Konten dari Pengguna

Kesejahteraan Guru Retorika Politik atau Komitmen Nyata?

Maulana Yusup
Mahasiswa dan karyawan s1 Pendidikan keguruan
30 April 2025 10:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulana Yusup tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Guru seringkali disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka adalah orang-orang yang mengajarkan huruf demi huruf, menanamkan nilai dan ilmu, serta membentuk masa depan bangsa lewat generasi muda. Tapi apakah negara benar-benar memperhatikan nasib mereka? Di balik pujian dan penghargaan setiap 25 November, banyak guru di Indonesia yang masih hidup dalam kesulitan, terutama mereka yang berstatus honorer.
ADVERTISEMENT
Setiap datang pemilu atau pergantian kekuasaan, kesejahteraan guru selalu ada dalam janji kampanye. Para politisi selalu menjanjikan kenaikan gaji, tunjangan profesi, dan pengangkatan guru honorer menjadi ASN. Tapi setelah pemilu usai, janji itu sering kali tidak benar-benar dijalankan atau hanya berlaku untuk segelintir orang dan tidak merata
Pemerintah pada tahun 2025 mengklaim telah menyiapkan anggaran lebih dari Rp81 triliun untuk kesejahteraan guru. Bahkan disebutkan bahwa guru non-ASN akan menerima tunjangan Rp2 juta per bulan, dan guru ASN akan mendapat tambahan sebesar satu kali gaji pokok. Di atas kertas, angka ini memang terlihat menjanjikan. Tapi kenyataannya, banyak guru honorer yang masih menerima gaji jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Beberapa dari mereka bahkan hanya mendapat Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per bulan angka yang jelas tidak cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Menurut data dari Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), sekitar 74% guru honorer masih hidup di bawah standar upah layak. Ini jelas menunjukkan bahwa anggaran besar tidak selalu berarti pemerataan dan keadilan bagi semua guru. Banyak di antara mereka yang bekerja dengan dedikasi tinggi, tetapi tidak pernah merasakan penghargaan yang layak secara finansial.
Kesenjangan antara guru ASN dan honorer sangat mencolok. Guru ASN mendapatkan gaji tetap, tunjangan, dan jaminan pensiun. Sementara itu, guru honorer harus menghadapi kenyataan pahit: bekerja keras tetapi tidak diakui secara adil. Bahkan untuk mengikuti pelatihan seperti Pendidikan Profesi Guru (PPG), mereka harus bersaing dan sering kali tidak punya akses yang setara. Di daerah-daerah terpencil, situasinya bahkan lebih buruk. Banyak guru yang harus mengajar dalam kondisi serba kekurangan: ruang kelas rusak, tidak ada buku, dan fasilitas sekolah yang minim. Dalam kondisi seperti itu, mereka tetap datang ke sekolah setiap hari, mengajar dengan semangat, walau penghasilan mereka tidak cukup untuk menghidupi keluarga.
ADVERTISEMENT
Yang menyedihkan, perhatian kepada guru sering kali hanya muncul saat momen-momen tertentu: saat pemilu, Hari Guru, atau saat ada kasus viral di media sosial. Setelah itu, masalah kesejahteraan guru kembali tenggelam. Seolah-olah nasib guru hanya penting ketika menguntungkan secara politik.
Pertanyaannya: apakah janji-janji kesejahteraan ini tulus, atau hanya permainan kata untuk meraih suara rakyat? Jika benar ada komitmen, seharusnya tidak perlu menunggu pemilu untuk memperbaiki gaji dan status guru. Seharusnya kebijakan itu muncul dari kesadaran bahwa pendidikan yang kuat hanya bisa dibangun oleh guru yang sejahtera.
Guru tidak butuh pujian atau slogan. Mereka butuh kepastian hidup. Pemerintah harus berhenti menjadikan kesejahteraan guru sebagai retorika politik. Ini bukan soal popularitas, tapi soal keadilan. Guru-guru di Indonesia telah lama bersabar. Sekarang saatnya negara hadir dan membuktikan bahwa mereka benar-benar dihargai. Karena jika guru terus disepelekan, maka masa depan bangsa pun akan ikut dipertaruhkan.
ADVERTISEMENT
Made in by canva design