Konten dari Pengguna

Mengandaikan Jika Libur Ditambah Satu Hari Lagi

Maya Novalia
Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Jakarta. Hobi mengamati kehidupan pekerja urban. Penikmat jeda yang sekarang mencoba hidup lebih lambat sambil terus menulis.
6 Agustus 2025 10:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Mengandaikan Jika Libur Ditambah Satu Hari Lagi
Ini adalah upaya untuk membayangkan kembali hidup yang utuh, bukan sekadar hidup yang diukur dari produktivitas
Maya Novalia
Tulisan dari Maya Novalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Freepik
ADVERTISEMENT
Disclaimer: tulisan ini bukan semata keluh-kesah anak muda yang kebanyakan rebahan. Ini juga bukan ajakan massal untuk bermalas-malasan. Justru sebaliknya, ini adalah upaya untuk membayangkan kembali hidup yang utuh, bukan sekadar hidup yang diukur dari produktivitas. Kadang, kita perlu jeda sejenak bukan karena malas, tapi karena sadar bahwa ingin lebih banyak waktu istirahat bukanlah bentuk kemalasan.
ADVERTISEMENT
Anehnya, di sekitar kita, orang yang ingin beristirahat sering dicurigai, yang mengajukan cuti ditatap sinis, yang pulang tepat waktu dianggap kurang berdedikasi. Kenapa kita dianggap malas kalau ingin lebih banyak waktu istirahat?
Bayangkan kalau minggu bukan lagi tentang dua hari rehat dari hiruk-pikuk dunia kerja, tapi tiga. Tiga hari penuh potensi: sehari untuk rebahan, sehari untuk beres-beres, sehari lagi untuk hidup sesungguhnya.
Kalau libur ditambah sehari lagi, mungkin kita tak lagi menyisihkan hidup pribadi hanya di sisa-sisa malam. Tak perlu rebutan waktu antara cuci baju, main dengan teman, ikut pilates, atau tidur cepat demi hari Senin. Tambahan satu hari itu bisa jadi ruang napas. Ruang jeda. Bahkan ruang pulih yang selama ini terasa mahal.
ADVERTISEMENT
Tapi benarkah menambah hari libur otomatis bikin lebih bahagia?
Banyak dari kita belum benar-benar “libur” sekalipun kalender berkata Sabtu atau Minggu. Hari libur kadang justru jadi tempat penampungan kerja-kerja yang tak sempat disentuh selama weekdays. Ada cucian menggunung, dapur yang belum disentuh sejak Lebaran, kucing yang mulai curiga karena majikannya hanya muncul sepintas setiap jam 7 pagi dan 9 malam.
Libur jadi ajang balas dendam. Tapi karena hanya dua hari, dendam itu tak pernah benar-benar lunas.
Baru saja hendak rebahan serius, tiba-tiba waktu menunjukkan pukul 16.30 di hari Minggu. Matahari menurun, suasana kamar mulai teduh, tapi pikiran justru gaduh. Detik demi detik mulai terasa seperti penghitung mundur menuju siksaan bernama Senin.
ADVERTISEMENT
Anxiety ini datang tanpa diundang. Bahkan, kadang bukan karena kerjaannya berat, tapi karena otak kita sudah dikondisikan untuk stres saat akhir pekan hampir habis. Saking seringnya, muncul istilah tidak resmi yang sekarang sudah jadi global: Sunday scaries.
Ini semacam gelisah berjamaah yang muncul tiap Minggu sore. Kita mulai mengeluh, “Yah, besok udah Senin aja,” padahal baru juga selesai makan siang. Pikiran bukan lagi berada di hari ini, tapi sudah loncat ke segala tugas, rapat, dan tekanan yang akan menyambut esok hari.
Kadang yang membuat kita lelah bukan hanya kerjaannya, tapi ruang pikir yang tak pernah benar-benar lepas dari kata “kerja”.
Rumah kini lebih mirip halte untuk bersandar, tempat pulang sekadar untuk tidur sebentar.
ADVERTISEMENT
Pagi hari berangkat dengan mata yang masih samar, malam pulang sambil menanggung lelah yang tak wajar.
Ruang tamu sepi dan jarang dihampiri, dapur berubah jadi pajangan alat-alat dapur yang sepi fungsi.
Rice cooker menanak nasi dengan enggan setiap kali, karena tak ada yang benar-benar duduk dan menikmati.
Baju kerja tergantung dari Senin sampai Sabtu, kaus kaki tak sempat lepas sebelum tubuh jatuh.
Ini bukan hidup yang utuh dari hulu ke hilir waktu, melainkan rutinitas yang terus berjalan tanpa jeda yang utuh.
Maka wacana soal menambah hari libur tentu terdengar menggiurkan. Kita membayangkan, dengan tambahan satu hari, tubuh bisa pulih lebih utuh, hidup bisa lebih waras, dan kita bisa merasa jadi manusia, bukan mesin pencetak laporan bulanan.
ADVERTISEMENT
Namun, tentu saja hidup tak semudah status di aplikasi X. Sebab, kalau libur nambah tapi sistem kerjanya masih sama, lembur masih diglorifikasi, istirahat masih dicurigai, cuti masih dianggap dosa, ya liburnya tetap akan terasa seperti curian. Bukan hak.
Belum lagi kalau hari libur tambahan justru dimakan habis oleh pekerjaan yang dibawa pulang. Dari yang awalnya cuma dua hari kerja, diam-diam merembes ke hari Minggu, kini bisa menyusup ke hari Sabtu juga. Tambah hari libur, tapi kerjaan ikut berkembang biak.
Apalagi di era kerja hybrid dan grup WhatsApp kantor yang hidup 24 jam, hari libur kadang tak punya batas jelas. Kita bisa dibangunkan notifikasi soal revisi proposal, bahkan di tengah drama Korea episode terakhir. Atau diajak Zoom Meeting dadakan, padahal baru selesai mencuci tangan untuk menyantap gorengan.
ADVERTISEMENT
Artinya, soal libur ini bukan sekadar hitungan hari, tapi juga kultur. Soal bagaimana kita memandang waktu luang sebagai bagian dari hak hidup, bukan bonus kalau kerja sudah bagus.
Kita perlu membayangkan hari libur bukan hanya sebagai waktu istirahat dari kerja, tapi juga waktu hidup yang utuh. Waktu yang tak perlu diisi dengan rasa bersalah hanya karena tak produktif. Waktu yang boleh dipakai untuk tidur siang, bengong di balkon, atau jalan kaki keliling kompleks sambil mikirin hal absurd seperti, “Kenapa ya, kucing suka duduk di tengah jalan?”
Menambah hari libur bisa jadi solusi, tapi juga ilusi. Sebab, masalah dasarnya adalah kita hidup di sistem yang kadang terlalu menghargai kerja, tapi abai pada manusia yang menjalankan kerja itu.
ADVERTISEMENT
Jadi, mungkin pertanyaannya bukan lagi sekadar, ”Perlu nggak, sih, nambah hari libur?” tapi juga ”Kapan terakhir kali kamu merasa benar-benar libur?” Bukan hanya dari pekerjaan, tapi dari rasa bersalah karena engga ngapa-ngapain.
Kalau kamu perlu waktu lebih lama untuk memikirkan jawabannya, mungkin memang sudah waktunya kamu meninjau ulang bukan hanya kalender, tapi juga cara hidup.