Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Tradisi Keagamaan Komunitas Adat Warga Bonokeling
17 Desember 2022 14:23 WIB
Tulisan dari Maulana Hidayat A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Desa Pekuncen Kecamatan Ajibaran Kabupaten Banyumas

Jika dilihat secara geografis, Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap merupakan wilayah yang berada di wilayah provinsi Jawa Tengah bagian selatan. Pemukiman yang terdapat di Desa Pekuncen juga merupakan pemukiman yang termasuk padat penduduk, dan Desa Pekuncen ini juga terletak tidak jauh dengan pegunungan.
ADVERTISEMENT
Pekuncen merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Akses menuju lokasi Desa Pekuncen termasuk mudah di akses, banyak juga kendaraan berlalu lalang, karena jalan menuju desa tersebut sudah sepenuhnya diaspal dan terdapat juga angkutan pedesaan.
Desa Pekuncen dikenal sebagai desa yang memiliki Komunitas adat kejawen yang memiliki banyak pengikut yang tersebar dibeberapa wilayah. Maka dari itu, Desa Pekuncen juga dikenal dengan desa adat karena keberadaan komunitas adat Bonokeling ini yang juga telah diakui oleh LIPI. Penelitian dari LIPI yang dilakukan pada tahun 2017 yang menekankan pada upaya pengujian proporsisi dan konsep. Berdasarkan hasil studi lapangan tersebut tampak jelas bagaimana komunitas Islam Bonokeling melakukan proses resistensi dan adaptasi secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Pusat Islam blangkon atau penganut ajaran Kyai Bonokeling ini sebagian besar berada di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Lebih tepatnya, pusatnya berada disekitar makam Kyai Bonokeling. Selain di Desa Pekuncen Jatilawang, sebagian besar penganut ajaran Kyai Bonokeling juga bertempat tinggal di Desa Srandil, Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap. Penganut kepercayaan Bonokeling disini berbeda dengan penganut sistem religi lainnya yang ada di Pulau Jawa. Dikatakan sebagai Islam Blangkon, karena penganut ajaran ini memiliki ciri khas yaitu dalam keseharian maupun ketika sedang melaksanakan tradisi, mereka menggunakan pakaian serba hitam dan memakai blangkon bagi laki-laki dan mengenakan kemben bagi perempuan.
Sebagian besar penduduk Desa Pekuncen bekerja sebagai petani dan buruh harian lepas. Mereka hidup dengan mengandalkan hasil bumi atau sumber daya alam yang ada di lingkungan alam sekitar, kemudian tanaman yang biasa mereka tanam yaitu tanaman palawija sehingga mereka mengandalkan tanah sawah yang ada.
ADVERTISEMENT
Desa Pekuncen dikenal oleh masyarakat sekitar dengan desa yang masih kental dengan adat-adat atau yang biasa disebut dengan Islam Kejawen. Walaupun mereka juga beragama Islam, namun mereka memiliki beraneka macam upacara-upacara adat yang masih mereka lakukan hingga saat ini hasil peninggalan dari nenek moyang mereka, eyang Bonokeling.
Menurut Sumitro, Ketua adat komunitas Bonokeling mengatakan bahwa sekitar tahun 1960-an, nama Desa Pekuncen awalnya yaitu Pakuncen, kemudian pada tahun 1980-an nama desa ini mulai berubah menjadi Pekuncen. Kata Pakuncen disini berasal dari kata papak, yaitu tanaman yang ada di daerah tersebut asalasalan dalam cara menanamnya, kemudian disebut ora papak atau dalam bahasa Indonesia berarti tidak rapi. Pekuncen juga berasal dari kata sucen yang berarti suci, disebut suci karena tempat tersebut merupakan tempat yang digunakan oleh Kyai Bonokeling untuk bertapa atau bersemedi. Sehingga nama sucen atau suci dimaksudkan sebagai tempat untuk mensucikan jiwa. Kyai Bonokeling merupakan pendatang dari daerah Pasir, Purwokerto yang kemudian melakukan babad alas di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Pekuncen.
ADVERTISEMENT
Setelah kyai Bonokeling babad alas, kyai Bonokeling juga mendirikan masjid di Desa Kedungwringin dan membangun tradisi disini. Kemudian kyai Bonokeling juga mengajarkan seni terbangan kepada masyarakat sekitar untuk melancarkan penyamarannya agar tidak terbongkar dan diketahui oleh orang-orang yang sedang mengejarnya. Ajaran yang diajarkan oleh Kyai Bonokeling mengenai Tuhan melalui perumpamaan, yaitu “...nyong urip ono sing gawe urip...” kemudian ajaran lain yang dibawakan oleh Kyai Bonokeling merupakan ajaran rukun Islam tetapi hanya ada tiga, yaitu syahadat, puasa, dan zakat. Oleh karena itu, berbeda dengan syariat Islam pada umumnya yang memiliki lima rukun Islam yaitu syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu. Kemudian dalam beribadah kepada Yang Maha Kuasa, maka haruslah melalui perantara, dimana dalam keyakinan ini yang bertindak sebagai “perantara” yaitu kyai Bonokeling. Jadi ketika mereka akan meminta sesuatu kepada Gusti sing gawe urip, maka mereka akan membawa uborampe untuk disajikan di makam eyang Bonokeling sebagai perantara. Mereka percaya bahwa ketika mereka membawa segala macam uborampe tersebut maka eyang Bonokeling akan menyampaikan pesan mereka kepada sang pencipta dan kemudian dikabulkan hajat-hajat mereka.
ADVERTISEMENT