Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kabinet Merah-Putih: Tinjauan Kritis Modal Budaya dan Politik Balas Budi
3 November 2024 13:33 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Maulana Malik Ibrahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 21 Oktober 2024, presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka resmi melantik 109 pejabat, di antaranya menteri, wakil menteri, dan kepala badan setingkat menteri. Fenomena ini memperlihatkan perbedaan yang signifikan dari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin yang hanya mengangkat total 46 pejabat selama masa pemerintahan 2019-2024. Angka di atas bukan hanya sebatas elaborasi angka pejabat fungsional yang diangkat ataupun—yang akan- diberhentikan, melainkan maksimalisasi kuantitas pejabat pasca revisi Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam konteks ini kementerian dapat dibentuk oleh presiden, sesuai dengan kebutuhan penyelenggara negara.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisannya yang berjudul “Tantangan Masa Depan Pemerintahan Prabowo”, Yanuar Nugroho (2024) menjelaskan bahwa pembentukan kementerian-kementerian baru seharusnya dapat membenahi tata kelola pemerintahan secara efisien. Namun, adanya ekspansi kabinet dipandang hanya untuk menjalankan kekuasaan yang akomodatif, tanpa memikirkan pihak-pihak yang menjadi oposisi. Ketika hal ini terjadi, maka kehidupan demokratis dari tataran penyelenggara negara hingga civil society akan terancam eksistensinya. Apalagi, jika kabinet “gemoy” tersebut gagal dalam melakukan maksimalisasi sumber daya dan peluang dalam menghadapi tantangan Indonesia kedepan pada bagian membangun kapasitas negara.
Namun, dari banyaknya polemik yang ada di permukaan, perlu diadakan suatu tinjauan kritis mengenai modal budaya dari para menteri “Kabinet Merah-Putih” dan politik balas budi di Indonesia. Apakah modal budaya dapat dikorelasikan dengan masyarakat multikultural di Indonesia, serta apa hubungannya dengan politik balas budi pada pemerintahan Prabowo-Gibran?
ADVERTISEMENT
Kabinet Merah-Putih: Representasi Modal Budaya atau Simbol Politik Kekuasaan (?)
109 jajaran pejabat yang ditunjuk oleh Presiden Prabowo untuk mengisi pos-pos kementerian dan/atau lembaga setingkat kementerian diambil dari berbagai latar belakang budaya kesukuan. Data terbaru Tempo (2024) melansir terdapat banyak menteri yang berlatar belakang dari suku Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, hingga Papua. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki tingkat multikulturalisme tinggi. Akan tetapi, lebih jauh lagi hal itu dapat dianalisis lebih kritis menggunakan perspektif modal budaya yang disampaikan oleh Pierre Bourdieu.
Dalam tulisannya yang berjudul “The Forms of Capital” Bourdieu menjelaskan bahwa modal budaya merupakan sarana untuk mempromosikan mobilitas sosial dalam strata masyarakat modern. Ditambah lagi, dapat digunakan untuk melakukan akumulasi pengetahuan budaya yang memberikan status sosial dan kekuasaan. Relevansi konteks modal budaya dan penunjukkan menteri, wakil menteri, atau pejabat setingkat menteri dalam Kabinet Merah-Putih Prabowo ialah menyoal proses pengambilan keputusan. Secara kritis ditinjau dari latar belakang, para menteri ataupun pihak eksekutif dapat melakukan proses pengambilan keputusan dengan melihat objektivitas ataupun situasi dalam sebuah daerah berdasarkan ius constitutum (hukum positif) dan kearifan lokal. Penjelasan di atas, menurut Bourdieu merupakan “modal budaya yang terlembagakan”, di mana individu dari masing-masing kelompok budaya berkumpul dalam satu lembaga—kabinet kementerian- dan mencari solusi atas permasalahan lewat kebijakan yang implementatif dengan tujuan membangun kapasitas negara.
ADVERTISEMENT
Secara kultural, modal budaya dapat dikonfigurasikan sebagai struktur hubungan sosial-politik. Namun, alih-alih menjadi representasi kelompok budaya, justru yang ditakutkan pejabat eksekutif yang ada dalam lingkaran kabinet hanya menjadi simbol politik akomodatif pemerintahan Prabowo-Gibran. Analisis konkret dalam hal ini dapat menggunakan “political symbol” yang dijelaskan dalam perspektif semiotika komunikasi. Marcel Danesi (2004) dalam bukunya yang berjudul “Messages, Signs, and Meanings” menyampaikan bahwa representasi komunikasi politik kepada masyarakat biasanya dilakukan oleh pejabat publik dengan berbagai cara, salah satunya melihat dari perbedaan corak profesi, gender, hingga budaya. Tindakan tersebut dilakukan agar mendapatkan simpati dari masyarakat ataupun konstituen non-pendukung pemerintahan seolah pemerintah telah mengakomodasi seluruh kepentingan lewat pengambilan-pengambilan pejabat kementerian yang dianggap mewakili budaya masing-masing daerah.
ADVERTISEMENT
Bahaya laten yang perlu ditangkap sebagai sinyal kemunduran lembaga negara ialah, inefisiensi birokrasi yang semakin padat dan panjang. Tidak menutup kemungkinan, konflik-konflik antar faksi kementerian ataupun partai politik juga akan bergejolak. Fenomena modal budaya seharusnya digunakan untuk meningkatkan integritas pemerintahan, pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan lokalitas, serta kegemilangan pemikiran para pejabat negara untuk menyelesaikan persoalan yang nyata di masing-masing daerah. Secara sadar, dapat dianalisis bahwa hal ini disebabkan karena adanya politik balas budi yang dilakukan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran dalam konteks penunjukkan menteri, wakil menteri, hingga kepala badan setingkat menteri.
Politik Balas Budi: Pentingnya Pertimbangan Modal Budaya
Dalam sejarahnya bangsa Indonesia telah menjalani politik balas budi sejak tahun 1901 dengan dikenalnya istilah; edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Namun, berbeda konteks dari politik balas budi Belanda ke Indonesia pada masa lalu; konteks yang terjadi dalam politik Indonesia kontemporer ialah para pejabat negara diangkat berdasarkan kedekatan dan loyalitas kepada presiden dan/atau wakil presiden terpilih, bukan kepada rakyat. Para analis menjelaskan mengenai fenomena pengangkatan pejabat ini sebagai “ketakutan terhadap oposisi”. Karena tujuan pemerintahan Prabowo-Gibran ialah menciptakan stabilitas ekonomi dan politik secara nasional, namun konteks itu perlu ditandai sebagai alarm yang berbahaya bagi demokrasi di Indonesia. Alih-alih menyelesaikan permasalahan, tapi hal tersebut akan memunculkan permasalahan baru.
ADVERTISEMENT
Kebijakan dalam pengangkatan menteri, wakil menteri, atau kepala badan setingkat menteri harusnya mempertimbangkan profesionalitas dan keterwakilan daerah—modal budaya- sebagai eksekutor kebijakan. Pertimbangan itu mengacu pada pendalaman permasalahan di masyarakat hingga evaluasi kebijakan yang dilakukan pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Apabila hal tersebut berhasil keterwakilan multikultural akan terjamin dan dapat menjaga asa demokrasi semakin berkembang. Konteks ini tidak dapat dilakukan pada lembaga legislatif, karena pihak legislatif sebagai pihak yang mengawasi, bukan sebagai pihak eksekutor.
Pentingnya pertimbangan modal budaya dalam pemilihan pejabat agar individu tersebut mampu menavigasi jalannya pemerintahan dan tata kelola kelembagaan. Selain itu, dari masing-masing pejabat yang berasal dari kelompok budaya tertentu dapat mengartikulasikan beragam kebijakan melalui pendekatan kultural, serta tidak jauh dari konteks permasalahan sosial. Sekali lagi, Bourdieu dalam bukunya “The State Nobility: Elite School in the Field of Power” menerangkan agar kekuatan-kekuatan negara dalam mengikat kelompok-kelompok budaya tidak dijadikan sebagai sirkuit legitimasi. Diperlukan sebuah langkah konkret dalam pengentasan masalah; khususnya kemiskinan, pengangguran, inefisiensi anggaran, dan pemerataan daerah dalam masyarakat multikultural—Bordieu sering menyebutnya sebagai Bourgeois Class.
ADVERTISEMENT
Analisis terakhir yang dapat diberikan ialah para pejabat yang telah diangkat dalam masa pemerintahan Prabowo-Gibran dalam kerangka Kabinet Merah-Putih, harus menyingkirkan kepentingan elite-elite partai dan mengabdikan dirinya kepada kepentingan rakyat. Dalam tahapan ini, modal budaya perlu mendapatkan tempat untuk melakukan reproduksi “negarawan” dan bukan “politisi”, sehingga tercipta kelas pejabat/penguasa yang tidak hanya menguasai modal ekonomi dan simbolik, melainkan substansi budaya untuk mendukung perkembangan nilai-nilai kultural. Penghapusan ketimpangan sosial juga perlu dilakukan agar nantinya masyarakat memiliki akses modal; dalam ekonomi, budaya, dan sosial yang setara. Dari cara tersebut maka akan tercipta sebuah “habitus” atau cara berpikir atau perilaku yang dapat menghilangkan status quo dan menciptakan transformasi kepemimpinan negara berkeadilan lewat unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat multikultural.
ADVERTISEMENT