Wanita Tua Yang Mengajarkan Arti Kehidupan

Maya Selawati Dewi
Mahasiswa semester 4 Politeknik Negeri Jakarta, Jurusan Teknik Grafika Penerbitan, Program Studi Jurnalistik
Konten dari Pengguna
18 Mei 2020 8:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maya Selawati Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Matahari bersinar begitu terik kala itu. Siang yang begitu panas di Bulan Ramadhan. Dari kejauhan terlihat sosok wanita tua yang jalan terseok dengan karung di punggungnya. Dengan pakaian yang lusuh dan usang, wanita itu mencoba mencari dan mengais sesuatu.
ADVERTISEMENT
Dialah Bu Minah, wanita tua yang berprofesi sebagai pemulung. Di usia senjanya, ia masih semangat mencari nafkah untuk keluarganya. Setiap hari ia berkeliling untuk mencari botol atau apapun yang bisa ia jual. Menjual hasil pencariannya kepada pengepul, tentunya dengan bayaran uang yang tak seberapa.
Terlihat peluh membasahi tubuhnya. Baju usangnya pun terlihat basah karena keringat. Hijabnya tetap terpasang meskipun keringat mengucur deras di dahi dan kepalanya. Hijabnya digunakan untuk menutup sesuatu yang seringkali disebut mahkotanya wanita, rambut.
Setiap hari Bu Minah harus menempuh jarak kurang lebih lima kilometer untuk berkeliling mencari botol plastik dan barang rongsok. Berjalan kaki, ditemani karung besar dipunggungnya. Setiap hari ia melewati rumahku, mencari barangkali ada sesuatu yang bisa ia ambil dan ia jual ke pengepul. Ia tinggal tak jauh dari rumahku, setiap lewat ia selalu menyempatkan ngobrol denganku ataupun ibuku.
ADVERTISEMENT
Obrolan apapun kami bahas bersama. Mulai dari membahas keluarganya, pekerjaannya, kehidupan sehari-hari, keagamaan, dan lain-lain. Beliau sangat terbuka, bisa menceritakan apapun kepada kami. Tidak ada rasa malu ataupun segan. Begitupun denganku dan ibuku. Kami menganggapnya sama seperti teman, kerabat, saudara, dan tetangga kami. Semua perlakuan sama, tak ada pembedaan. Toh, pekerjaan dan status sosial seseorang bukanlah segalanya. Di mata Allah, semua sama derajatnya.
Bu Minah memang bukanlah orang berada, tapi hatinya begitu kaya. Meskipun hidup dengan keterbatasan ekonomi, ia tidak lupa untuk berbagi. Ia beberapa kali memberi kami sesuatu. Apa pun yang ia punya, akan dibagikan ke kami juga. Pernah suatu ketika, ia dan anaknya membuat cilok. Ia membawakannya kepada keluargaku, satu plastik kecil. Meskipun tidak seberapa, pemberian yang tulus sangatlah berarti. Tak jarang keluargaku juga memberikannya makanan. Saling berbagi, itulah yang kami lakukan.
ADVERTISEMENT
“Nanti sore datang ya, kami ada pembagian makan gratis. Biar ibu dapet juga,” ucap ibuku.
“Yah kalau nanti sore nggak bisa. Saya pulang jam 2, capek kalau dari rumah harus jalan kaki ke sini. Apalagi sedang puasa,” jawab Bu Minah.
“MasyaAllah, ibu puasa?” tanya ibuku.
“Alhamdulillah iya, sayang kalau sudah tua umur digunakan untuk hal yang tidak berguna,” jawab Bu Minah dengan senyum sendu.
“Yasudah, tunggu sini ya bu. Saya siapkan nasi khusus untuk ibu terlebih dahulu,” ucap ibuku dengan senyum.
Beberapa saat kemudian ibuku kembali membawakan makanan untuk Bu Minah. Ia senang, terlihat dari senyum yang tersungging di bibirnya.
“Terimakasih bu, semoga berkah,” ucap Bu Minah seraya pergi meninggalkan kami, aku dan ibuku.
ADVERTISEMENT
Bu Minah memang sosok yang taat agama. Meskipun panas terik dan pekerjaan berat yang dilakukannya, ia tetap teguh menjalankan kewajibannya sebagai muslim. Menunaikan kewajiban rukun islam yang ketiga, puasa. Beberapa kali ia menasihati kami tentang ilmu agama. Jadi imannya memang tidak perlu diragukan lagi.
Sosok Bu Minah memang begitu inspiratif. Meskipun kondisi ekonominya tidak baik, kedermawanan tetap ia tonjolkan. Dermawan bukan tentang banyaknya yang ia berikan kepada orang bukan? Tapi tentang tulus dan konsistensinya dalam berbagi. Itulah yang Bu Minah lakukan. Tidak perlu menjadi kaya untuk memiliki hati yang juga kaya. Cukup keikhlasan yang ditanamkan dalam diri. Berapapun dan apapun yang sekiranya bisa diberi, maka berikanlah.
Untuk belajar tentang arti kehidupan kita tidak perlu belajar dari orang terkenal, orang dengan pangkat tinggi, atau jabatan tinggi. Cukup lihat sekeliling kita. Banyak yang bisa kita ambil pelajaran dari mereka. Karena sejatinya setiap orang, serendah apapun orang itu tetap memiliki pengalaman hidup dan kearifan yang mungkin belum kita miliki, dan kita bisa mengambil hikmahnya dari situ. Itulah yang aku lakukan terhadap sosok Bu Minah yang inspiratif.
ADVERTISEMENT