Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Alasan Siswa Menyontek Ketika Ujian yang Tidak Selalu Karena Bodoh
9 Juli 2021 12:25 WIB
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:57 WIB
Tulisan dari Mohammad Maulana Iqbal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Saya sangat geram sekaligus jengkel dengan mereka, termasuk para guru, apalagi pihak sekolah yang menganggap bodoh, goblok atau apapun itu sebutannya kepada siswa, hanya karena telah menyontek.
ADVERTISEMENT
Menurut saya sendiri, tidak ada siswa yang bodoh, tidak ada siswa yang goblok, semua siswa itu pintar. Hanya pihak pendidik saja yang perlu dikoreksi, kenapa berani-beraninya menganggap siswanya bodoh?
Sedangkan untuk perihal menyontek, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa siswa yang menyontek itu bukan karena dia bodoh. Melainkan terdapat faktor lain yang melatarbelakanginya, hingga mendorongnya untuk menyontek. Biar saya jelaskan satu persatu, agar tidak sembarangan mengatakan bodoh siswa hanya karena dia menyontek.
1. Nilai lebih dihargai dari pada kejujuran
Setujukah kalian, jika saya mengatakan bahwa dalam pendidikan kita, “nilai lebih dihargai dari pada kejujuran.”
Jadi begini, jika seorang siswa melakukan kejujuran secara total, tapi mendapatkan nilai jelek, maka siswa tersebut akan dimarahi, disalah-salahkan bahkan direndahkan. Meskipun dia jujur loh, ya. Kejujurannya seolah-olah tidak dihargai sama sekali.
ADVERTISEMENT
Nah, jika seorang siswa tidak jujur, asalkan tidak ketahuan menyontek, dan mendapatkan nilai yang baik, maka ia akan disanjung, dipuji dan dihargai karena nilainya yang baik.
Dapat dilihat sendiri, deh, bahwa di setiap akhir kelas, akhir ujian atau pengumuman hasil ujian maka nilai akan dipajang, dipamerkan dan amat dihargai. Sedangkan kejujuran akan terabaikan begitu saja.
“Tapi, kenapa tidak belajar lebih giat dan tekun saja, agar mendapatkan nilai yang baik sekaligus berlaku jujur dalam mengerjakan ujian.”
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari langsung ke nomor dua saja, ya.
2. Siswa selalu diajarkan untuk berpola pikir pragmatis
Percaya atau tidak percaya, nyatanya yang terjadi selama ini yakni siswa itu selalu diajarkan untuk berpemikiran simpel, cepat dan menyisihkan proses yang panjang dalam mengerjakan sesuatu.
ADVERTISEMENT
Begini saja, deh, saya beri perumpamaan dalam pelajaran matematika, agar lebih mudah dipahami. Ketika mengerjakan soal matematika, siswa pada mulanya akan diajarkan untuk menggunakan rumus yang panjang banget, sepanjang rell kereta api. Kemudian, ketika telah memahaminya, maka siswa akan diajarkan rumus yang simpel, lebih cepat dan lebih ringkas dibandingkan dengan rumus sebelumnya.
Namun, yang sangat disayangkan adalah biasanya rumus yang lebih pragmatis alias simpel ini akan lebih diunggulkan dibandingkan rumus yang panjang dan memakan banyak waktu.
“Lantas apa hubungannya dengan tindakan menyontek?”
Yang ingin saya katakan adalah logika atau pola berpikir siswa telah tertanam dengan amat apik untuk lebih mengunggulkan cara-cara atau tindakan-tindakan yang lebih simpel dan praktis, dibandingkan dengan cara atau tindakan yang ribet, lama maupun panjang. Nah, menyontek adalah salah satu bentuk cara praktis dibandingkan dengan harus belajar giat dan tekun yang membutuhkan proses lama.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, siswa lebih memilih menyontek dari pada harus belajar dengan giat dan tekun terlebih dahulu, dikarenkan pola pikirnya telah ditanamkan seperti itu sejak awal, untuk lebih memilih yang pragmatis, simpel, no ribet.
3. Terdapat pertanyaan yang dianggap susah
Sampai detik tulisan ini, saya sangat-sangat percaya dengan teguh bahwa setiap siswa pasti pernah mengalami kesusahan ketika mengerjakan soal ujian. Meskipun siswa tersebut manusia setengah dewa sekalipun. Pasalnya, siapapun yang masih dikatakan “manusia” pasti pernah mengalami kesusahan.
Namun, ketika siswa mengalami kesusahan dalam mengerjakan soal ujian ini, maka kebanyakan siswa ditabrak oleh dua pilihan saja.
Pertama, menjawab soal tersebut dengan jawaban asal-asalan, yang penting terisi kolom jawabannya. Intinya mengangandalkan keberuntungan, bejo, siapatau jackpot. Bahkan salah satu guru saya ada yang memerintahkan untuk menjawab apapun, meskipun tidak tau jawabannya, yang penting jangan sampai kosong kolom jawabannya.
ADVERTISEMENT
Kedua, sedikit lebih ektrem, yakni menyontek. Kembali pada nomor satu awal tadi, bahwa ketika mengalami kesusahan, dan ingin mendapatkan nilai terbaik, maka jalan lainnya adalah dengan menyontek, agar jawaban dapat terisi.
Yang ingin saya katakan adalah siswa dipaksa ataupun terpaksa sekalipun untuk mengisi jawaban di tengah ketidakmampuan menjawabnya. Siswa tidak pernah diperbolehkan untuk mengosongi jawaban. Padahal, menurut saya pribadi, mengosongi jawaban ketika kesusahan menjawab soal ujian adalah cara untuk mengetahui kapasitas kemampuan diri sendiri. Sehingga secara tidak langsung kita telah jujur terhadap diri sendiri.
Jika dengan diri sendiri saja tidak jujur, bagaimana dengan ke orang lain?
4. Ada kesempatan dalam kesempitan
Meskipun terdapat siswa yang serius mengerjakan soal ujian dengan tangannya sendiri, tapi pasti ada saja teman bangsat yang menawarinya alias bagi-bagi jawaban. Sudah niat jujur mengerjakan, eh, malah ada setan yang menggoda.
ADVERTISEMENT
Selaku manusia biasa, tentunya akan tergoda.
Layaknya seorang elit birokrat yang sebenarnya niat bekerja dengan bersih dan jujur, tapi ketika dihadapkan dengan kesempatan dalam kesempitan untuk melakukan korupsi, apalagi telah terjamin kelancarannya dan terbebas terciduk KPK, maka selaku manusia biasa akan tergoda juga. Intinya, di sini hanya perihal iman saja.
Oke, sampai sini kalian paham?
Jadi, jangan sekali-kali mengatakan bodoh kepada siswa, hanya karena dia menyontek dalam mengerjakan soal ujian. Pahami terlebih dahulu situasi, kondisi, sosio kultural, pengalaman siswa maupun sistem yang berlaku dalam kehidupan sontek-menyontek.