Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pancasila: Ideologi Dunia yang Melampaui Zaman
30 April 2024 5:40 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari mauranesa39 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mendekati peringatan hari lahir Pancasila, banyak dari kita terlalu sibuk dengan berbagai masalah hidup sehari-hari. Rasa-rasanya, Pancasila hanya jadi sesuatu yang kita ingat sebagai tanggal merah, bukan sebagai sesuatu yang kita hayati dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, banyak persoalan yang kita hadapi sekarang berasal dari kurangnya implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kita.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan dari kita mengenal Pancasila hanya sebatas teks sejarah atau sebagai pelajaran sekolah yang biasa dibacakan dalam upacara. Tidak banyak yang benar-benar memahami atau menggali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ironisnya, di negara asalnya sendiri, Pancasila tidak menjadi bagian dari kesadaran setiap orang, meskipun sebenarnya merupakan ideologi dan filosofi negara.
Pancasila, yang seharusnya menjadi pedoman bagi setiap warga negara Indonesia, terasa semakin jauh dari keseharian kita. Di tengah hiruk-pikuk aktivitas modern dan beragam masalah yang menumpuk, seperti kenaikan pajak, tingginya harga bahan pokok, dan sulitnya mencari pekerjaan, Pancasila sepertinya hanya menjadi hal yang terabaikan. Namun, paradoksnya, persoalan-persoalan tersebut sebenarnya berkaitan erat dengan kurangnya penerapan nilai-nilai Pancasila dalam tindakan sehari-hari.
Pancasila bukan hanya sekadar semacam teks atau mata pelajaran yang harus dihafalkan, tetapi lebih dari itu, ia seharusnya menjadi pedoman moral yang mempengaruhi perilaku dan keputusan setiap individu. Namun, banyak dari kita yang tidak lagi menyadari hal tersebut. Bagi sebagian orang, Pancasila hanyalah bahan hafalan yang dilupakan begitu saja setelah ujian berlalu.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, Pancasila tetap relevan di era modern ini. Bahkan, dalam sebuah pidato yang diakui oleh UNESCO sebagai Ingatan Kolektif Dunia, Bung Karno menjelaskan Pancasila sebagai ideologi universal yang memiliki potensi untuk memecahkan berbagai masalah dunia. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut, kita perlu kembali menyadari dan menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai sesuatu yang bersifat seremonial, tetapi sebagai pedoman yang dapat membawa perubahan positif bagi bangsa dan negara.
Berdasarkan uraian di atas, artikel ini mencoba menjelaskan bahwa Pancasila tetap relevan dan bahkan melampaui zaman dan ideologi lainnya sebagai prinsip yang dapat membantu memecahkan masalah-masalah dunia di tengah krisis ini.
Masalah Umat Manusia
Apakah Pancasila masih penting di era 21 ini? Setelah 22 tahun menjalani abad ke-21, kita dihadapkan pada tantangan-tantangan besar. Lebih dari 77 tahun setelah Indonesia merdeka, 30 tahun setelah perang dingin berakhir, dan empat tahun setelah munculnya pandemi Covid-19, serta dua tahun setelah konflik Rusia-Ukraina, harapan akan masa depan yang penuh kedamaian tampaknya semakin menghilang. Ketika Uni Soviet runtuh pada tahun 1991, muncul keyakinan sejenak bahwa kita akan memasuki era di mana perang tidak akan lagi terjadi. Namun, kenyataannya tidak demikian. Runtuhnya sistem komunis Soviet bukanlah jaminan akan terciptanya masa depan yang demokratis. Meskipun hak asasi manusia semakin diakui dan kesadaran akan solidaritas global semakin meningkat, tantangan-tantangan besar masih menghadang kita.
ADVERTISEMENT
Franz Magnis-Suseno dalam sebuah Essay berjudul “Di Abad ke-21: Pancasila Apa Masih Diperlukan?’ menerangkan umat manusia sedang menghadapi tantangan-tantangan yang amat serius di abad ke-21 ini. Umat manusia sekurang-kurangnya menghadapi lima tantangan hidup mati: krisis demokrasi, ekstremisme ideologis-agamis, tenggelamnya sebagian umat manusia dalam kelaparan, keambrukan lingkungan hidup alami, dan artificial intelligence. Maka menarik untuk melihat lebih jauh bagaimana Pancasila dapat menjadi jawaban ideologi atas kiris tersebut, dibanding ideologi besar dunia lainnya.
Mari kita mulai dari tantangan pertama, krisis demokrasi. Dulu, demokrasi dianggap sebagai harapan besar. Harapan untuk hidup damai, saling menghormati, dengan perlindungan hak asasi manusia yang sama bagi semua orang, tanpa memandang suku, ras, atau agama, serta tanpa diskriminasi. Namun, di banyak bagian dunia, demokrasi tidak pernah berhasil, contohnya di Afrika dan Timur Tengah. Bahkan di tempat-tempat di mana demokrasi sudah ada, ancamannya pun semakin terasa. Di India, minoritas Muslim dan Kristen merasa tertekan, sementara di Amerika Latin, demokrasi yang didapatkan setelah penggulingan rezim militer 40 tahun lalu, kini mulai terancam. Tidak hanya itu, polarisasi di negara-negara demokrasi Barat semakin mengkhawatirkan. Di Amerika Serikat, dukungan antara pendukung Partai Republik dan Demokrat semakin pecah belah. Begitu juga di Eropa, kelompok kanan ekstrem dan penganut teori konspirasi semakin mengancam fondasi demokrasi.
ADVERTISEMENT
Tantantangan kedua adalah eksremisme ideologis-agamis. Ideologi-ideologi eksklusif yang sering kali berbasis agama semakin berkembang, dengan beberapa di antaranya menggunakan kekerasan dan mendukung tindakan terorisme. Ekstremisme agamis seperti itu menjadi penyebab utama kerusakan di Timur Tengah, sementara di Afrika, gerakan Islamic State seperti Boko Haram dan Al Shabab sering kali memanfaatkan perpecahan sosial berdasarkan faktor etnis. Ekstremisme eksklusif ini, terkadang digabungkan dengan populisme, sering kali menggantikan gagasan tentang kesatuan dengan narasi "kami melawan mereka," yang memicu konflik internal dan tindakan terorisme.
selanjutnya adalah kesulitan untuk mengatasi kelaparan di seluruh dunia dan memastikan bahwa semua orang dapat hidup dengan layak dan sejahtera. Pandangan Karl Marx tentang kapitalisme dianggap kurang tepat karena dia menganggap bahwa kapitalisme akan runtuh akibat kontradiksi internalnya. Namun, kenyataannya, kapitalisme justru terbukti sebagai sistem yang efektif dalam meningkatkan produksi. Tapi, masalahnya terletak pada pembagian yang tidak merata dalam masyarakat akibat kapitalisme, di mana ada pihak yang menang dan pihak yang kalah. Secara global, kapitalisme cenderung memberikan perhatian dan dukungan pada negara-negara yang dapat menarik investasi, sementara negara-negara yang tidak berhasil - yang sering disebut sebagai negara gagal - dibiarkan terlantar. Akibatnya, masalah kelaparan dan keterlantaran di dunia semakin memburuk.
ADVERTISEMENT
Barangkali di antara kita ada yang pernah membaca buku berjudul “The End of History and the The Last Man” karya Francis Fukuyama (1992) yang mana salah satu tulisannya berpendapat dengan berakhirnya Perang Dingin dan pembubaran Uni Soviet, perkembangan ideologis manusia telah mencapai puncaknya, dengan demokrasi liberal dianggap sebagai bentuk pemerintahan akhir. Namun, pandangan mana yang saat ini ketinggalan zaman?
Keempat adalah mengerikannya perubahan iklim dan ambruknya lingkungan hidup/ ini sangat serius, bahwa kita dalam bahaya besar. Sepertinya manusia tidak berhasil mengambil policy yang dapat menyelamatkan kita, jika hingga 2030 masih begini, mungkinkah masa hidup kita akan habis?
Yang terakhir adalah entitas baru yang diciptakan umat manusia, Artificial Inelligence (AI). Menurut Yuval Noah Harari dalam bukunya "21 Lessons for the 21st century" tahun 2018, ia memprediksi bahwa pada tahun 2050, separuh dari populasi manusia akan menjadi "tidak relevan". Di Indonesia, ini bisa berarti sekitar 140 juta orang. Mereka yang dianggap "tidak relevan" tidak akan diperhatikan oleh setengah masyarakat lainnya, termasuk dalam hal pekerjaan, kehidupan sehari-hari, bahkan keberadaan mereka. Banyak jenis pekerjaan, tidak hanya yang berbasis fisik seperti sopir taksi, tapi juga pekerjaan di bidang medis, mungkin akan terpengaruh oleh perubahan ini.
ADVERTISEMENT
Pancasila: Sebuah Refleksi Jalan Keluar Ideologis
Mari kita tenang sejenak, setelah mengetahui betapa kaca-balaunya permasalahan yang dihadapi dunia, tidak terkecuali di Indonesia, kita coba mengingat kembali atas dasar apa Pancasila lahir pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 1 Juni 1945? apakah Indonesia harus didasarkan atas aturan sebuah agama atau menjadi negara kebangsaan sekuler? Mengapa pertanyaan ini muncul?
Tidak sulit menjawab pertanyaan tersebut, tantangan atas KEMAJEMUKAN bangsa ini adalah jawaban atas pertanyaan tersebut. Indonesia lahir dan diciptakan Allah SWT secara geografis terdiri atas ribuan pulau, kekayaan etnik, budaya, agama, dan ribuan Bahasa ibu. Negara mana yang dapat menyatukan dan mewujudkan kemajemukan semacam itu dalam satu bangsa? Myanmar misalnya, menetapkan bahasa, budaya, atau agama mayoritas sebagai bahasa dan budaya nasional, dulu Birma adalah bahasa suku mayoritas, kemudian bertrasnformasi menjadi bahasa nasional. Transformasi tersebut memicu perang dari minoritas di sana untuk menuntut otonomi.
ADVERTISEMENT
Tapi Indonesia sangat brilian dapat memecahkan kemajemukan tersebut dalam Sumpah Pemuda. Bukan mayoritas yang menentukan kebangsaan Indonesia, melainkan kebersamaan. Bahasa yang digunakan sebagai Bahasa persatuan kala itu jugua bukan Bahasa mayoritas – penggunannya kurang dari lima persen, namun menggunakan Bahasa yang banyak dipakai dalam komunikasi antar pulau.
17 tahun kemudian pasca sumpah pemuda, forum BPUPKI muncul pertanyaan, Indonesia ini mau mendasarkan diri pada keyakinan dan nilai dasar mana? Atas dasar Agama? Sekularisme? Sosialisme? Tidak saudara-saudara. Bung Karno berhasil membawa kita pada tepuk tangan meriah ketika mengenalkan konsep Pancasila!!.
Mengapa Pancasila begitu penting, bagi kita dan dunia? Karena Pancasila berhasil memecahkan masalah yang dihadapi semua – mungkin hampir - negara yang terdiri atas banyak komunitas etnik, budaya atau agama: Masalah identitas nasional dan kemajemukan.
ADVERTISEMENT
Pancasila: Jalan Tengah Persimpangan Kebuntuan Ideologi Dunia
Atas 5 permasalahan umat manusia yang diuraikan di atas, akar persoalannya menurut Franz adalah etika politik modernitas. Singkatnya etika politik semacam pakem tertentu seperti yang misalnya termuat dalam banyak prembule undang-undang dasar di berbagai negara yang memiliki keyakninan: Kebebasan Beragama, HAM, Demokrasi, dan Sosial Justice. Amat terang-benderang bahwa 4 keyakinan tadi berada dalam satu paket lengkap Pancasila.
Prinsip keyakinan beragama sebagai bagian dari ekspresi kebebasan beragama dan berkeyakinan, ini tertian dalam sila pertama. Hal ini juga simbol penghormatan pada kemajemukan relijiusitas dalam masyarakat dan menjamin toleransi beragama. Jaminan terhadap hak-hak umat manusia, jelas juga tertian dalam sila kedua, ini merupakan simbol penyelesaian konflik yang tidak melalui cara kekerasan. Sila keempat, menjadi simbol keyakinan era modernitas bahwa rakyat memiliki hak untuk menentukan siapa yang akan memimpin dan kemana ia akan dipimpin, ini sangat mirip dengan demokrasi, bedanya adalah sila ini tidak mengambil nilai barat, namun digali dari akar musyawarah mufakat nenek moyang kita dahulu. Kemudian secara eksplisit sila kelima jadi simbol bahwa keadilan sosial harus jadi tujuan pertama perpolitikan yang beradab.
ADVERTISEMENT
Lantas, dimana peran sila ketiga? Ini salah satu yang cukup fundamental, sila ketiga yang jadi akar persatuan bahwa negara kebangsaan bukan “negara kami”, “negara bangsawan”, “negara mereka”, tapi bahwa itu adalah “negara kita”. Namun sepertinya ada yang tertinggal, mengenai permasalahn AI dan keambrukan lingkungan.
Saat Pancasila dilahirkan, AI memang belum ada, cakrwala manusia belum menembus imajinasi tersebut, maka hal tersebut tidak dimuat dalam Pancasila. Bagaimana kerusakan alam? Sederhana saja, ini bagian dari sila kedua, karena manusia dan “kemanusian yang beradab” adalah yang menghormati alam dan tidak sekadar menjadikkannya sumber eksploitasi.
Akhir
Lantas bagaimana kita akan merayakan Pancasila pada 1 Juni 2024 nanti? Terus sibuk dengan permasalahan hidup dan memilih cuek? Atau berupaya melakukan refleksi kembali atas permasalahan yang sedang kita hadapi? Wallahualam.
ADVERTISEMENT