Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Menjadikan Pendidikan yang Terjangkau
5 September 2022 16:26 WIB
Tulisan dari Maya Puspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ulangan sekolah sudah selesai dilaksanakan. Guru pun segera menilai ulangan siswa dan mengumumkan hasilnya. Ia menyampaikan beberapa siswa yang mendapat nilai 100. Dan di penghujung jam pelajaran, ia juga menyampaikan beberapa siswa yang mendapat nilai terendah yang disambut tawa penuh ejekan bergemuruh di dalam kelas. Apa yang bisa ditunjukkan oleh nilai? Banyak yang mungkin berpendapat bahwa nilai itu berkorelasi dengan kemampuan akademik siswa. Semakin ia pintar, maka semakin tinggi pula nilai yang ia akan dapat. Dari sini bisa terjadi kesenjangan di tengah peserta didik dari segi nilai yang didapat. Pendidikan yang layak akhirnya belum tentu bisa didapat oleh seluruh lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Adalah Michael Young, seorang sosiolog Inggris yang menuangkan satir ke dalam sebuah buku berjudul The Rise of Meritocracy pada tahun 1958. Young pada saat itu melihat fenomena bagaimana ‘nilai’ seseorang ditentukan oleh kelas sosial yang ia miliki. Ia tumbuh dalam era masyarakat yang terbagi menjadi beberapa tingkat sosial: working class, middle class dan upper class. Ketika Young melihat fenomena kesenjangan sosial yang terjadi di hadapannya, ia tidak tinggal diam. Ia menjadi pendiri Open University di Inggris pada tahun 1964. Tekadnya adalah memberikan akses lebih besar bagi orang yang kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang layak. Ia mengkritisi tingkat sosial yang sudah menciptakan hierarki di tengah-tengah masyarakat. Buku yang ia tulis merupakan satir keprihatinannya tentang kehidupan sosial di Inggris yang membuat jurang pemisah individu berdasarkan pekerjaan atau pendidikan mereka. Dia mengklaim bahwa kekayaan seseorang belum tentu berkorelasi dengan kesuksesannya karena ada faktor lain yang mempengaruhi yakni IQ dan usaha. Jika kedua faktor itu digabungkan, maka kesuksesan akan diraih.
ADVERTISEMENT
Tujuan Penilaian Peserta Didik
Lalu apakah nilai yang diraih seorang peserta didik dalam ujian menunjukkan tingkat IQ dan usaha yang ia lakukan? Asesmen dalam pendidikan secara umum bertujuan untuk mengumpulkan informasi. Tergantung informasi yang dibutuhkan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan ataupun guru bisa memilih jenis asesmen yang dilakukan. Menurut Permendikbud No.43 tahun 2019, misalnya, ujian yang merupakan salah satu jenis asesmen dilakukan dengan tujuan “untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu Satuan Pendidikan”. Jadi output yang diharapkan dari penyelenggaran ujian adalah guru bisa mendapatkan informasi mengenai apakah masing-masing peserta didik sudah mencapai kompetensi yang sudah ditentukan oleh satuan pendidikan atau belum.
Jika rumus Michael Young tepat, nilai ujian yang akan didapat oleh peserta didik akan sesuai dengan level kecerdasan dan usaha yang ia lakukan. Semakin tinggi IQ yang dimiliki serta semakin besar usaha yang dilakukan, maka nilai yang akan peserta didik raih pun akan semakin tinggi. Secara teori, seorang peserta didik akan mendapatkan nilai tinggi jika ia memang pintar secara akademik ditambah ketekunannya dalam belajar dalam mempersiapkan ujian.
ADVERTISEMENT
Validasi dalam Penilaian
Namun, setidaknya ada dua hal yang bisa jadi luput dari penilaian ujian peserta didik. Pertama, kemampuan finansial orang tua. Sudah banyak penelitian dalam bidang pendidikan yang menemukan bahwa ada keterkaitan antara status ekonomi keluarga dengan prestasi akademik. Orang tua yang dari golongan ekonomi menengah ke atas akan mampu memberikan fasilitas belajar anaknya. Membelikan buku pelajaran tambahan, memasukkan ke bimbingan belajar, dan mendatangkan tutor ke rumah merupakan beberapa contoh di antaranya. Sementara, anak dari keluarga yang tidak mampu mungkin hanya akan mengandalkan materi pelajaran yang ia dapat dari gurunya.
Kedua, kondisi fisik dan mental peserta didik. Saat tubuh dalam keadaan prima, mengerjakan ujian mungkin tidak akan menemui kendala berarti. Namun berbeda halnya jika peserta didik tengah sakit kemudian disodorkan ujian. Tentu ia tidak akan maksimal mengerjakan. Jangankan sakit parah, terserang flu saja badan akan terasa meriang, kepala nyut-nyutan, dan tubuh lemah lunglai. Kondisinya bisa jadi mempengaruhi bagaimana ia mengerjakan ujian. Permasalahan yang dialami di dalam keluarga pun bisa mempengaruhi performa peserta didik dalam ujian. Perceraian orang tua atau kekerasan dalam rumah tangga mungkin bisa menjadi alasan mengapa pesrta didik tidak bisa mengerjakan ujian dengan maksimal. Padahal ia memiliki IQ tinggi dan sudah belajar mati-matian dalam menyiapkan ujian.
ADVERTISEMENT
Jika soal ujian diberikan sama kepada seluruh peserta didik dalam satu kelas kemudian penilaian dilakukan secara objektif, nilai yang didapat siswa belum tentu menunjukkan tingkat IQ dan usaha yang sudah ia kerjakan. Sementara saat ini masih banyak sekolah yang menerapkan standardised assessment yang merata untuk peserta didik. Fenomena ini diperparah dengan adanya label ‘si bodoh’ dan ‘si pintar’ yang hanya berdasarkan nilai ujian. Jadilah ujian menggolongkan peserta didik dengan berbagai kasta sesuai dengan nilai yang ia raih. Padahal seperti yang diuraikan di atas, kondisi ekonomi keluarga, fisik dan mental juga bisa mempengaruhi peserta didik dalam mengerjakan ujian.
Akibatnya, peserta didik dari golongan ekonomi rendah bisa jadi kurang memiliki kesempatan untuk mendapatkan hak pendidikan di tingkat pendidikan tinggi. Ketatnya persaingan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri menyebabkan mereka harus menghapus impian mereka dan mencukupkan diri dengan pendidikan sekolah menengah atas atau sederajat. Bahkan tidak sedikit yang harus putus sekolah tanpa mendapat ijazah sebagai bukti kelulusan. Statistik Kemendikbud mencatat 13,879 siswa SMA dan 13,950 siswa SMK yang putus sekolah pada tahun ajaran 2020/2021. Jumlah yang putus sekolah ini otomatis akan berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia. Apalagi lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini lebih banyak menjadikan lulusan perguruan tinggi sebagai salah satu syarat untuk melamar pekerjaan.
ADVERTISEMENT
UT: Menjangkau yang tidak Terjangkau
Ketidakadilan dan kesenjangan sosial dikarenakan status ekonomi dan pendidikan yang dilihat oleh Michael Young mendirikan Open University di Inggris. Fenomena ini pula yang sepertinya diamini pemerintah Indonesia sehingga Universitas Terbuka (UT) resmi diluncurkan pada tanggal 4 September 1984 untuk mengatasinya. UT menjadi perguruan tinggi negeri ke-45 di Indonesia. Dua isu besar dalam dunia pendidikan di Indonesia pada saat itu menjadi motivasi didirikannya UT. Isu tersebut adalah “rendahnya mutu atau kualitas guru dan terbatasnya daya tampung pendidikan tinggi” (Wahyono dan Setijadi, 2004: 103). Masih rendahnya kualitas guru yang berbanding lurus dengan besarnya jumlah guru yang dibutuhkan, menjadikan pemerintah memutuskan untuk membentuk sebuah perguruan tinggi negeri. Karena kebutuhan akan guru bukan hanya terjadi di ibukota, UT didirikan oleh pemerintah menggunakan sistem pembelajaran jarak jauh yang bisa menjangkau lebih banyak dibandingkan perguruan tinggi negeri lain yang masih menggunakan sistem pembelajaran konvensional.
ADVERTISEMENT
Tentu tidak mudah menjadi perguruan tinggi pelopor yang ingin menerapkan sistem pembelajaran yang benar-benar berbeda dari yang lainnya. Letak geografis, terbatasnya sumber daya manusia (SDM), dan waktu menjadi salah satu kendala utama di awal berdirinya UT. Namun, hadirnya UT menjadi ‘angin segar’ bagi masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan tinggi. Fleksibilitas yang ditawarkan UT bukan hanya terkait dengan jangkauan yang bisa mencapai seluruh negeri. Wahyono dan Setiyadi (2004: 110-111) menyatakan fleksibilitas UT juga berkenaan dengan “latar belakang pendidikan sebelumnya, terhadap rentang usia, terhadap pemilihan mata kuliah dan program studi, terhadap cara menjalani proses pembelajarannya, dan terhadap sasaran penyelesaian studinya”.
Terdapat empat fakultas yang dimiliki oleh UT: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fakultas Ekonomi (FE), Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP), dan Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Program yang ditawarkan mulai dari Diploma, Sarjana, magister serta doktor. Hingga 22 Mei 2022, tercatat ada 346,584 mahasiswa UT yang tersebar di 39 Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) dan satu layanan luar negeri. Bahkan pada sambutan pada puncak Dies Natalis UT ke-38, Prof. Ojat Darojat, M.Bus, Ph.D selaku rektor UT menyatakan di Gedung Universitas Terbuka Convention Center (UTCC) bahwa jumlah mahasiswa baru pada tahun 2022 meningkat cukup signifikan hingga mencapai empat kali lipat dari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Jika Michael Young berusaha menghilangkan hierarki berdasarkan status sosial, UT hadir untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang merupakan haknya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1. UT bisa mengakomodasi setiap kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Menjangkau yang tidak terjangkau, demikian semboyannya. Mahasiswanya saat ini bukan hanya yang tinggal di Indonesia saja. Tidak sedikit pekerja migran Indonesia yang tengah berada di luar menjadikan UT sebagai tempat untuk mengenyam pendidikan tinggi. Di saat perguruan tinggi lain kewalahan dalam melakukan pembelajaran di masa pandemi, UT lebih siap dalam menghadapinya karena memang UT sudah disiapkan untuk melakukan pembelajaran jarak jauh. Mengemban amanat yang diberikan, UT bergerak maju sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
ADVERTISEMENT
Dirgahayu UT yang ke-38. Hidup UT, Jaya UT.
Referensi:
https://statistik.data.kemdikbud.go.id/index.php
https://youtu.be/Q1GSCG16d2U
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 43 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ujian yang Diselenggarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
UT dalam Angka. Universitas Terbuka. https://www.ut.ac.id/ut-dalam-angka.
Wahyono, E. & Setijadi. 2004. Universitas Terbuka: Dulu, Kini dan Esok. Jakarta: Universitas Terbuka.
Young, M. 1958. The Rise of Meritocracy.