ke Mana Kita Berjalan Setelah Ini?
Semua pihak mendukung bahwa persoalan penataan ulang Puncak merupakan sesuatu yang diharuskan, karena semuanya beresonansi dengan banyak hal; pencegahan musibah banjir dan pengembalian keasrian resapan air adalah agenda yang musti didukung pihak manapun. Namun, setelah itu semua dilakukan ke arah mana kita berjalan selanjutnya?.
Adalah ke arah di mana manusianya bisa mensyukuri dengan hati yang ikhlas dan menikmati keasrian alam yang sejati dengan hati yang penuh khidmat akan kesejatian sebagai makhluk Allah di bumiNya. Tentunya, dengan memerhatikan aspek kebutuhan mereka dalam mencari penghidupan. Pemerhatian pemerintah pada ranah aspek ini merupakan ujud nyata kesempurnaan kekuasaannya.
ADVERTISEMENT
Arah ini adalah langkah yang musti dituju, bahwa penyelesaian tentang penataan Puncak tidak boleh melahirkan dendam-dendam karena akan berbahaya pada kelangsungan alam itu sendiri. Problematika pekerjaan yang tak diselesaikan akan membuka oknum-oknum nakal untuk membuka kembali lahan di Puncak dan penertiban serupa dilakukan secara singularitas.
Dan terakhir mengutip yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah.