news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Islam dan Fenomena Bebas Anak

Maulida Hardillah
Nama saya Maulida Hardillah Seorang Mahasiswi Jurusan Hukum Keluarga di Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2021 9:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulida Hardillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Maulida Hardillah
Ilustrasi anak di luar ruang. Foto: Shutter Stock
Setiap pasangan suami-istri pasti memiliki cara yang berbeda dalam membangun rumah tangga mereka, karena setiap manusia memiliki tujuan yang berbeda dalam segala aspek kehidupan. Dalam sebuah pernikahan, menyatukan dua pemikiran untuk mengambil satu keputusan adalah hal yang tidak mudah. Termasuk mengambil keputusan untuk memiliki keturunan ataupun tidak.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia beberapa waktu lalu, seorang influencer bernama Gita Savitri Diva mengunggah Instagram story yang menjawab pertanyaan dari warganet tentang pilihan ia dengan suaminya untuk tidak memiliki anak dan hanya hidup berdua saja. “Di kamus hidup gue, tiba-tiba di kasih itu unlikely. In my opinion lebih gampang ga punya anak dari pada punya anak. Karena banyak banget hal preventif yang bisa dilakukan untuk tidak punya,” ujarnya.
Adapun kutipan dari buku Childfree and happy oleh Victoria Tunggono mengatakan bahwa “Kebanyakan orang bilang hidup belum sempurna kalau belum punya anak, perempuan belum sempurna kalau belum melahirkan. Tapi saya tahu, hidup saya sudah sempurna tanpa harus ada tambahan suami ataupun anak”. Hal tersebut kerap banyak menimbulkan polemik dan kritik di kalangan masyarakat, karena salah satu fungsi dari pernikahan adalah meneruskan keturunan.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa itu bebas anak?
https://www.istockphoto.com/id/vektor/kumpulan-keluarga-ikon-gm972333824-264707543
Bebas anak atau yang dikenal dengan istilah Childfree adalah sebuah keputusan atau perilaku pasangan suami-istri yang dilakukan secara sadar untuk tidak memiliki anak, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Di kalangan generasi Z banyak sekali yang memilih untuk childfree atau bebas anak dengan berbagai alasan seperti sudah banyak populasi manusia di bumi ini, menjadi orang tua memiliki tanggung jawab yang sangat besar, banyaknya anak yang telantar, takut menyakiti mental anak kelak, memiliki perasaan takut tidak dapat menyayangi dan mendidik anak dengan baik, ketidaksiapan finansial, ketidaksiapan mental, serta masih banyak alasan-alasan lainnya.
Selain itu, adapula beberapa kalangan yang memilih bebas anak karena berprinsip bahwa “Tubuhku adalah pilihanku”. Maksud dari kalimat tersebut adalah mereka berpendapat bahwa tubuh manusia sepenuhnya merupakan hak akan dirinya sendiri dan tidak ada siapa pun yang dapat mengatur tubuhnya kecuali dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di sisi lain ada kalangan yang terpaksa memilih bebas anak karena faktor penyakit.
Bagaimana pandangan islam dalam fenomena ini?
Dalam ajaran agama Islam menganjurkan bahwa setiap manusia wajib untuk menjalankan pernikahan, dan tujuan pernikahan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga dapat memperoleh beberapa manfaat lainnya. Imam as-Sarkhasi menjelaskan di dalam kitab al-Mabsûth:
“Akad nikah ini berkaitan dengan berbagai kemaslahatan, baik kemaslahatan agama atau kemaslahatan dunia. Di antaranya melindungi dan mengurusi para wanita, menjaga diri dari zina, di antaranya pula memperbanyak populasi hamba Allah dan umat Nabi Muhammad saw, serta memastikan kebanggaan rasul atas umatnya.”(Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as-Sarakhsi, al-Masbshût, [Beirut, Dârul Fikr, 1421 H/2000 M], juz IV, halaman 349-350).
ADVERTISEMENT
Pentingnya untuk memiliki keturunan juga telah digambarkan dalam hadist Rasulullah tentang anjuran untuk menikahi wanita yang subur, Imam al-Ghazali menjelaskan:
“Upaya untuk memiliki keturunan (menikah) menjadi sebuah ibadah dari empat sisi. Keempat sisi tersebut menjadi alasan pokok dianjurkannya menikah ketika seseorang aman dari gangguan syahwat sehingga tidak ada seseorang yang senang bertemu dengan Allah dalam keadaan lajang atau tidak menikah. Pertama, mencari ridha Allah dengan menghasilkan keturunan. Kedua, mencari cinta Nabi Muhammad dengan memperbanyak populasi manusia yang dibanggakan. Ketiga, berharap berkah dari doa anak saleh setelah dirinya meninggal. Keempat, mengharap syafaat sebab meninggalnya anak kecil yang mendahuluinya.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddin, (Jeddah, al-Haramain:), juz II, halaman 25).
Dapat disimpulkan bahwa menyambung keturunan adalah hal yang mulia menurut pandangan Islam, karena pernikahan dapat menjadi ladang pahala bagi yang melaksanakannya dan manfaat yang dapat diperoleh jika memiliki keturunan. Di mulai dari seorang perempuan yang mengandung sembilan bulan sepuluh hari, melahirkan dengan bertaruh nyawa, menyusui, merawat dan mendidik dengan sepenuh hati hingga anaknya tumbuh dewasa. Juga seorang laki-laki yang mencari nafkah serta membiayai semua kebutuhan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Dalam sudut pandang islam, semua hal tersebut merupakan hal yang mulia, karena dengan itu seorang manusia akan mendapatkan pahala yang amat luar biasa, serta harmonisnya rumah tangga karena datangnya buah hati.
Apabila sebab yang menjadi kendala dalam keraguan untuk memiliki keturunan adalah tidak mampu secara finansial maka hal tersebut sangatlah keliru, dan bisa dikatakan bahwa seseorang tersebut tidak percaya akan kebesaran Tuhan-Nya yang telah mengatur rezeki hamba-Nya dengan sedemikian rupa. Karena dalam agama Islam seorang hamba tidak akan pernah diuji di luar batas kemampuannya.