Konten dari Pengguna

Universalitas atau Konteks dalam Memahami Manusia?

Maulida Rizki Hasanah
Mahasiswi Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15 Oktober 2024 8:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulida Rizki Hasanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-halaman-buku-membalik-orang-1750566/
zoom-in-whitePerbesar
https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-halaman-buku-membalik-orang-1750566/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam dunia komunikasi, muncul pertanyaan penting: apakah kehidupan manusia sebaiknya dipahami berdasarkan faktor-faktor universal, atau justru dengan mempertimbangkan konteks spesifik? Banyak filsuf dan ahli komunikasi memberikan pandangan berbeda terkait hal ini. Salah satu pandangan yang mendukung pemahaman universal datang dari Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa manusia memiliki kapasitas untuk menggunakan akal budi yang sifatnya universal. Namun, filsuf lain seperti Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer lebih menekankan pada pentingnya konteks dan situasi dalam memahami tindakan manusia.
ADVERTISEMENT
Bagi Kant, akal manusia bersifat objektif dan universal, di mana hukum moral bisa diaplikasikan pada semua individu tanpa memandang situasi spesifik. “Tujuan akal adalah untuk menetapkan hukum universal,” tulisnya dalam Groundwork for the Metaphysics of Morals. Konsekuensinya, kehidupan manusia bisa dipahami dan dinilai dengan prinsip-prinsip moral yang berlaku untuk semua.
Namun, pendekatan ini mendapat tantangan dari para filsuf fenomenologi dan hermeneutika. Heidegger, dalam bukunya Being and Time, memperkenalkan konsep ‘being-in-the-world’ di mana manusia selalu terlibat dalam dunia yang spesifik dan berakar pada konteks sosial, budaya, dan sejarah. Pemahaman tentang manusia, menurut Heidegger, tidak bisa dilepaskan dari keberadaannya di dunia yang penuh makna. Hans-Georg Gadamer, seorang murid Heidegger, juga memperluas gagasan ini dengan menekankan peran penting dari interpretasi dan pengalaman dalam memahami manusia. “Setiap pemahaman adalah interpretasi,” katanya dalam Truth and Method. Dalam pendekatan ini, tindakan manusia tidak bisa dipahami secara universal tanpa mempertimbangkan konteks khusus di mana tindakan tersebut terjadi.
ADVERTISEMENT
Perdebatan ini relevan dengan bagaimana kita memandang komunikasi antarbudaya. Apakah nilai-nilai atau norma yang ada di satu budaya bisa diterapkan secara universal ke budaya lain? Pendekatan universal sering kali terbentur oleh realitas perbedaan budaya yang signifikan. Misalnya, nilai-nilai demokrasi atau hak asasi manusia yang dianut oleh negara-negara Barat, belum tentu memiliki resonansi yang sama di negara-negara dengan tradisi budaya yang berbeda. Edward T. Hall, seorang antropolog komunikasi, menjelaskan bahwa cara manusia berkomunikasi sangat bergantung pada konteks budaya di mana komunikasi tersebut berlangsung. Dalam teorinya tentang high-context dan low-context communication, Hall menegaskan bahwa ada perbedaan mendasar dalam cara informasi disampaikan dan diterima di berbagai budaya. Hal ini menunjukkan bahwa memahami manusia melalui komunikasi tidak bisa lepas dari konteks.
ADVERTISEMENT
Di era globalisasi yang semakin mempersempit ruang antara budaya-budaya yang berbeda, penting bagi kita untuk menghargai konteks dalam komunikasi. Salah satu contoh nyata adalah bagaimana teknologi digital telah mengubah cara orang berkomunikasi. Komunikasi digital tidak hanya mempercepat arus informasi, tetapi juga membawa kita ke dalam ruang di mana berbagai budaya saling berinteraksi. Media sosial seperti Twitter dan TikTok misalnya, menciptakan ruang yang melampaui batas-batas geografis, tetapi tidak berarti melampaui konteks budaya. Perbedaan budaya dalam menafsirkan pesan sering kali memicu kesalahpahaman antar pengguna dari latar belakang yang berbeda. Ini menunjukkan pentingnya memahami konteks dalam berkomunikasi, meskipun kita hidup di dunia yang semakin terkoneksi secara digital.
Di sisi lain, dalam dunia politik, kita juga melihat bagaimana pendekatan universal sering kali tidak memadai. Kampanye global untuk menyebarkan demokrasi, misalnya, sering kali dihadapkan pada resistensi di negara-negara dengan konteks sejarah dan politik yang berbeda. Penerapan prinsip-prinsip demokrasi universal tanpa mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik lokal sering kali menyebabkan ketidakstabilan. Ini menjadi argumen yang mendukung pentingnya pendekatan kontekstual dalam memahami masyarakat dan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan berarti gagasan universalitas sepenuhnya salah. Ada nilai-nilai universal seperti hak asasi manusia yang tetap relevan dan harus diperjuangkan. Tetapi, cara untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut harus disesuaikan dengan konteks masing-masing negara atau komunitas.
Perdebatan antara pendekatan universal dan kontekstual dalam memahami manusia dan komunikasi masih terus berlangsung. Apa yang penting adalah kita tidak boleh mengabaikan konteks dalam analisis kita, tetapi juga tidak sepenuhnya menolak adanya prinsip-prinsip universal yang bisa membantu kita memahami dunia. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terkoneksi, keseimbangan antara universalitas dan konteks menjadi kunci dalam memahami kehidupan dan komunikasi manusia.