Konten dari Pengguna

Literasi dan Pembajakan Buku di Indonesia

Mohammad Maulana Iqbal
Alumnus program studi Sosiologi Universitas Negeri Surabaya, Seorang Santri dan Penulis buku Risalah Kaum Intelektual
12 Juli 2021 15:33 WIB
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Maulana Iqbal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tumpukan Buku
zoom-in-whitePerbesar
Tumpukan Buku
ADVERTISEMENT
Bukanlah hal yang baru ketika masyarakat Indonesia memiliki minat baca yang rendah. Fenomena ini sering dibuktikan oleh riset dari berbagai kalangan yang hasilnya tidak jauh berbeda. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang memiliki minat baca yang tidak begitu bagus, bahkan minim.
ADVERTISEMENT
Seperti dari hasil riset Program for International Student Assessment (PISA) di tahun 2015, menunjukkan bahwa tingkat literasi Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara di dunia. Sebuah prestasi yang amat menakjubkan, bukan? Pasalnya, Indonesia memiliki peringkat yang jumlahnya banyak, yakni “enam puluh dua”.
Tidak hanya itu, dari Central Connecticut State University (CCSU) juga merilis pada bulan Maret 2016, mengungkapkan bahwa tingkat literasi Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara di dunia. Peringkat ini semakin menakjubkan lagi, pasalnya Indonesia berada di ranking “KEDUA”, tapi dari belakang.
Melalui dari beberapa hasil riset tersebut, tentu sudah terbukti dan tidak diragukan lagi bahwa Indonesia memiliki prestasi yang cukup miris mengenai minat literasi masyarakatnya. Tepatnya, prestasi minat baca yang hampir terbelakang dari berbagai negara di dunia.
ADVERTISEMENT
Melihat “prestasi” Indonesia tersebut, justru saya saya begitu heran. Justru yang saya sangat herankan yakni di tengah minat baca yang rendah, tapi kenapa justru buku bajakan di Indonesia merajalela?
Hal ini dibuktikan dengan riset yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada bulan Agustus tahun 2010, yang menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki posisi tertinggi dengan skor terburuk pelanggaran hak kekayaan intelektual (HKI) di Asia.
Indonesia memiliki skor 8,5 dari skor maksimal 10, yang menunjukkan posisi teratas dalam pelanggaran HKI. Sedangkan negara lain di bawah Indonesia terdapat Vietnam dengan skor 8,4, Cina dengan skor 7,9, Filipina dengan skor 6,8, India dengan skor 6,5, Thailand dengan skor 6,1 dan Malaysia dengan skor 5,8. Untuk yang menempati skor paling sedikit melakukan pelanggaran HKI yakni ditempati oleh Singapura dengan skor 1,5.
ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa, minat baca sangat minim, tapi pembajakan buku merajalela? Apa mereka para pembajak buku ini tidak begitu tau bahwa kondisi masyarakat Indonesia yang minim minat literasi?
Melalui tulisan ini, saya mencoba menjawab pertanyaan kontradiksi ini yang terjadi dalam konteks merajalelanya buku bajakan di Indonesia. Nyatanya, yang terjadi dalam masyarakat Indonesia memang demikian, bahwa buku bajakan sangatlah langgeng, meskipun minat baca minim.
Konsumsi Buku Bajakan Sangat Tinggi
Meskipun minat baca masyarakat Indonesia itu rendah, tapi justru konsumsi pada buku bajakan bagi masyarakat Indonesia sangatlah tinggi. Sedangkan, konsumen tertinggi buku bajakan yang membuat tercengang lagi yakni dari kalangan mahasiswa, yang katanya kalangan berpendidikan.
Menurut Utami dalam hasil riset skripsinya yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Preferensi dan Perilaku Membeli Buku Bajakan (2009), menerangkan bahwa penggunaan buku bajakan oleh mahasiswa dikarenakan minimnya buku original yang beredar dan mahalnya buku original yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Kenapa buku original minim? Pasalnya, mahasiswa sering kali mencari buku-buku lawas, terbitan tahun lama, yang dari pihak penerbit sendiri sudah tidak mencetak ulang. Terlebih, untuk beberapa dosen, terkadang merekomendasikan buku-buku yang terbitan lama, bahkan yang buku ori-nya sudah sangat langka dan mungkin telah tiada.
Sehingga, dalam kondisi semacam ini, mahasiswa mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus membeli buku bajakan yang sesuai dengan keinginannya. Pasalnya, buku bajakan cenderung membajak buku-buku terbitan yang sudah sangat lawas. Justru, sangat minim sekali pembajak buku yang membajak buku-buku terbitan terbaru kisaran lima tahun terakhir.
Selain itu, aspek yang juga menggugah masyarakat untuk membeli buku bajakan yakni sesuai dengan yang diungkapkan Utami (2009) bahwa buku original lebih mahal dari pada buku bajakan.
ADVERTISEMENT
Hanya dengan harga kisaran dua puluh ribu rupiah saja, maka sudah mendapatkan buku yang diinginkan, meskipun itu buku bajakan. Berbeda dengan buku original yang butuh merogoh kocek agak dalam, bahkan bisa ratusan ribu rupiah hanya untuk satu buku original. Tentu, merupakan sebuah perbandingan harga yang sangat jauh antara buku bajakan dan original.
Terlebih, dalam konteks mahasiswa mencari buku bajakan menjadi pilihan yang dianggap efesien, karena buku yang dicari cenderung hanya digunakan untuk satu dua kali dalam tugasnya saja, atau setidaknya dalam satu mata kuliah tertentu saja.
Pembajak Buku Adalah Pekerjaan yang Menggiurkan
Selain menjadi koruptor, pekerjaan lain yang cukup menggiurkan adalah menjadi pembajak buku. Jika dilihat-lihat, keduanya sama-sama mencuri hak, yang satu mencuri hak kekayaan rakyat, yang satu mencuri hak kekayaan intelektual. Dan, yang namanya “mencuri” adalah pekerjaan yang tidak begitu butuh modal banyak, tapi mendapatkan untung yang banyak.
ADVERTISEMENT
Menjadi pembajak buku tidak memerlukan modal yang banyak. Pembajak buku tidak perlu membayar royalti kepada penulis, tidak perlu membayar jasa editor, tidak perlu membayar pengurusan legalitas buku seperti ISBN dan sejenisnya, ataupun biaya lain di belakang panggung sebelum buku siap diterbitkan.
Pembajak buku hanya bermodal kertas yang tidak begitu berkualitas, tinta dan lem sebagai perekatnya, maka jadilah sebuah buku bajakan yang siap jual. Jadi, menjadi pembajak buku tidak serumit menjadi pengelolah penerbit buku yang menerbitkan buku melalui proses yang panjang.
Selain proses pekerjaan yang tidak begitu rumit dan modal terjangkau, seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa minat buku bajakan di Indonesia ini cukup tinggi. Terutama dikalangan mahasiswa, demi menuntaskan tugas-tugas perkuliahannya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, toko-toko penjual buku bajakan tersebar luas di kota-kota yang memiliki jumlah perguruan tinggi yang banyak. Biasanya toko buku bajakan ini berkamuflase sebagai toko buku bekas. Sehingga tidak terpampang secara jelas dalam spanduknya menjual buku bajakan.
Tidak hanya itu, penjualan buku bajakan saat ini sudah mulai berevolusi dengan menjual buku bajakan di marketplace. Tentunya menjadi keuntungan tersendiri bagi penjual buku bajakan ketika menjual produknya di marketplace. Pasalnya, konsumen akan sedikit kesusahan membedakan buku bajakan atau buku original.
Oleh sebab itu, melalui berbagai keuntungan tersebut, maka tidak mengherankan ketika menjadi pembajak buku adalah pekerjaan yang cukup menggiurkan, bahkan cukup menjanjikan. Sudah modal dikit, peminatnya pun tinggi.
Jadi, maraknya buku bajakan di Indonesia itu bukan karena faktor minat baca masyarakatnya, melainkan konsumsi buku bajakannya yang tinggi dengan “kepentingan tertetu”, seperti rekomendasi dari dosen maupun untuk menuntaskan tugas perkuliahan yang membutuhkan buku terbitan lawas. Di sisi lain, pekerjaan menjadi pembajak buku juga cukup menggiurkan banyak orang, dengan rentetan keuntungan yang akan didapatkan.
ADVERTISEMENT