Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menggambar: Salah Satu Sarana Terbaik untuk Ekspresi Diri
9 April 2025 11:45 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Maylitha Stefanie Hongadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Menggambar bukan hanya soal menciptakan gambar yang indah atau memperlihatkan keterampilan teknis. Lebih dari itu, ia adalah jalan pelan namun pasti menuju pemahaman diri. Bagi banyak orang, menggambar menjadi cara paling jujur dan paling pribadi untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam hati dan pikiran—bahkan hal-hal yang sulit atau tak mungkin diucapkan dengan kata-kata.
ADVERTISEMENT
Melalui garis dan warna, seseorang bisa menyuarakan emosi yang selama ini terpendam. Rasa marah bisa tumpah dalam goresan tajam dan kasar. Kegelisahan bisa terlihat dalam pola-pola berulang yang nyaris obsesif. Sebaliknya, ketenangan muncul dalam komposisi lembut, bentuk mengalir, atau warna-warna pastel yang menenangkan. Bahkan seseorang yang tak pandai berbicara atau menulis pun bisa “berbicara” lewat gambarnya. Karena dalam seni, bahasa bukan lagi tentang kata—tetapi tentang rasa.
Tak heran, banyak seniman besar di dunia yang dikenal karena menjadikan gambar sebagai jendela emosinya. Salah satunya adalah Vincent van Gogh. Ia bukan hanya seorang pelukis jenius, tetapi juga seseorang yang sangat bergulat dengan kondisi mentalnya. Dalam surat-suratnya kepada sang adik, Theo, van Gogh kerap menyebutkan bahwa melukis adalah satu-satunya pelarian yang membuatnya merasa lebih hidup. Karyanya yang penuh warna dan tekstur kuat—seperti The Starry Night—bukan sekadar pemandangan, melainkan refleksi dari pikirannya yang gelisah dan jiwanya yang tak pernah benar-benar tenang. Goresan sapuan kuasnya seperti bicara: tentang kesendirian, tentang harapan, tentang perjuangan untuk tetap waras di dunia yang terasa asing.
ADVERTISEMENT
Contoh lain datang dari dunia modern yaitu Yayoi Kusama, seniman Jepang yang dikenal dengan motif polkadot dan ruang ilusi tanpa batas. Di balik visualnya yang penuh warna dan terkesan playful, tersimpan kisah mental health yang mendalam. Kusama mengalami halusinasi sejak kecil dan melukis menjadi caranya untuk merespons dunia yang menurutnya sering terasa kabur dan menakutkan. Ia menggambar untuk menjaga dirinya tetap “terhubung” dengan realitas—dan hingga kini, karya-karyanya menjadi ekspresi visual dari dunia batinnya yang kompleks dan unik.
Tak perlu jauh-jauh, dari Indonesia sendiri kita punya Affandi, seorang pelukis ekspresionis legendaris. Ia melukis dengan cara unik—menggunakan tangan langsung, bukan kuas—untuk benar-benar merasakan emosi yang ia tuangkan di kanvas. Affandi dikenal melukis dengan jujur dan spontan, terutama ketika menyampaikan penderitaan manusia, kehidupan rakyat kecil, serta refleksi dirinya sendiri. Dalam banyak lukisannya, terlihat bahwa ia tidak berusaha menyenangkan mata penonton, tapi ingin menyampaikan rasa, energi, dan gejolak jiwa.
Dari para tokoh seperti itu, kita bisa melihat bagaimana menggambar tidak sekadar hasil, tetapi proses. Proses untuk memahami diri, menyalurkan rasa, dan berbicara secara jujur kepada dunia. Tak perlu menjadi seorang pelukis hebat untuk merasakan hal serupa. Bahkan coretan kecil dalam buku catatan harian bisa menjadi bentuk ekspresi yang sah. Yang penting bukan bagaimana hasilnya terlihat di mata orang lain, tetapi bagaimana ia terasa bagi si pembuatnya.
ADVERTISEMENT
Menggambar adalah bentuk bahasa yang tidak memerlukan terjemahan. Ia bisa jujur, bisa gelap, bisa penuh warna, bisa kacau atau rapi. Semua tergantung pada apa yang ingin kita sampaikan. Karena sejatinya, gambar bukan hanya bentuk, ia adalah suara hati yang diam-diam berani berbicara.