Melongok Kisah Buruh Garmen yang Sempat Dikerubungi Warga Jelang Lebaran Kemarin

Mayang Suwita
Saya mahasiswi semester 4 Program Studi Jurnalistik, Universitas Padjadjaran yang berdedikasi sebagai calon penerus generasi jurnalis di Indonesia
Konten dari Pengguna
15 April 2024 11:58 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mayang Suwita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ulan (28) saat memermak baju gamis milik pelanggan saat menjelang Lebaran. Foto: Mayang Suwita
zoom-in-whitePerbesar
Ulan (28) saat memermak baju gamis milik pelanggan saat menjelang Lebaran. Foto: Mayang Suwita
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jelang lebaran, di saat emak-emak gelisah karena kebesaran baju, disisi lain ada orang tersenyum simpul, mencium bau-bau hasilkan uang. Siapa lagi kalau bukan sang tailor.
ADVERTISEMENT
Jasa permak ini sudah menjadi andalan para emak ketika bulan Ramadhan tiba. Sejak H-7 lebaran, permak pakaian mulai membludak. Dengan pengalaman 14 tahun menjahit, tentu hal itu bukan masalah bagi Ulan (28), seorang buruh di salah satu Pabrik Garmen di Kawasan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Menurutnya, paling yang menjadi rintangan adalah energi yang dimiliki, sebab selepas seharian menjadi buruh pabrik garmen, malamnya ia harus menyelesaikan permak baju di rumah.
Ulan menetapkan tarif yang relatif terjangkau untuk warga di lingkungan sekitar rumahnya. Permak satu helai pakaian mulai dari Rp 15.000 - Rp 30.000, tergantung tingkat kesulitan. Tarif ini tetap sama baik di hari biasa ataupun menjelang Lebaran.
Ulan mengaku lima hari menjelang Lebaran sudah mendapatkan penghasilan tambahan sekitar Rp 800.000. Padahal, di hari biasa ia hanya dapat penghasilan sekitar Rp 70.000 seminggu.
Ulan dan pelanggan sedang mengukur pakaian saat malam takbiran. Foto: Mayang Suwita
Tidak hanya emak-emak yang menjadi pelanggan di kala mau lebaran, banyak anak muda yang meminta mereka juga dipermak. Bahkan, malam takbiran masih saja orang-orang berdatangan.
ADVERTISEMENT
“Malam takbiran bukannya ibadah, bukan ibadah yang terlalu religius ya, kita kerja juga ibadah, kita begadang ngerjain jahitan. Diuber target, diuber sama pelanggan, sampe gue sendiri (kerja) sampe jam 2 pagi,” kata Ulan.
Berbagai bentuk permakkan mereka terima dari mulai memotong lengan baju dan celana yang kepanjangan, memotong gamis, pasang zipper, mengecilkan ukuran pinggang celana terkadang ada juga pelanggan yang minta membesarkan ukuran pinggang celana. Mana bisa? bagi seorang penjahit seperti Ulan hal itu bisa dilakukan, yang dibutuhkan adalah bahan tambahan dan kreativitas, dengan catatan dari size S menjadi size M. Namun, Ulan mengaku anehnya ada saja yang meminta membesarkan pinggang celana size S menjadi size XL. Tentu hal itu tidak mungkin bisa dilakukan sekreatif apapun dia.
ADVERTISEMENT
Bagi sang ibu, Runtamah (53) keahlian anaknya dalam menjahit merupakan suatu kebanggan tersendiri. Walaupun gaji sebagai buruh garmen sedikit, ibu dari ke-6 anak itu merasa cukup dengan gaji sang anak. Apalagi jika lebaran akan tiba, Runtamah tidak perlu rungsing lagi soal size baju yang takut kebesaran saat ingin check out di marketplace online.
Ulan (kiri) dan Cicih (kanan), pelanggan yang ingin permak baju jelang Lebaran. Foto: Mayang Suwita

Perjuangan Hidup Buruh Pabrik

Sejak 201o, Ulan (28) dipaksa bisa menjahit di pabrik garmen karena krisis ekonomi keluarganya. Memang kala itu, ia mengaku usia 14 tahun harusnya sudah memasuki bangku SMA, tapi malah harus bergumul dengan mesin jahit dan bahan baju yang belum lagi bikin bruntusan. Untung saja, kulitnya setebal kulit badak tidak seperti buruh garmen lainnya yang kebanyakan alergi bahan.
ADVERTISEMENT
Setidaknya keluhan itu tidak terlalu parah dibanding udara pengap dan panas di dalam pabrik, membuat keringat membanjiri sekujur tubuh pada siang hari.
Ulan bercerita, pada bulan puasa rintangan menahan hawa panas jauh lebih besar. Demi puasanya tetap terjaga, ia hanya bisa memaku di depan kipas angin. Tidak cukup dengan kipas angin, yang ia lakukan adalah mencuri waktu untuk ‘main air’ di kamar mandi saat kepala produksi briefing soal target produksi.
“Saking panasnya, saking gak tahannya gue, gue sampe ngeguyur kepala gue di keran sampe nunggu adem kepala. Parahnya temen gue, kalau panas, celananya yang dicelupin ke air, diperes, dipake lagi,” lanjut Ulan sambil cekikikan.
Wanita asal Curug, Kota Depok itu, merupakan anak ke-2 dari enam bersaudara. Ulan mengaku harus membantu orang tuanya memenuhi kebutuhan tiga adiknya yang masih sekolah SD. Memang kakak tertuanya sudah bekerja di bidang jasa service elektronik, tetapi tetap saja tidak melulu mengandalkan penghasilannya. Jika ada pelanggan maka bisa makan, jika tidak ada pelanggan maka tidak ada uang untuk sekadar membeli makanan.
ADVERTISEMENT
Ulan mengenang gaji pertama yang diterimanya sebagai buruh garmen sebesar Rp 800 ribu. Gaji tersebut memang biasa bagi seorang penjahit pemula yang kerjaannya baru seputar menggunting bahan, menggambar pola, dan mempersiapkan perlengkapan menjahit lainnya sebelum produksi dimulai. Tahap pemula seperti ini akan dimasukan ke dalam gaji kategori grade C.
Grade itu kemampuan kerja, kalau kita anak baru, kemampuan kita masih belajar itu masih di bawah, masuk ke grade C. A itu yang paling mahal karena main mesinnya udah jago,” kata Ulan.
Selang sebulan, Lintang (27) si adik perempuan yang umurnya hanya selisih satu tahun dari Ulan memilih untuk ikut menjadi buruh di pabrik yang berlokasi sama di Cinangka, Kota Depok.
ADVERTISEMENT
“Dulu bingung harus ngapain, lanjut sekolah juga gak ada biaya. Kasihan teh Ulan jadi tulang punggung keluarga,” kata Lintang.
Selama empat tahun mereka melabuhi tiga pabrik yang sama, tetapi dengan gaji yang diterima berbeda-beda. Lintang kala itu hanya digaji sebesar 1,8 juta sedangkan Ulan lebih besar yaitu 2 juta. Hal itu biasa terjadi karena beberapa faktor, baik itu dari sisi perusahaan ataupun dari kualifikasi buruh itu sendiri.
“Saya kerja bukan di tempat yang UMR, sistem kenaikan gaji itu pasti ada, apalagi sistem kenaikan gaji global itu pasti ada, setiap setahun sekali pasti ada kenaikan. Tapi, buat yang gak UMR itu gak dipukul rata semua setiap karyawan, hanya pilihan. Itu dinilai dari: pertama absensi, kedua skill,” kata Lintang.
ADVERTISEMENT
“Semisal, mohon maaf skill-nya kurang tapi absensinya bagus, orangnya rajin, itu bisa jadi petimbangan baik buat kenaikan gaji. Yang menilai itu ada supervisor karena kan kita selalu diawasin setiap hari. Supervisor, chief, kemudian kepala produksi, bisa jadi ada yang langsung dinilai dari bosnya sendiri, bosnya karena suka keliling kan,” lanjut Lintang.
Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) tahun 2017 pasal 2 ayat 1 memang betul penyusunan struktur dan skala upah merupakan mutlak hak prerogatif perusahaan dengan memperhatikan golongan, masa kerja, pendidikan, jabatan serta kompetensi.
Penyusunan struktur dan skala upah ini bisa diputuskan perusahaan dengan memperhatikan kemampuan dan produktivitas perusahaan itu sendiri. Bagi perusahaan juga perlu memperhitungkan gaji buruh yang erat kaitannya dengan kontribusi yang diberikan pekerjanya, setara atau tidak.
ADVERTISEMENT
Demi mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya, kakak-beradik itu rela bekerja dari mulai jam 7 pagi sampai jam 7 malam dengan upah Rp 70.000/hari dan uang lembur Rp 5.000/jam saat bekerja tahun 2014 di pabrik garmen yang berlokasi di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.
Dengan akumulasi gaji kedua buruh itu, mereka berani mengajukan kredit motor Beat Karbu keluaran tahun 2010. Menurut pengakuan mereka, motor itulah yang menjadi kebanggaan dan aset pertama mereka.
Ketika di tahun 2015, keduanya tidak lagi bekerja di pabrik yang sama tetapi masih sama-sama berkutat dengan mesin-mesin jahit. Apa daya, toh selama empat tahun mereka hanya dibekali skill menjahit, jadi pemikirannya saat mencari lowongan baru hanya berputar di pabrik garmen, paling yang menjadi pertimbangan mereka ada di jarak dengan rumah dan upah yang diberikan.
ADVERTISEMENT
Setelah pindah, upah mereka sedikit lebih besar dibanding gaji pabrik di tahun 2014 yaitu Lintang mencapai 2,8 juta jika lembur mencapai 3,2 juta. Sedangkan Ulan mencapai 4,5 juta karena sudah mengikuti gaji UMR Kabupaten Bogor.
Dengan upah tersebut, mereka mampu menyekolahkan tiga adik mereka sampai lulus SMA dan sekarang dua adik terakhirnya sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi. Tidak hanya itu, mereka lebih berani sedikit-sedikit merenovasi rumah serta mencicil tiga buah mesin jahit untuk di rumah pada tahun 2018.
Keberadaan mesin jahit di rumah, membuat otak bisnis muncul di kepala Ulan dan Lintang. Mereka membuka jasa permak baju sebagai kerja sampingan. Belum sempat mempromosikan jasanya, dengan sendirinya tempat permak baju ini menjadi terkenal di lingkungan rumahnya. Ulan mengaku jasanya diketahui dari mulut tetangga ke tetangga lainnya sampai meluas ke rumah warga yang lain. Dan mesin jahit ini pulalah yang menjadi jalan mereka panen rezeki menjelang Lebaran.***
ADVERTISEMENT