Nasib Sanggar Seni Betawi di Tengah Modernisasi Jakarta

sari
Administration Staff Telecommunication.
Konten dari Pengguna
25 Juni 2022 13:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
498
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kenangan tak terlupakan saya tentang Jakarta adalah belajar tari tradisional di sanggar seni di dekat rumah. Pada masa lalu, belajar menari adalah hal yang umum untuk mengasah keterampilan. Anak perempuan biasanya belajar tari khas Betawi, dan untuk anak laki-laki belajar bela diri atau Pencak Silat.
Foto: Yudhistira Amran/Kumparan
Kisah Si Pitung menjadi idola anak-anak saat itu, sehingga sanggar seni selalu dipenuhi oleh anak-anak yang ingin belajar tentang budaya dan seni Betawi. Seiring dengan perkembangan zaman, permainan anak mulai beralih ke teknologi gadget. Jarang ditemukan anak-anak zaman sekarang yang tertarik belajar kesenian tradisional di sanggar seni. Lalu bagaimana nasib sanggar seni di tengah kemajuan zaman dan modernisasi kota Jakarta?
ADVERTISEMENT
Nyatanya, hanya sedikit sanggar seni tradisional ini yang bertahan di tengah pesatnya teknologi dan perkembangan zaman. Kesenian Betawi makin terpinggirkan oleh tergesernya minat anak-anak terhadap kesenian tradisional dan beralih pada gadget dan game internet. Tarian tradisional seperti tari Ondel-ondel, tari Topeng, tari Japin Betawi, dan Pencak Silat bukan lagi pilihan untuk mengisi waktu luang, bahkan kelestariannya makin terancam punah.
Makin sedikitnya kehadiran sanggar kesenian khas Betawi ini kebanyakan karena permasalahan faktor finansial, tidak mudah untuk bisa mengelola sebuah sanggar seni jika tidak ada penghasilan. Sedikitnya jadwal pementasan, dan minimnya minat masyarakat terhadap seni Betawi memicu pengikisan keberadaan sanggar budaya seni khas Betawi.
Biaya untuk menyediakan peralatan musik, dan pemeliharaan alat-alat kesenian itu tidak sedikit jumlahnya. Belum lagi jika sanggar seni tersebut memiliki grup musik atau lenong dengan jumlah anggota yang banyak, maka biaya operasional sebuah sanggar seni itu terbilang mahal jika tidak ada subsidi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan daerah lain seperti Bali, Yogyakarta atau Jawa Barat. Kehadiran sanggar seni di kawasan ini lebih dikembangkan dan dilestarikan kehadirannya. Bahkan, mereka sering diundang untuk tampil di acara-acara kelas dunia untuk menampilkan seni dan tarian tradisional seperti Gamelan, Angklung, Tarian Kecak, Barong, Reog Ponorogo, dll. Lalu mengapa budaya Betawi yang justru berada di ibu kota tidak berkembang dan makin terpinggirkan?
Pertanyaan ini kerap dilontarkan oleh pemerhati seni dan budaya, bahkan regenerasi untuk para pelaku seni juga sudah mulai sulit dilakukan. Warisan budaya Betawi yang sudah turun temurun ini lambat laun makin kurang peminatnya. Pembinaan seni budaya memerlukan dukungan dan kerja sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bidang Pariwisata dengan para pemilik sanggar seni yang masih eksis hingga saat ini. Hal ini juga sebagai bentuk upaya melestarikan budaya asli Betawi agar tidak punah.
ADVERTISEMENT
Jakarta sebagai kota metropolitan yang modern memang sulit untuk dipisahkan dari gaya masyarakatnya yang makin maju, namun jika ada peluang sanggar-sanggar seni tersebut bisa berkembang, dan tidak menutup kemungkinan kesenian Betawi akan berjaya kembali seperti dahulu.
Semoga di hari jadi Jakarta yang ke-495 ini, pemerintah daerah dan seluruh warga Jakarta tergerak untuk menghidupkan dan membangkitkan kembali sanggar seni Betawi asli yang sudah mulai terkikis.
#HUTDKI495