KPK Masih Bisa Tetapkan Setya Novanto Sebagai Tersangka Lagi

29 September 2017 22:03 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi koalisi untuk menahan Setya Novanto di KPK (Foto: Antara/Wahyu Putro A)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi koalisi untuk menahan Setya Novanto di KPK (Foto: Antara/Wahyu Putro A)
ADVERTISEMENT
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Cepi Iskandar, mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto pada Jumat (29/9). Menanggapi keputusan ini, Institute for Criminal Justice Reborn (ICJR) menilai ada tiga catatan yang perlu diperhatikan dari putusan hakim tersebut.
ADVERTISEMENT
Pertama, putusan praperadilan tidak menggugurkan kewenangan KPK untuk kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka. Hal ini berdasar pada Pasal 2 ayat (3) PERMA Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
"Sepanjang KPK yakin dan memiliki dalam memiliki dua alat bukti sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 4 Tahun 2016, maka SN masih bisa ditetapkan sebagai tersangka," kata Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddoyono dalam keterangan tertulisnya.
Kedua, ICJR menyoroti alasan hakim yang menyatakan ada kesalahan prosedur karena penetapan tersangka dilakukan di awal penyidikan. Menurut Supriyadi, dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor 4 Tahun 2016 menyatakan bahwa sah tidaknya penetapan tersangka hanya dinilai berdasarkan "aspek formil" melalui paling sedikit dua alat bukti.
ADVERTISEMENT
"Sepanjang KPK mampu menunjukkan ada dua alat bukti yang sah untuk menetapkan SN sebagai tersangka, secara normatif, maka praperadilan tidak lagi relevan menilai konteks apakah penetapan tersangka ditempatkan di awal atau akhir penyidikan," ujar Supriyadi.
Tentang "aspek formil" yang dimaksud, ICJR menyebut hal itu adalah aspek perolehan dan validitas alat bukti, bukan menyangkut penilaian hakim terhadap bukti tersebut. Supriyadi menganggap, seharusnya hakim fokus menilai, apakah perolehan alat bukti yang diajukan KPK untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka sah atau tidak.
Ilustrasi Setya Novanto (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Setya Novanto (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Ketiga, alasan hakim yang menyebutkan bahwa bukti yang diajukan tidak boleh bukti yang digunakan dalam kasus lain. Pertimbangan ini dianggap membingungkan sebab hukum pidana mengenal beberapa ketentuan dan teori yang secara langsung membuka peluang sebuah alat bukti digunakan pada lebih dari satu tersangka atau terdakwa.
ADVERTISEMENT
"Contohnya dalam konteks aturan penyertaan yang diatur dalam Bab V KUHP, maka satu alat bukti, misalnya saksi yang melihat suatu perbuatan pidana terjadi, dimungkinkan melihat lebih dari satu orang melakukan tindak pidana, dalam praktik, apabila kasus diperiksa secara terpisah, maka seorang saksi yang merupakan bagian alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, sah dijadikan alat bukti dalam dua pemeriksaan kasus tersebut. Hal ini berlaku untuk alat bukti lainnya seperti surat, sepanjang bisa menerangkan keterkaitan dan membuktikan perbuatan pidana terjadi untuk memenuhi unsur delik" papar Supriyadi.
Ia menilai dalam kasus korupsi yang sifatnya terorganisir, maka peluang kemungkinan besar adanya penyertaan. Ia mengaku heran apabila alat bukti yang sama tidak dapat digunakan dalam kasus dengan terdakwa lain.
Setya Novanto di KPK. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)
zoom-in-whitePerbesar
Setya Novanto di KPK. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)
Selain itu, dia juga menyebut seharusnya hakim hanya menilai "aspek formil" dari alat bukti, bukan soal penilaian atas alat bukti itu karena hal tersebut merupakan domain dan kewenangan dari pemeriksasan pokok perkara di ruang sidang.
ADVERTISEMENT
"Namun perlu digaris bawahi, bahwa catatan ICJR di atas tentu saja tidak terlepas dari belum adanya aturan yang komprehensif soal praperadilan, meski PERMA Nomor 4 tahun 2016 sudah hadir, namun belum mampu menutup celah yang masih banyak muncul," kata Supriyadi.
Terkait proses peradilan, ICJR menyoroti adanya sejumlah problem seperti problem jangka waktu, dan problem hukum acara yang tidak jelas dan abu-abu antara perdata dan pidana. "Atas dasar itu, ICJR mendorong agar Pemerintah segera memperhatikan keadaan ini dengan mengambil langkah-langkah cepat dan responsif, salah satunya dengan cara menerbitkan aturan transisi berupa Peraturan Pemerintah untuk mengatur Hukum Acara Praperadilan yang lebih komprehensif" kata dia.