Bahasa Inggris untuk Jenjang Sekolah Dasar, Mengapa Tidak?

maulida arifatul munawaroh
Mahasiswa Psikologi Pendidikan Islam, Interdisciplinary Islamic Studies, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Konten dari Pengguna
4 April 2021 12:43 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari maulida arifatul munawaroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi diedit melalui canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi diedit melalui canva.com
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang tutor Bahasa Inggris, Freelancer, saya biasa mengajar beberapa siswa dari SD, SMP, hingga SMA/SMK. Saya juga ikut menjadi tutor di suatu bimbel (bimbingan belajar) dan meng-handle juga les privat di rumah selama lebih dari dua tahun. Maka dengan latar belakang ini saya sangat terbiasa menghadapi siswa-siswi sekolah dengan kurikulum yang cukup berbeda.
ADVERTISEMENT
Suatu hari saya dapat tawaran mengajar oleh teman untuk mengajar privat keponakannya, saat itu karena saya masih ada waktu senggang maka saya terima tawaran itu tanpa pikir panjang. Singkat cerita hari Senin saya langsung ke rumahnya. Di sana kita mulai perbincangan ringan bersama ibunya. Anaknya bernama Felita, siswa kelas lima Sekolah Dasar (SD). Dari perbincangan singkat ini ternyata Felita hanya menerima mata pelajaran Bahasa Inggris tidak sampai dua semester. Sehingga kedua orang tuanya khawatir ia akan tertinggal, maka akhirnya memanggil saya sebagai guru les untuk memberikan bekal padanya sebelum nantinya lanjut ke SMP.
Pada saat itu saya cukup bingung harus mengajarkan semua dari nol. Saat itu belum ada persiapan apa pun.
ADVERTISEMENT
"Waduhh bisa kacau ini, kudu mulai dari mana coba", batinku. Beruntungnya ibunya sempat membeli beberapa buku pedoman, jadi bisa sedikit lega. Terlebih anaknya antusias dan mudah menangkap materi.
Sebagai 'mantan' guru Bahasa Inggris di salah satu Madrasah Ibtidaiyah (MI), saya pikir meskipun Bahasa Inggris bukan mata pelajaran inti pada jenjang SD atau setingkatnya, namun mata pelajaran ini biasa dan lumrah dijadikan muatan lokal bersanding dengan mata pelajaran kesenian atau keterampilan lainnya. Sudah banyak sekolah yang melakukannya, terlebih sekolah swasta. Saya rasa pihak sekolah bisa mengatur anggaran untuk honor dari guru tersebut menyesuaikan kemampuan dana yang ada.
Jika tidak salah anggaran bisa diambil dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), dan sah-sah saja karena untuk kepentingan pembelajaran. Saya juga yakin fresh graduate tidak banyak yang menuntut gaji banyak di awal pengabdiannya. Mereka juga butuh pengalaman sebelum mendaftar jadi pegawai sipil.
ADVERTISEMENT
*Hmm sedikit curhat pengalaman pribadi hehehe.
Mata pelajaran ini tidak bisa dianggap enteng. Ini bukan hanya soal kosakata yang dikuasai, tetapi perlu juga mengenal struktur bahasa, praktik mendengarkan, dan belajar berbicara melafalkan bahasa orang asing. Membacanya saja kadang sudah mulas, bukan? Bahasa Inggris memang sudah tidak langka kita temukan. Namun, bagaimana bisa kita memahaminya tanpa mengenalnya secara jelas?
Di jenjang berikutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) guru sudah jarang menyentuh kosakata dasar karena menganggap siswa telah memahaminya ketika di SD. Tentunya bagi siswa yang tidak mendapatkan bekal yang cukup untuk menulis tentu akan kesulitan dan tidak menutup kemungkinan psikologisnya akan terganggu.
Rasa minder tak bisa dipungkiri apalagi terhadap siswa-siswi yang berasal dari sekolah favorit. Bahasa kerennya insecure. Saya saja yang sudah mendapatkan cukup bekal dari SD kelas empat masih merasa disconnected dengan pelajaran lanjutan di SMP hingga SMK dahulu.
ADVERTISEMENT
Kembali ke permasalahan awal, singkat cerita saya sudah mengajar sekitar dua bulan, kebetulan dalam seminggu ada dua kali pertemuan. Saat ini ia sudah bisa menguasai sekitar lebih dari 400 kata dan mampu sedikit demi sedikit menyusun kalimat dengan benar. Bukankah hebat? Ini berarti siswa SD mampu kok menerima mata pelajaran ini dengan baik. Setidaknya pilih materi yang ringan untuk dia sedikit mengenal bahasa baru.
Sangat disayangkan jika kemampuan seorang siswi seperti Felita dalam menguasai bahasa ini tidak dapat maksimal karena sistem sekolah atau kurikulum tidak begitu mendukung. Kebijakan Kepala Sekolah diperlukan dalam kasus-kasus seperti ini.
Yahhh... Beruntunglah saya, mampu belajar bahasa asing ini meskipun sempat terseok-seok karena otak lebih lambat alias lola untuk menangkap materi dibanding yang lain. Namun, tak disangka ternyata masih bisa lanjut sampai sarjana hingga bisa bertemu banyak siswa dan segala fakta unik yang ada seperti apa yang saya ceritakan ini. Tapi pada akhirnya kita tidak mampu mengubah banyak hal. Saya sendiri pun hanya mampu menulis di platform seperti ini, harapannya banyak yang baca, sadar, dan lebih peka pada hal-hal kecil seperti ini.
ADVERTISEMENT
Tujuan tulisan ini selain untuk melatih skill menulis, juga menjadi refleksi diri, serta ditujukan untuk mengambil hikmah sekaligus mencoba saya bagikan. Jika bisa lolos publikasi oleh tim editor itu bonus yang membahagiakan.
Memang sedikit-banyak ada rasa kecewa dengan sekolah-sekolah yang masih saja menganggap enteng Bahasa Inggris untuk anak SD. Namun, disini ada juga perasaan bahagia ketika ternyata masih ada kepedulian orang tua terhadap kemampuan anaknya seperti yang ditunjukkan oleh ibu dari Felita.
Mereka tahu kebutuhan anaknya dan memberikan dukungan kuat. Selain itu, saya juga bisa lebih banyak melihat kebahagiaan yang terpancar dari Felita ketika kuis secara lisan bisa dia lewati dengan sangat baik di setiap pertemuannya.
Cerita ini tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun. Ada berbagai sudut pandang yang bisa digunakan untuk melihat masalah ini. Yaps, setiap masalah yang selesai pasti akan diikuti dengan munculnya berbagai hikmah. So, never stop learning!
ADVERTISEMENT
Maulida Arifatul Munawaroh
Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta