Konten dari Pengguna

Guru Seni itu Bukannya Pelit Nilai, Hanya Saja Berusaha Bijak untuk Menilai

Mohammad Maulana Iqbal
Alumnus program studi Sosiologi Universitas Negeri Surabaya, Seorang Santri dan Penulis buku Risalah Kaum Intelektual
9 Juli 2021 12:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Maulana Iqbal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak-anak Menggambar Ular Foto: Bella Cynthia / kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak Menggambar Ular Foto: Bella Cynthia / kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah tidak, kalian mendapatkan nilai 100 atau sebuah nilai sempurna dari guru seni kalian? Entah itu dari tugas menggambar, melukis, maupun membuat karya seni lainnya. Jika kalian pernah mendapatkannya, maka saya akan mengakui anda sebagai profesor seni, atau jika ada gelar yang melebihi itu maka itulah kalian.
ADVERTISEMENT
Mungkin kalian bisa menceritakan bagaimana cara mendapatkan nilai 100 atau nilai sempurna dari guru seni kalian atas karya seni yang kalian ciptakan. Entah itu dari menyogok guru seni, memanipulasi nilai, guru seni itu keluarga kalian sendiri, atau mungkin memang kalian memiliki kecerdasan tinggi perihal seni.
Saya sendiri sepanjang tiga belas tahun bersekolah dari TK hingga SMA, belum pernah sama sekali mendapatkan nilai 100 atau nilai sempurna dari guru seni saya atas hasil karya seni yang saya ciptakan. Meskipun saya sendiri ketika duduk di bangku SD pernah menjadi juara satu dalam lomba kaligrafi yang kebetulan jurinya adalah guru saya sendiri. Lantas apakah kalian tahu berapa nilai untuk juara satunya?
Nilai untuk si juara satunya itu ternyata hanya sembilan puluh! Aneh tidak? Padahal juara satu, kenapa bisa begitu? Juara satu itu bukannya ibarat paling bagus, yang terbaik, yang paling top, yang paling the best dibandingkan dengan yang lainnya. Terlebih, nilai di atas Sembilan puluh itu kan masih ada, yakni 100. Namun, kenapa tidak diberi nilai 100 saja?
ADVERTISEMENT
Bukannya saya mau sombong atau bagaimana, ya, perihal prestasi juara satu lomba kaligrafi itu. Hanya saja saya heran, kenapa bisa tidak ada nilai 100 di pelajaran seni? Padahal, di pelajaran lain ada banyak yang bisa mendapatkan nilai 100.
Begitupun pada pelajaran seni budaya dan keterampilan alias SBK, semasa di bangku SMA saya. Waktu itu ditugaskan menghias topeng. Dikarenakan saya iseng, maka saya mensurvei nilai seluruh angkatan dengan duduk di samping guru ketika sedang menilai tugas teman-teman. Saya hanya ingin tau pada hasil seni siapa yang mendapatkan nilai paling tinggi.
Setelah sedikit jenuh menunggu, akhirnya saya tau bahwa nilai tertinggi yang diberikan guru SBK masa SMA saya itu hanya 89 untuk tugas menghias topeng. Kebetulan juga yang mendapatkan nilai tersebut adalah saya sendiri.
ADVERTISEMENT
Saya sempat berpikir, apakah sejelek itu karya saya dan teman-teman saya? apakah gurunya memang malas menilai? Pasalnya, menilainya cuma kayak membolak-balik begitu saja. Atau mungkin memang guru seni itu irit nilai? Atau bahkan pelit nilai?
Berbagai pertanyaan itu akhirnya saya temukan ketika memasuki kuliah. Bukan berarti saya masuk jurusan seni, ya. Justru saya masuk jurusan sosiologi yang dipaksa untuk kritis atas segala hal.
Jadi, ternyata guru seni di masa sekolah saya itu bukan karena irit nilai, atau bahkan pelit memberi nilai. Hanya saja dia berusaha bijak dalam menilai sebuah karya seni. Pasalnya, sebuah seni itu dapat dimaknai keindahannya, kebagusannya maupun kemenarikannya itu berdasarkan subjektivitas yang memandangnya.
Misal, bagi seorang seniman profesional, sebuah lukisan abstrak dapat memuat nilai-nilai keindahan tertentu baginya. Namun, itu mungkin tidak berlaku dengan seorang filsuf yang condong pada logika kaku. Bagi seorang filsuf tersebut, justru lukisan abstrak hanyalah lukisan acak-acakan tak bermakna yang tidak ada indah-indahnya sama sekali. Bahkan seorang bayi pun dapat membuat lukisan abstrak tersebut. Sehingga suatu karya seni itu bersifat relatif keindahannya. Bagi beberapa orang mungkin indah, tapi untuk beberapa orang lainnya mungkin ngga indah.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu untuk menghindari pertikaian perihal makna keindahan tersebut, maka guru seni berusaha bijak untuk menilai suatu karya seni siswanya. Bukan berarti siswanya botdoh dalam seni, hanya saja guru seni tidak mau secara otoritatif menilai secara sempurna pada suatu karya tertentu.
Sebab, dia tahu bahwa mungkin baginya karya tertentu bagus dan pantas untuk mendapatkan nilai 100, tapi bagi orang lain belum tentu karya seni tersebut pantas mendapatkan nilai 100. Tolak ukur keindahan dalam seni sangat bersifat relatif, berbeda dengan tolak ukur dalam matematika yang pasti, jika dua tambah dua maka sama dengan empat.
Dengan demikian, sampai kapanpun dan siapa pun itu, seorang guru seni tidak akan memberi nilai 100 atau sempurna kepada tugas karya seni siswanya. Pasalnya, seni sendiri bersifat subjektif dan sangat relatif kepada masing-masing penikmatnya.
ADVERTISEMENT