Konten dari Pengguna

Pengaruh Golongan dalam Wewenang Tatanan Sosial Masyarakat Tahun 1900 an

Maulida Nurul Fatimah
Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
24 Oktober 2022 6:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulida Nurul Fatimah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada masa Kolonial golongan dalam masyarakat sangatlah terlihat, mulai dari kalangan atas maupun bawah, tidak dipungkiri kesejahteraan masyarakat belum sama rata. Untuk menempuh pendidikan, berdagang, bekerja di pemerintahan, bertani, mengkonsumsi makanan sampai gaya berpakaian juga tetap terlihat dari kelas mana mereka berasal. Maka dari itu posisi golongan-golongan sangatlah berpengaruh terhadap kewenangan dan kewajiban dalam tatanan sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
Penggolongan kelas dalam keagamaan
Dalam masyarakat jawa, Pada buku Sejarah Indonesia Modern, M.C. Ricklefs menyebutkan bahwa pada zaman itu masih sangatlah lumrah untuk menggolongkan kalangan-kalangan untuk menentukan kewenangan serta kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat maupun pemerintahan. Khususnya umat Islam, di nusantara sendiri terdapat golongan-golongan dan juga kelompok-kelompok dalam tatanan sosial masyarakat. Disisi lain Cliffort Geertz menemukan terdapat penggolongan kelas ekonomi untuk lebih jauh meneliti aspek keagamaan masing-masing kelas. Munculah penamaan abangan untuk kelas pertama mewakili kelompok islam sinkretis, santri untuk kelas kedua mewakili kelompok taat, dan priyayi untuk kelas ketiga mewakili kelompok bangsawan keraton. Semuanya mengarah hanya untuk aspek keagamaan dan bukan lagi kelas ekonomi . Abangan adalah sebutan untuk umat islam di wilayah Jawa yang mengaku orang islam tetapi belum menjalankan syariat secara benar, masih percaya akan kepercayaan nenek moyang dan lebih menjalankan ritual daripada syariat islam itu sendiri. Berbanding terbalik dengan abangan, santri adalah masyarakat yang menaati kewajiban-kewajiban islam dalam kehidupan sehari-hari dalam hal ketauhidan dan meninggalkan larangan agama. Yang terakhir adalah priyayi yang didefinisikan dengan kelompok sosial dalam masyarakat jawa yang mengkolaborasikan antara budaya /kultur tradisi dengan kebudayaan Islam-Jawa. Priyayi elite masyarakat Jawa. Priyayi terdiri dari dua kategori, yaitu priyayi dari keturunan raja dan bangsawan dan priyayi dari nonbangsawan yang utamanya naik status karena pekerjaan.
Foto santri (Kredit foto : https://www.shutterstock.com/id/image-photo/jakarta-indonesia-august-26-2016-muslim-717474892 )
Penggolongan kelas menurut domisili bermukim
ADVERTISEMENT
M.C. Ricklefs menyebutkan bahwa ada dua kelompok yang dapat dibedakan dengan wilayah dalam golongan masyarakat ini: kaum muslimin pedesaan yang mengelompokan di sekeliling para guru agama islam (kyai) dan sekolah-sekolah agama mereka (pesantren, tempat para santri) dan, yang lainnya, kelompok-kelompok muslim perkotaan yang sering kali berkecimpung dalam dunia perdagangan. Kelompok-kelompok muslim perkotaan tinggal di daerah tersendiri di kota-kota jawa yang disebut kauman (tempat orang-orang saleh) biasanya tinggal dia sekitar masjid raya. Mereka ini secara langsung bersentuhan dengan gagasan-gagasan pembaharuan dan kemajuan.
Pengelolaan terhadap Pendidikan
Pada masa Kolonial, orang yang berpendidikan masih jarang ditemui karena orang yang bisa menempuh pendidikan adalah orang yang mempunyai materi lebih dan juga dari kalangan atas. Banyak sekali usaha yang dijalankan di bidang pendidikan yang membuat bangga para pejabat belanda. Mereka menyekolahkan beberapa kaum pribumi untuk menjabat di pemerintahan pada saat itu, namun tidak sembarang orang dapat di sekolahkan oleh mereka.
ADVERTISEMENT
Inside of the Stovia heritage building (Museum Kebangkitan Nasional) at Abdul Rahman Saleh road Senen, Jakarta, Indonesia. ( kredit foto : https://www.shutterstock.com/id/image-photo/inside-stovia-heritage-building-museum-kebangkitan-1999471436)
Disebutkan didalam buku Sejarah Indonesia Modern, M.C. Ricklefs, Pada tahun 1900 belanda menyatukan tiga hoofdenscholen “sekolah para kepala” yang lama yaitu di Bandung, Magelang, dan Probolinggo menjadi sekolah untuk lulusannya akan menjadi pegawai pemerintah yang diberi nama OSVIA (Opleidingscolen voor inlandsche
ambtenaren, sekolah pelatihan untuk para pejabat pribumi). Masa pendidikanya berlangsung selama 5 tahun dengan Bahasa Belanda sebagai pengantarnya dan terbuka bagi semua orang Indonesia yang telah menyelesaikan sekolah rendah eropa. Calon calon muridnya tidak harus berasal dari kalangan elite bangsawan. Begitu pula dengan R.A kartini juga membangun pendidikan untuk kaum wanita, walaupun tidak selalu mulus dalam perjalanannya, tetapi pasti dijamin bahwa rakyat pribumi bisa dapat pendidikan yang layak.
ADVERTISEMENT
Golongan-golongan ini sebenarnya berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya dalam pembaharuan dan kesejahteraan rakyat khususnya di pulau Jawa, tetapi dalam pandangan lain ini seperti sangat berbanding jauh, terlebih lagi golongan priyayi yang mempunyai kewenangan lebih tinggi daripada kaum bawah. Ini bisa disatukan dengan diskusi untuk kemajuan Nusantara dan lebih berkembang lagi walaupun masih menganut golongan-golongan.