Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Pendidikan Tinggi untuk Siapa?
20 Mei 2024 7:33 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Maya Puspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Uang Kuliah Tunggal (UKT) baru-baru ini mencuat kembali menjadi isu yang dikeluhkan oleh masyarakat. Mahalnya biaya kuliah menjadi poin yang dianggap memberatkan mahasiswa terutama mereka yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Alih-alih menjawab keluhan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi malah mengeluarkan pernyataan yang membuat masyarakat geram.
ADVERTISEMENT
"Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan," ujar Tjitjik Sri Tjahjandarie, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi beberapa waktu lalu.
UKT mulai diterapkan kebijakannya melalui Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Nomor 39 tahun 2016. Melalui Peraturan ini, pemerintah memberlakukan sistem pembayaran SPP berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa. Tingkat UKT yang diterapkan di setiap perguruan Tinggi negeri merupakan kewenangan masing-masing perguruan Tinggi. Ada yang menerapkan UKT dari satu sampai tingkat tiga, lima hingga tujuh. Besarannya mulai dari 500 ribu hingga puluhan juta rupiah per semesternya diukur dari besaran pendapatan orang tua.
ADVERTISEMENT
Belum terdapatnya sistem pengawasan yang baik membuat kebijakan ini malah sering dimanfaatkan oleh si kaya untuk mendapatkan akses Pendidikan Tinggi dengan harga murah. Beberapa tahun lalu pernah terungkap ada yang sampai sengaja memalsukan dokumen demi mendapat tingkat UKT yang paling rendah. Padahal si pemalsu, tidak layak dikategorikan sebagai keluarga miskin.
Terungkapnya mahasiswa penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang flexing di media sosial juga menambah indikasi bahwa bantuan dana yang diberikan oleh pemerintah belum tepat sasaran karena bukan hanya mahasiswa miskin yang mendapatkan. Tidak adanya tindak lanjut pengawasan yang dilakukan akhirnya memungkinkan bahwa akses pendidikan tinggi bagi rakyat miskin semakin termarjinalisasi.
Padahal sejatinya, kebijakan UKT bertujuan untuk memberikan akses lebih luas bagi masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi. Namun kenyataannya, sistem ini belum berhasil mempersempit jurang antara si miskin dan si kaya. Akibatnya, partisipasi masyarakat untuk menempuh perguruan Tinggi disinyalir menurun. Maka tak heran, BPS baru-baru ini mengeluarkan data bahwa 9,9 juta gen z di Indonesia tidak sekolah ataupun bekerja.
ADVERTISEMENT
Bagaimana bisa bersekolah jika aksesnya didominasi oleh kalangan borjuis yang sejak usia sekolah menengah sudah dipersiapkan agar dapat masuk ke perguruan tinggi yang bergengsi? Sementara, syarat minimal untuk melamar pekerjaan sebagian besar adalah minimal S1. Sehingga muaranya, tingkat pengangguran semakin meningkat.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini juga termaktub dalam Pasal 31 ayat (1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Sehingga, sudah seharusnya Pendidikan termasuk pendidikan tinggi bukan hanya untuk kalangan tertentu saja tapi untuk seluruh rakyat Indonesia.