Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ulama dan Kebobrokan Sosial, Tanggung Jawab Siapa?
26 Januari 2017 8:15 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
Tulisan dari Maxalmina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak perlu diragukan lagi bahwa peran ulama dalam artian orang yang memiliki ilmu mendalam pada bidang agama sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Sehingga kerap kali muncul ungkapan jika ulama rusak maka rusak pula masyarakat.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah pewaris nabi dalam segala aspek kehidupan. Seperti halnya nabi yang diutus untuk membentuk sebuah struktur tatanan masyarakat yang ideal (tamaddun), ulama juga memiliki peran yang tidak jauh berbeda dengan para nabi. Ketika nabi Muhammad diutus ke alam ini, ia tidak pernah memilah persoalan antara agama dan sosial. Karena agama menurut proporsinya dapat mengatasi persoalan sosial. Dalam hal ini Allah sendiri yang memiliki formula ideal untuk kehidupan hambanya (rule of law) yang diwakilkan kepada rasulnya. Artinya, melalui rasulnya Allah telah menetapkan standar ideal kehidupan bermasyarakat, mana yang harus dan mana yang tidak.
Di Indonesia kaum ulama memiliki sejarah cemerlang dalam mengusir penjajah. Ajid Thohir dalam "Gerakan Politik Kaum Tarekat" menyatakan bahwa pada era 1800, Belanda sempat kewalahan membendung derasnya benih-benih gerakan perlawanan yang dimotori ulama dan kiai.
ADVERTISEMENT
Akhirnya penjajah melakukan politik adu domba para ulama untuk memecah konsentrasi basis-basis ulama. Bahkan Belanda sempat meninabobokan para ulama dengan tunjangan dan jabatan, sehingga hal tersebut menuai pro-kontra di kalangan ulama sendiri pada masa itu.
Selain itu, jika kita menengok lebih ke belakangpada masa wali sembilan, pendirian Demak bukanlah gerakan yang main-main. Predikat ulama yang diemban mereka membuahkan tanggung jawab untuk mendirikan sebuah sistem ideal di tengah transisi kehidupan agama masyarakatpada masa itu.
Jika ditinjau dari pemanfaatan keilmuannya, ulama dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis. Pertama, ulama yang dengan keilmuannya mentransfer ilmunya dengan cara langsung bertindak mengatur umat. Dalam hal ini ulama yang demikian sudah mencapai taraf sempurna dalam memanfaatkan keilmuannya. Seperti seorang profesor bidang kimia misalnya, ketika ia berada di depan mikroskop tidak hanya mampu membuat mahasiswanya pintar, namun juga menghasilkan penemuan suatu formula yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Karena seseorang tidak dapat dikatakan dirinya ilmuan hanya dengan memberikan paparan suatu teori kepada anak didiknya, namun ia juga harus mampu membuat manfaat atas ilmunya pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kedua,ulama yang dengan keilmuannya mentransfer ilmunya dengan cara mengajarkan ilmunya dengan tidak mengatur umat. Agaknya, ulama jenis ini kurang mengoptimalkan keilmuannya. Sehingga ia tidak mampu mencerap pesan keilmuan yang telah diamanatkan kepadanya secara sempurna. Karenanya, ulama seperti ini hanya mampu membuat penuntut ilmu (santri) sebatas menjadi cerdas. Mereka tidak peka akan gejolak sosial yang sedang berkecamuk.
Ketiga,ulama yang tidak melakukan keduanya. Ia tidak membuat penuntut ilmu menjadi cerdas dan juga tidak menghasilkan apapun dari hasil ilmu yang dimiliki. Ulama jenis ini yang disebut kurang memiliki manfaat dalam ilmunya. Pelajaran baik yang ia dapat hanya sebatas memberikan manfaat pada dirinya dan cenderung individual. Ulama jenis ini dapat diibaratkan seperti seorang yang memiliki kemampuan membuat obat untuk penyembuhan diri sendiri tanpa memperhatikan orang lain yang sedang sekarat.
ADVERTISEMENT
Keempat,ulama yang dengan keilmuannya lari dari tujuan keilmuannya. Ia bukan hanya tidak membuat orang lain cerdas dan tidak menghasilkan apapun dari hasil ilmu yang ia miliki, namun justru mencari keuntungan pribadi dan cenderung menyesatkan. Keilmuan yang dimiliki tidak sama sekali bermanfaat untuk kepentingan umat. Bahkan ilmu yang didapatnya memberikan mudharat untuk menghancurkan umat. Dalam perjalanannya ulama seperti ini akan menimbulkan kezaliman bagi umat yang dipimpinnya.
Semestinya, bahkan wajib ulama dapat bergerak bebas mengaturkehidupan umatnya. Mereka dapat masuk ke dalam lini-lini yang mereka anggap penting bagi kehidupan umat. Karena bagaimanapun urusan umat adalah tanggungjawab ulama. Baik itu dalam hal politik, sosial dan ekonomi.
Pertanyaannya yang timbul kemudian, apakah ulama harus berpolitik? Dan apakah ulama memiliki tanggungjawab dalam hal tersebut? Jawabannya sudah ada dalam diri Muhammad sendiri. Sama seperti Muhammad yang diutus ke muka bumi. Nabi tidak pernah membedakan urusan agama dengan politik, sosial maupun ekonomi. Beliau diutus membawa sebuah paket yang disebut agama yang di dalamnya terkandung berbagai unsur kehidupan. Secara langsung dapat dikatakan bahwa ketidakadilan yang terjadi di masyarakat seperti kemiskinan, kerusakan moral dan yang lainnya merupakan tanggung jawab ulama.
ADVERTISEMENT
Dan mungkin yang lebih detil lagi, ulama bertanggung jawab terhadap masalah kemacetan. Terdengar aaneh memang, tapi itu imbas dari ilmu yang diemban. Sementara kita cenderung terjebak dalam konotasi negatif perihal kata politik. Dalam bahasa Arab politik disebut siyasah. Siyasah sendiri dalam arti sebenarnya adalah pengaturan. "Al-Ulama saasatu al-umah" ulama adalah pengatur umat.
Di Indonesia jumlah ulama tidak lagi dapat dihitung dengan jari. Hal tersebut terindikasi dari banyaknya pondok pesantren yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Data yang ada pada departemen agama menyebutkan jumlah pondok pesantren yang terdaftar mencapai 15.000 lebih di seluruh indonesia. Jika satu pondok pesantren saja dipimpin oleh seorang kiyai, bisa dibayangkan berapa jumlah ulama yang ada di Indonesia sekarang. Belum lagi jumlah para santri yang lulus dari pesantren tersebut, dan mereka dapatlah dikategorikan sebagai ulama. Tapi mengapa kehidupan sosial masyarakat cenderung buruk.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu tingkat moralitas masyarakat semakin merosot. Seolah para ulama yang mengemban tanggung jawab tersebut tidak berdaya membendungnya. Langkah Kiai Haji Abdurrahman Wahid sebagai ulama yang terjun ke dunia politik (pengaturan umat) merupakan langkah ideal jika dibanding para ulama yang hanya berkutat mengajarkan ilmu agama tanpa menerapkannya pada kehidupan sosial. Gus Dur merupakan contoh figur yang memiliki cita-cita luhur pewaris para nabi. Seorang ulama seyogyanya mampu memimpin umat menuju ke arah yang lebih baik berdasar apa yang diwariskan.
Selaras dengan itu, jika kita mengkaji sejarah sebelum orde baru akan banyak ditemuipartai-partai yang lahir dari tangan para ulama. Namun yang sangat disayangkan pada zaman ini adalah kebanyakan para ulama di Indonesia hanya berkutat pada dunia keilmuan di pesantren tanpa tahu permasalahan sosial yang terjadi secara global. Sebagai ulama seharusnya tidak hanya mengajar namun juga dapat mengaplikasikan apa yang diwariskan oleh nabi kepada mereka. Karena lagi-lagi seorang ulama memiliki tanggung jawab terhadap kebobrokan sosial yang ada.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan tanggung jawab tersebut, seorang ulama tidak hanya mampu bermain di luar sistem dan berceramah soal agama, namun juga mampu bergerak untuk tujuan membentuk sebuah tatanan masarakat ideal berdasarkan apa yang diturunkan Allah. Jika suatu negara rusak ulamanya maka sudah dapat dipastikan berimbas pada umatnya.