Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Tata Kelola Pemerintahan di Era Revolusi Industri 4.0
10 April 2018 13:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari maulana ihsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Ketika dunia fisik, digital, dan biologis terus menyatu, teknologi dan platform baru akan semakin memungkinkan warga negara untuk terlibat dalam pemerintahan, menyuarakan pendapat mereka, mengkoordinasikan upaya mereka, dan bahkan menghindari pengawasan otoritas publik” Itu cuplikan pandangan Klaus Schwab yang ia tulis dalam The Fourth Industrial Revolution, What It Means and How to Respond.
ADVERTISEMENT
Peta jalan “Making Indonesia 4.0” telah diluncurkan Presiden Jokowi pada acara Indonesia Industrial Summit 2018 Rabu (4/4) lalu yang merupakan strategi industri nasional di era revolusi industri 4.0. Di bidang pendidikan tinggi, sosialisasi revolusi industri 4.0 juga gencar dilakukan oleh Kemenristekdikti. Berbagai upaya tersebut patut diapresiasi, tetapi tanpa mengubah tata kelola dalam diri pemerintah hal tersebut tidak akan membawa rangkaian perubahan yang holistik, sebab revolusi industri 4.0 akan mendisrupsi di semua bidang.
(Sumber: ksp.go.id)
“Historical coevolution of governance and technology in the industrial revolutions” yang ditulis Tunzelmann pada tahun 2003 telah mencatat bukti-bukti sejarah perubahan utama yang terjadi pada tata kelola pemerintahan kaitannya dalam perubahan teknologi pada tiga masa revolusi industri sebelumnya. Intinya, inovasi teknologi selalu memaksa pemerintahan untuk mau bertransformasi.
ADVERTISEMENT
Tata kelola pemerintahan pada masa revolusi industri 1.0 menekankan pada markets governance, sebab sumber daya kunci adalah tenaga kerja. Pada revolusi industri 2.0 ketika mesin mulai membantu manusia, proses manajerial dikedepankan sehingga yang muncul adalah tata kelola yang hierarkis. Lalu revolusi industri 3.0 di era informasi yang berlimpah menghasilkan tata kelola kolaborasi dan jaringan. Kini, bagaimana dengan tata kelola di era revolusi industri 4.0?
Teknologi menghasilkan inovasi disruptif, yang mengganggu kemapanan. Disrupsi, yang disebut Rhenald Kasali bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present) tidak memberi helaan nafas yang panjang bagi suatu pemerintahan untuk punya cukup waktu memikirkan kebijakan yang antisipatif.
ADVERTISEMENT
Inovasi teknologi memungkinkan terjadinya redistribusi dan desentralisasi kekuasaan sehingga pemerintah akan semakin menghadapi tekanan agar mengubah pendekatan yang digunakan untuk melibatkan publik dalam pembuatan kebijakan. Peran utama pemerintah akan berkurang. Penyediaan transportasi publik yang sebelumnya adalah tugas negara, saat ini bisa diambil alih oleh siapapun yang bisa memanfaatkan inovasi teknologi. Polemik transportasi daring adalah bukti. Kedepan, di bidang lainnya bukan tidak mungkin akan terjadi hal yang sama.
Pada saat bersamaan, negara-negara maju yang selama ini menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menghadapi perubahan yang melaju deras tak tertahankan dan tidak gampang diatasi dengan instrumen yang ada hari ini (Barber, et.al. 2013).
Rangkaian perubahan teknologi dan dampaknya bagi pemerintahan merubah pola hubungan pemerintahan dan warga negara. Perspektif baru negara dalam memandang warga negara dan sebaliknya, akan dibutuhkan. Lebih jauh ini akan berimplikasi pada kebutuhan akan tata kelola, proses kebijakan dan transformasi internal pemerintah yang tepat.
ADVERTISEMENT
Munculnya inisiatif keterbukaan pemerintah (open government) yang awalnya lahir dari dukungan industri TIK di Silicon Valley dalam upaya pemenangan Presiden Obama di AS pada pemilu 2009, diproyeksikan untuk memanfaatkan inovasi teknologi dalam tata kelola pemerintahan. TIK telah dipilih sebagai media utama dalam membangun transparansi dan membuka ruang partisipasi. Gelombang open government kemudian melanda global, termasuk Indonesia yang mulai mengadopsi tahun 2011 dan disebut sebagai masa depan tata kelola pemerintahan di Indonesia.
Sebelumnya, pentingnya tata kelola digital dalam pemerintahan diungkapkan oleh Dunleavy pada tahun 2005 saat memperkenalkan konsep digital governance sebagai “pengganti” konsep New Public Management (NPM) yang banyak diadopsi di pemerintahan. Tesisnya sederhana, berbagai perubahan terkait teknologi akan sangat penting untuk gelombang perubahan saat ini dan berikutnya. Profesor di bidang ilmu politik dan kebijakan publik pada London School of Economics and Political Science (LSE) tersebut provokatif menyebut, “new public management is dead, long live digital era governance”.
ADVERTISEMENT
Titik Temu
Salah satu karakteristik kunci dari revolusi industri 4.0 adalah kecepatan perubahan yang dialami oleh organisasi dan individu, karena inovasi teknologi yang muncul menciptakan cara untuk mengembangkan, bertukar dan mendistribusikan nilai di seluruh masyarakat.
Kecuali teknologi berkembang dalam sistem pemerintahan yang terbuka dan berkelanjutan, revolusi industri 4.0 dapat memperparah ketimpangan pendapatan, meninggalkan miliaran orang dalam ketertinggalan, dan membuang peluang inovasi teknologi untuk membantu mengatasi tantangan lokal, regional dan global.
Inti open government adalah gagasan tentang transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Diakhir tahun 2008, kemunculan blockchain - inovasi teknologi yang memungkinkan transparansi dalam akuntansi karena setiap transaksi ditangkap secara real time - mungkin sama sekali tidak dihiraukan. Namun, kemunculan mata uang virtualnya bitcoin yang kontroversial sekarang tampaknya telah membuat semua sektor termasuk pemerintahan harus melakukan peninjauan di masa depan (foresight) untuk memanfaatkan “invasi” blockchain khususnya dalam sektor publik.
ADVERTISEMENT
Dalam pertemuan World Economic Forum (WEF) on America Latin 2018, negara-negara Amerika Latin telah mulai menginisiasi penggunaan blockchain agar lebih banyak kepercayaan dan transparansi dalam pemerintahan. Mengutip medium.com, di Honduras blockchain mulai membantu masalah penipuan hak atas tanah yang menyebabkan terjadinya korupsi endemik di negara tersebut.
Hadirnya blockchain, seperti sebuah buku besar dimana semua transaksi bersifat transparan dan bisa dicek oleh semua orang sehingga kredibilitasnya bisa dipastikan. Sebuah data (dapat berupa pesan, uang, atau informasi penting) dapat dipindahkan dari satu pengguna ke pengguna yang lain tanpa bantuan pihak ketiga untuk memprosesnya. Pada intinya, masalah yang dihadapi oleh teknologi blockchain adalah keamanan dan integritas data, di dunia yang semakin mengkhawatirkan privasi data dan menurunnya kepercayaan pada pemerintah. Saat ini, negara-negara di dunia mulai memberikan perhatian pada blockchain diberbagai bidang sektor publik.
ADVERTISEMENT
Bias
Jika ada hal yang mungkin paling dikhawatirkan dari open government adalah melawan “keterbukaan” itu sendiri, bahwa seringkali ia tidak "terbuka” sepenuhnya. Menurut The Aspen Institute (2014), semua pembicaraan tentang jangkauan akses teknologi dan inklusifitas, percakapan tentang pemerintahan terbuka, didominasi oleh mereka yang memiliki sarana untuk berpartisipasi. Lalu bagaimana dengan mereka yang marginal dari teknologi? Dan apakah yang mempunyai akses terhadap teknologi mempunyai literasi digital yang memadai untuk dapat memanfaatkannya?
Disisi lain, temuan The Brookings Institution dalam The impact of open government: Assessing the evidence (2016) menekankan bahwa, bahkan informasi yang dapat diakses, penting, dan dipublikasikan dengan baik tidak cukup untuk menciptakan perubahan jika orang (warga negara) tidak memiliki saluran pengaruh: kekuatan untuk bertindak secara individual, atau dengan bantuan badan pemerintah, atau melalui tindakan kolektif.
ADVERTISEMENT
Masa Depan
Jadi, apa yang harus dilakukan ketika perubahan datang terlalu cepat? Dalam forum WEF di Davos Januari lalu yang dihadiri oleh pakar lintas bidang dari MIT, European Commission, Hitachi, WEF, Human Right Watch USA, dan Sberbank yang dimoderatori oleh Ngaire Woods - Dekan Blavatnik School of Government University of Oxford -, menyimpulkan perlunya “agile governance” dalam revolusi industri 4.0 ini. Tata kelola yang tangkas, yang didapat melalui prasyarat keterbukaan.
Open government mensyaratkan open data. Data akan sangat penting selamanya, sekarang dan di masa depan. Walaupun terkadang tidak disadari sepenuhnya, kini revolusi industri 4.0 telah membuka batin kesadaran itu. Tidak hanya pemerintah yang menerima data terbuka meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi publik, ia juga akan menuai manfaat sosial dan ekonomi dari membuka data bagi warga. Daripada mendekam dalam sistem komputer kementerian atau lembaga untuk dilihat oleh segelintir pejabat, data dapat diakses dan digunakan oleh warga untuk mendorong kewirausahaan, inovasi dan pemecahan masalah sosial - meningkatkan nilai ekonomi dan sosialnya secara eksponensial.
ADVERTISEMENT
Inilah sebabnya mengapa open data, menurut WEF akan menentukan negara mana yang berada di garis depan revolusi industri 4.0. Di Indonesia, open data telah mulai diterapkan di beberapa daerah seperti Banda Aceh, Bandung, Bojonegoro, Jakarta, dan Semarang. Berdasarkan temuan awal penulis yang meneliti inisiatif open data di Kota Bandung, kerangka kebijakan di tingkat daerah yang belum ada tampaknya menjadi salah satu faktor utama penghambat inisiatif ini. Dalam kasus Bandung, kerjasama dengan perguruan tinggi dan media untuk dapat memanfaatkan nilai yang dijanjikan open data akan sangat penting sebagai penghubung pemerintah, komunitas, bisnis, dan masyarakat.
Filosofi dari semua ini sederhana. Setiap individu, kelompok, masyarakat, negara, dan interaksi sosial dalam skala global pada setiap satuan waktu menghasilkan gerak dan aktivitas yang membentuk ekosistem kehidupan. Fakta-fakta kehidupan yang terserak tersebut menjadi kesatuan pengetahuan berupa data dengan konteks masing-masing. Data mewakili secara deskriptif sebuah fakta. Jejaring data yang kompleks adalah gambaran kehidupan. Membuka, memahami dan memanfaatkan data yang dibantu oleh inovasi teknologi akan sangat membantu bagaimana mengelola kehidupan sosial itu sendiri. Pemerintahan terbuka, tata kelola data dan revolusi industri 4.0 adalah rangkaian pemilik masa depan.
ADVERTISEMENT
*Maulana Ihsan (Pembelajar Kebijakan Publik dan Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Pasundan)