Konten dari Pengguna

Otorita IKN dan Tanah Adat Warga Kaltim

Maulidia fitya
Sedang menempu pendidikan sebagai mahasiswa Fakultas Hukum
4 Desember 2024 16:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulidia fitya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : https://pixabay.com/id/images/search/tanah%20lingkungan/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : https://pixabay.com/id/images/search/tanah%20lingkungan/
ADVERTISEMENT
Pemerintah (otorita IKN) secara sadar memahami dan mengetahui bahwa banyak masyarakat adat yang masih mendiami dan menetap Indonesia. Mereka memiliki tempat, hukum atau sanksi, kebiasaan, serta adat istiadat yang masih diakui oleh negara. Salah satunya adalah tanah adat. Hal ini tertuang di dalam UUD RI 1945 Pasal 18B Ayat 2 yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya.” Namun, kenyataannya saat ini, pemerintah (otorita IKN) mengambil tempat tinggal mereka yang mana mereka mengambil paksa tanah ulayat mereka. Seperti yang akhir-akhir ini terjadi di Kampung Tua Sabut, Desa Pemaluan, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
ADVERTISEMENT
Warga yang tinggal di daerah tersebut mendapat surat teguran dari otorita IKN karena dianggap rumah mereka berada di kawasan IKN. Warga hanya diberi waktu selama 7 hari sejak ultimatum untuk segera membongkar rumahnya. Tak hanya terjadi pada desa tesebut, bahkan di Desa Sepaku nominal ganti rugi terkait tanah adat memiliki nominal yang sangat kecil, hanya sekitar 150 juta. Bahkan, perjanjian yang awalnya akan diberikan dalam waktu 14 hari sejak penandatangan ternyata belum diberikan setelah 4 bulan berlalu. Kejadian itu semakin membuat masyarakat semakin putus asa. Padahal di Undang-Undang No.12 Tahun 2002 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum (UUPA) mengatur secara rinci terkait prosedur pengadaan tanah mulai dari prencanaan, penetapan lokasi, hingga pembayaran ganti rugi. Dari sini, otorita IKN sudah dapat dituntut karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan kesepakatan di awal.
ADVERTISEMENT
Alasan mengapa, otorita IKN mudah untuk mengambil tanah milik masyarakat adat adalah karena adanya ketidakjelasan status tanah atau surat-surat mengenai tanah tersebut. Sehingga, akan susah dalam menangani kasus tersebut dan menyebabkan mau tidak mau, tanah tersebut akan diakuisisi oleh negara. Apabila tanah tersebut sudah sah menjadi milik negara, maka negara akan dengan mudah memberikannya kepada investor guna mensejahterakan serta memajukan Ibu Kota Nusantara. Hal tersebut didukung dengan revisi UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara oleh DPR yang melegalkan aturan tentang pemberian hak atas tanah lebih dari 100 tahun kepada investor. Dengan adanya UndangUndang tersebut tentu berlawanan dengan UUD RI 1945 Pasal 33 yang mengatur bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang mana hal ini juga sejalan dengan Asas lex superior derogat legi inferiori. Karena secara tidak langsung, pemerintah menggunakan tanah tersebut tanpa berpikir apakah yang dibangun di tanah tersebut dapat memakmurkan rakyat atau tidak.
ADVERTISEMENT
Pandangan Menurut Hukum Adat
Menurut Teori Van Vollenhoven, tanah merupakan masalah yang sangat penting dalam hukum adat. Selain itu, tanah adat juga milik dari masyarakat adat yang telah dikuasai sejak zaman nenek moyang. Pemerintah atau otorita IKN sama sekali tidak memiliki hak dan kewenangan untuk mengambil tanah adat mereka. Bahkan, hak ulayat merupakan hak atas tanah yang tertinggi dalam hukum adat. Tak hanya itu, pengambilan tanah adat secara paksa merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan keadilan sosial.
Menanggapi hal tersebut, jika dipandang menggunakan kacamata pidana adat, pelaku yang merupakan pihak pemerintah dapat dikenai denda guna ganti rugi atas hal yang merugikan bagi masyarakat adat. Mereka sebagai masyarakat berhak mendapatkan kompensasi sesuai dengan biaya yang optimal. Tentunya di dasari dengan adanya kesepakatan bersama terkait pemerintah dan masyarakat adat. Apabila situasi makin serius, tentu masyarakat adat dapat melakukan demonstrasi secara besar-besaran guna mempertahankan hak-hak mereka. Dengan semakin ditunjukkannya betapa pemberontakan oleh masyarakat adat, sudah semestinya, pemerintah tidak lagi mengganggu kekuasaan dari masyarakat adat. Mereka perlu memahami, bahwa tanah adat merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, dengan merebut paksa tanah milik masyarakat adat sama saja dengan menggusur keberadaan mereka dan membawa pergi budaya serta sosial yang ada di lingkungan tersebut. Hal tersebut secara tidak langsung, pemerintah merusak kebudayaan yang ada di Indonesia dan memisahkan antara masyarakat adat dengan budaya leluhurnya. Apabila hal itu terjadi, maka kebudayaan yang ada di Indonesia akan perlahan punah. Karena bagi masyarakat adat, tanah adat bukan hanya sebatas lahan melainkan sebagai bagian integral dari budaya mereka. Hal yang paling penting dalam tanah adat bagi masyarakat adat adala ketika mereka menggunakan tanah adat sebagai tempat untuk menjalankan ritual adat. Di tanah adat tersebut, masyarakat adat dapat menurunkan nilai-nilai tiap budaya kepada generasi-generasi mereka.
ADVERTISEMENT
Selain dari perlakuan di atas yang bisa dilakukan oleh masyarakat adat, masyarakat adat juga dapat menyelesaikan persoalan tanah adat dengan mediasi dan restorasi. Meskipun sudah mendapat jawaban dengan jelas, bahwa pemerintah tidak akan mendengar hal tersebut, masyarakat adat tentu akan menyelesaikan persoalan tanah tersebut dengan musyawarah dan mencari solusi yang tepat serta berkelanjutan. Apalagi jika, tanah tersebut sudah berakhir diambil alih, masyarakat adat juga akan tetap berusaha mempertahankan tanah tersebut. Sebisa mungkin, masyarakat adat akan memulihkannya kembali.
Budaya perampasan ini sepertinya sudah menjadi kebiasaan umum bagi pemerintah. Hak-hak terkait kepemilikan tidak lagi menjadi hal yang sudah semestinya dihargai dan dilindungi oleh pemerintah. Mereka fokus pada tujuan yang katanya ‘memajukan negara' namun di sisi lain mereka pula yang mejatuhkan bangsa. Apabila hal tersebut terus-terusan terjadi, akibat yang akan diterima oleh masyarakat adat adalah mereka akan menjadi gelandangan dan kehilangan hak-haknya serta budaya dari leluhur. Di samping hukum konstitusional, Indonesia sebagai negara multikultural memiliki hukum adat dan hukum agama sebagai bagian dari masyarakat.
ADVERTISEMENT