Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Media Berita, Tempat Hukuman Abadi Nama Koruptor dan Saksi Kehancuran Moral
9 Februari 2025 9:42 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Mayang Suwita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam jurnalisme resistensi, media pemberitaan memainkan peran sebagai pilar untuk mengendus kejahatan, menantang kuasa yang bersembunyi di balik layar aktivitas-aktivitas terselubung mereka. Jika ditelisik lewat lensa ekonomi politik media, media sejatinya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur kekuasaan. Bukan untuk dipaku menjadi corong kepentingan segelintir elite, melainkan untuk menjaga independensi dan objektivitas dalam setiap beritanya. Tanpanya, kepercayaan publik hanyalah ilusi yang mudah runtuh.
ADVERTISEMENT
Melihat dari kasus baru-baru ini yang menggemparkan publik, media mungkin tak mampu mengubah vonis kasus korupsi 300 triliun yang hanya dihukum 6,5 tahun penjara, namun keberadaan media setidaknya bisa menjadi sedikit penawar kekecewaan. Misalnya, media dalam beritanya dapat menjadi tempat hukuman abadi koruptor, yakni nama dan aibnya akan selalu terukir sepanjang sejarah, menjadi pengingat akan kehancuran moral.

Dampak Media sebagai Vokal dalam Pemberitaan Kasus Korupsi
Dalam Dwijayanti et al. (2023) menyebutkan Tempo adalah salah satu media yang paling gencar menyebarkan berita kasus korupsi, suap, dan gratifikasi. Salah satunya, memberitakan kasus korupsi E-KTP yang bisa dibilang penuh drama, dengan Setya Novanto sebagai aktornya yang merugikan negara hingga 2,3 triliun rupiah.
ADVERTISEMENT
Dalam pemberitaan Tempo 18 September 2018, bertajuk Cicil Duit Ganti Korupsi E-KTP, Setya Novanto Jual Rumah Cipete menunjukan adanya upaya implementasi hukuman akibat perampasan aset negara hasil korupsi. Dalam kasus ini, Setya Novanto, pelaku korupsi didorong untuk mesti bertanggung jawab atas kesenangan bancakannya dari uang negara proyek E-KTP pada 2011-2012. Sanksi pengembalian sebagai cara untuk memulihkan kerugian negara.
Dalam berita tersebut bahwa Setya Novanto meminta KPK untuk bernegosiasi agar pengembalian dana dapat dilakukan dengan cicilan. Jumlah uang yang harus dikembalikan sebesar USD 7,3 juta (setara dengan 66 miliar rupiah berdasarkan kurs tahun 2010)
Kemudian dalam proses pelunasannya, Setya Novanto sudah menjual beberapa asetnya seperti rumah dan tanah. Diungkapkan juru bicara KPK kala itu, Febri Diansyah total nilai estimasi penjualan aset tersebut adalah 13 miliar, dan saat berita itu diterbitkan Setya Novanto sudah mencicil sebanyak 6,1 miliar dan USD 100 ribu.
ADVERTISEMENT
Dengan memaparkan detail proses penjualan aset, jumlah cicilan yang telah dibayar, dan pengawasan yang dilakukan oleh KPK, artinya media ini telah memberikan akses informasi kepada publik untuk memantau langkah-langkah pemulihan kerugian negara. Hal ini bisa dilihat sebagai bentuk akuntabilitas, di mana publik dapat melihat bahwa ada upaya nyata untuk memulihkan dana yang telah dikorupsi.
Efeknya bagi publik juga sebagai upaya menyadarkan bahwa korupsi bisa sangat merugikan diri sendiri di kemudian hari. Seperti yang terjadi pada pelaku korupsi ini, harus terpaksa menjual aset-asetnya, seperti rumah dan tanah, untuk membayar denda dan uang pengganti korupsi. Belum lagi harus menghabiskan lebih dari satu dekade di penjara.
Media sebagai Tempat Meningkatkan Kritisitas Publik dalam Evaluasi Kebijakan
Masih dalam majalah Tempo edisi 24 Juli 2017, terdapat tulisan yang bertajuk Ambyarnya Kaki-kaki Setya Novanto. Secara tidak langsung, tulisan ini dapat memberikan informasi kepada publik seperti apa cara kerja para pejabat dalam dramaturginya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Setya Novanto yang terbelenggu ketakutan akan dijerat oleh KPK, tampak kebat-kebit mencari celah untuk meloloskan diri dari cengkraman hukum. Meski statusnya masih sebagai terduga korupsi kala itu, ia mencari perlindungan dari berbagai sisi, mulai dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahkan meminta Luhut Binsar Pandjaitan mencari waktu untuk mengatur pertemuan langsung ke Presiden Joko Widodo.
Hal ini menjadi pembelajaran bahwa upaya-upaya manipulatif bahkan intimidasi dalam dunia politik tidak akan menghalangi jalannya keadilan, seperti upaya yang dilakukan Sudirman Said dalam mengungkap skandal “Papa Minta Saham”. Namun, kompleksitas dan risiko tinggi dalam melawan korupsi sulit terelakan, hal itu justru membuat Sudirman lengser dari jabatannya.
Jika menilik masa lalu, sebelum Setya menjadi tersangka korupsi di tahun 2017, KPK sulit menemukan bukti yang mengarah langsung ke politisi kawakan Golkar itu mengenai deretan skandal korupsinya. Salah satunya impor beras Vietnam pada 2003 dan penyalahgunaan anggaran Pekan Olahraga Nasional di Riau pada 2012 (majalah Tempo merangkum skandal korupsinya pada edisi 24 Juli 2017).
ADVERTISEMENT
Melihat adanya kelengahan, hal ini justru dimanfaatkan Setya Novanto, dari seorang politikus yang sedang ditempa kritik tajam malah melangkah maju ke Senayan, menduduki kursi terhormat di DPR untuk periode 2014-2019. Tentu, hal ini bukanlah contoh pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, malah semakin menumbuhkan sikap skeptis di kalangan publik.
Selanjutnya disebutkan untuk Tempo pernyataan Sudirman Said yang mengutip dari Jokowi “Riza Chalid orang kuat, Novanto juga orang kuat. Kalau kedua orang ini bersatu, kita bisa repot. Apalagi kalau kita kalah," menunjukan bahwa hukum dapat diterapkan secara tegas kepada siapapun, termasuk tokoh politik besar.
Jadi pemberitaan ini berupaya meningkatkan rasa percaya masyarakat terhadap sistem hukum terutama hukum Indonesia. Selain itu, pemberitaan ini dapat berfungsi sebagai alat evaluasi, selalu berkaca untuk selalu berhati-hati.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi panggilan untuk memperketat pengawasan terhadap proyek-proyek publik, agar sistem yang ada tidak lagi kebobolan dan mencegah jatuhnya kendali ke tangan-tangan yang menyalahgunakan wewenang. Berita ini juga bisa menjadi pantauan publik dan berpikir kritis terhadap kebijakan serta praktek pemerintahan yang kurang transparan.
Ketika Hukum Tidak Cukup Memenuhi Ekspektasi Publik
Selanjutnya, dalam media Tempo sendiri telah menunjukan sikap resistensi terhadap dominasi kekuasaan melalui pemberitaan bertajuk Setya Novanto, Akhirnya. Isi dari pemberitaan ini adalah perjalanan karir politik Setya Novanto yang penuh dengan kontroversi dan dugaan kasus korupsi yang acap kali lolos dari kejaran KPK.
Dengan ini, Tempo telah memainkan perannya sebagai media yang mengawasi kekuasaan untuk memastikan bahwa publik mengetahui fakta yang tersembunyi. Dengan laporan yang rinci dan jelas, Tempo membantu masyarakat memahami betapa besar dampak korupsi dan siapa saja yang terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Pemberitaan ini juga memberi tekanan kepada aparat penegak hukum dan lembaga terkait untuk segera bertindak, terutama setelah kasus sebelumnya, di mana Setya Novanto selalu berhasil lolos dari jeratan hukum dan malah lari ke kursi Senayan menggantikan Ade Komarudin. Bahkan, pemberitaan ini dapat memicu masyarakat untuk lebih aktif dalam menuntut perubahan dan transparansi dalam pemerintahan.
Kemudian, meskipun pemberitaan tidak memberikan hukuman secara langsung, dampak sosial dari pemberitaan ini dapat berfungsi sebagai "hukuman abadi" bagi pelaku. Korupsi yang terungkap terus-menerus akan membuat pelaku dikenang dengan stigma buruk yang melekat padanya, bahkan jika ia terhindar dari hukuman berat.
Kasus Setya Novanto, pemberitaan tentang perannya dalam berbagai kasus korupsi merusak citranya sebagai politisi, meskipun ia hanya dihukum 15 tahun penjara saja. Kehilangan kepercayaan publik, partai, dan kolega membuat karir politiknya terancam berakhir.
ADVERTISEMENT
Dengan citra yang tercemar, peluang karir Setya Novanto semakin sempit. Dalam dunia politik, kredibilitas sangat penting, dan pemberitaan negatif yang terus-menerus memaparkan serangkaian skandal korupsi yang dilakukannya dapat memusnahkan reputasinya untuk selamanya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun hukum tidak selalu memberikan hukuman yang memadai, dampak sosial dari pemberitaan bisa menjadi penghentian permanen bagi karir pelaku.