Konten dari Pengguna

Ibu dan Hadirnya Keberanianku

Mawaddah Agusti
Mahasiswi Universitas Negeri Jenderal Soedirman Program studi D3- Bahasa Inggris
24 Desember 2021 18:32 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mawaddah Agusti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Ibu, pahlawan yang menuntunku menemukan keberanian yang sempat hilang.

IbuIbu, Kue Ulangtahun dan Aku.
zoom-in-whitePerbesar
IbuIbu, Kue Ulangtahun dan Aku.
ADVERTISEMENT
Duduk dan menatap kumpulan foto memang akan menciptakan perasaan baru tersendiri. Di penghujung 2021 dengan koleksi foto yang makin bertambah dan kenangan-kenangan baru yang terbentuk bersama dengan orang-orang yang turut hadir dalam foto itu. Ada satu yang mencuri perhatianku saat membuka album foto yang ada dalam telepon genggam putih ini. Satu objek tangkap layar sebuah sertifikat sebagai juara dua dalam poetry competition. Perasaan ini membawaku kembali dalam ingatan lomba dan piala pertama dari bocah TK yang sekarang tulisannya sedang kamu baca.
ADVERTISEMENT
Sepulang dari taman kanak-kanak, ibu mengajariku berlatih baca puisi untuk lomba. Dengan tempat pensil kain bergambar Barbie sebagai mik, kita mulai berlatih. Aku mencoba untuk membaca puisi dengan gaya dan ekspresi yang ibu contohkan, hingga rasa bosan itu datang. Ibu masih mau aku untuk berlatih, itu membuatku marah dan melemparkan tempat pensil pada ibu. Untungnya ibu tidak apa-apa. Mungkin karena terkejut, ibu meninggikan suaranya. Berakhirlah latihan itu dengan aku yang menangis.
Singkatnya hari yang ditunggu tiba, lomba baca puisi itu sudah di depan mata. Tentu ada sedikit rasa takut, tapi itu langsung menguap begitu saja dengan kalimat ajaib ibu “Semuanya akan baik-baik saja”. Lomba pertamaku berjalan baik, bahkan sangat baik. Aku bisa mendekap piala pertamaku karena ibu yang mengajari aku. Ibu yang mengajari puterinya ini, dengan sedikit drama dalam prosesnya. Tapi, itu berbuah manis.
ADVERTISEMENT
Memasuki masa sekolah dasar, dengan rutinitas pagiku diantar oleh embah endut dan Vespa kesayangannya. Selain belajar dan bermain dengan teman-teman, ada satu ingatan masa SD yang tidak bisa terhapus dalam memoriku. Ingatan tentang ibu yang tiba-tiba mendaftarkanku sebagai pengisi acara perpisahan kaka kelas. Bocah kelas satu SD ini disuruh menyanyi di depan banyak orang. Aku tentu saja keberatan dengan itu, merasa tidak nyaman dan ingin menangis. Tapi kata ibu tidak apa-apa mencoba untuk berani, ibu memberikan kata-kata lain yang dia harapkan bisa menyemangatiku untuk tampil dan berakhirlah aku dipanggung untuk menyanyi di acara perpisahan itu. Kejadian ini berulang sampai aku kelas dua SD. Ibu lagi-lagi memintaku tampil menyanyi, kali ini lagu anak dengan judul “Desaku” yang aku nyanyikan. Ketidak nyamanan dan pikiran buruk mulai menyerang otakku. Bagaimana jika teman-teman tidak menyukai suaraku, bagaimana jika suaraku tidak bagus dan teman-teman membicarakannya, bagaimana dan bagaimana itu muncul dan mengelilingi otakku seperti komedi putar pasar malam. Lagi-lagi ibu berucap untuk berani dan mau untuk menyanyi. Pikiranku saat itu adalah tidak bisa menolak apa yang ibu mau. Hari yang ditunggu tiba juga, aku tidak mengharapkan hari untuk tampil datang begitu cepat dan perasaan takut untuk tampil terus ada. Saat lagu mulai diputar dan aku mulai bernyanyi, ternyata ibu-ibu yang menonton juga ikut bernyanyi. Aku jadi tidak merasa bernyanyi sendirian saat itu. Penampilanku ditutup dengan tepuk tangan dari mereka. Setelah turun dari panggung, aku menemui teman-temanku. Aku bertemu dengan mereka dan ada satu hal yang aku sadari, ternyata ketakutan-ketakutan yang bocah SD ini fikirkan dari sebelum tampil tidak terjadi. Ketakutan itu hanya ada di pikiranku, ketakutan itu tidak nyata bahkan setelah aku selesai menyanyi. Aku baik-baik saja setelah tampil, bahkan teman-temanku tidak berkomentar buruk tentang suaraku.
ADVERTISEMENT
Aku rutin mengisi acara perpisahan kaka kelas saat SD, bersama dengan teman-teman yang lain. Bukan dengan menyanyi, aku lebih suka menari. Berkesan sekali saat aku menampilkan tarian pertamaku, Tari Rampak di acara perpisahan kaka kelas saat aku kelas tiga SD. Setelah semua itu, aku lebih berani tenyata. Ketakutan itu hanya ada difikiranku saja. Ketakutan-ketakutan yang perlahan menguap digantikan dengan rasa semangat saat tampil, apalagi melihat raut wajah dan senyum mengembang dari ibu dan embah mamak saat tau aku akan tampil.
Keberanianku muncul dengan awal “paksaan“ dari ibu. Awalnya memang aku kesal, tapi semuanya telah dilalui dengan baik. Sedikit “paksaan” di awal itu sudah cukup untuk membuatku menjadi berani. Kalau saja saat itu ibu tidak gigih untuk memaksaku tampil, aku masih terperangkap dalam ketakutan-ketakutan yang ada di kepalaku ini, masih tidak mau untuk berani mencoba dan menolak semua kesempatan tampil yang ada. Ibu memang pahlawan, pahlawan yang menuntunku menemukan keberanian yang sempat hilang. Tidak usah takut mencobanya, doa ibu yang akan membuat semuanya menjadi lancar. Selalu percaya akan itu.
ADVERTISEMENT