Konten dari Pengguna

Media Massa di Ambang Kambing Hitam Politik Era Digitalisasi

Mayura Prajnacandra
Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Katolik Parahyangan
8 Januari 2022 14:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mayura Prajnacandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: https://pixabay.com/illustrations/student-laptop-stressed-avatar-5752322/
zoom-in-whitePerbesar
sumber: https://pixabay.com/illustrations/student-laptop-stressed-avatar-5752322/
ADVERTISEMENT
Perspektif masyarakat, politik, dan kekuasaan dapat dikatakan menjadi suatu yang tidak dapat dipisahkan di dalam pemberitaan media massa di Indonesia. Media massa yang seharusnya menjadi mata dan telinga bagi masyarakat untuk mengetahui kebenaran di balik politik yang ada justru seringkali hanya menjadi sebuah ‘kaleng kosong’ yang berkoar tanpa memberikan pendapat sehat bagi para penikmatnya. Tentunya topik kenetralan media massa akan menjadi sebuah pro-kontra di masyarakat modern, sebagian ingin mendapatkan ketentraman dengan dukungan media yang netral sedangkan sebagian lainnya ingin melihat perspektif dari kubu politik yang berbeda. Masyarakat Indonesia yang hidup di tengah era digitalisasi secara sadar maupun tidak sadar seringkali terpengaruh oleh pemberitaan media massa yang sedang hangat dibicarakan.
ADVERTISEMENT
Yosep Adi Prasetyo yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pers memaparkan fakta bahwa Indonesia memiliki media massa terbanyak di dunia. Namun sayangnya, media massa di Indonesia yang sering kita jumpai saat ini cenderung mencari keuntungan dengan berpihak kepada aktor politik tertentu yang dapat menciptakan isu panas serta konflik di tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena budaya masyarakat Indonesia yang menelan mentah-mentah isu yang diberitakan ke publik. MetroTV dan TVOne adalah salah satu contoh media massa yang keberadaannya sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai media nasional terkemuka, sekaligus media yang berpihak kepada kedua kubu aktor politik yang berbeda.
Fenomena ini dapat dilihat jelas ketika pemilihan presiden di tahun 2019 yang menunjukkan bahwa media massa masih dipergunakan untuk kepentingan aktor politik. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga menyatakan bahwa MetroTV dan TVOne sudah tidak layak disebut sebagai televisi berita karena penyalahgunaan untuk kepentingan golongan tertentu. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia harus menyelesaikan permasalahan tersebut dengan melarang eksistensi media massa yang berpihak kepada aktor politik tertentu sebagai bentuk kepedulian negara terhadap konflik masyarakat yang disebabkan oleh media massa tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat akar dari permasalahan ini, dapat dikatakan bahwa aktivitas media massa yang tidak netral sudah ada sejak masa orde lama. Pada saat itu, Indonesia masih belum memiliki dewan pers sehingga media massa tidak berdaya dan terus menghadapi tekanan oleh penguasa, pemilik modal, dan para pengusaha media yang mengatur pers. Pemerintah mengancam media massa dengan pencabutan SIUPP jika ada yang menyuarakan kritik. Seiring berjalannya waktu memang media massa di Indonesia dapat merasakan kebebasan pers mereka, tetapi sayangnya di era digital ini masih terdapat media massa yang berada di bawah kontrol aktor politik.
Salah satu alasan mengapa ketidaknetralan ini dapat bertahan hingga kurang lebih 56 tahun adalah karena masyarakat terlalu menyepelekan dan menganggap hal tersebut sudah menjadi fakta umum di masyarakat. Sikap tersebutlah yang membuat budaya pengontrolan media massa digemari oleh para aktor politik. Padahal, demokrasi kultur sangatlah penting karena dapat menciptakan suatu ruang untuk membangun diskusi yang sehat dan bersifat substansial. Opini masyarakat juga tidak perlu dipertanyakan karena opini tersebut tidak berasal dari “satu sisi” saja.
ADVERTISEMENT
Kebebasan pers tentunya harus dijunjung tinggi oleh Bangsa Indonesia, tetapi akan sangat berbeda jika kebebasan tersebut dipersalahgunakan oleh media massa untuk memancing pembaca atau penikmatnya. Jika media menampilkan suatu berita yang mencondong ke arah suatu aktor politik tertentu, maka hal ini akan menimbulkan keresahan di masyarakat. Jangan sampai hal ini terjadi kembali seperti saat periode pemilihan presiden 2019 di mana para aktor politik dan partai terlihat jelas mengontrol media massa besar di Indonesia. Banyak masyarakat yang melemparkan kekesalannya dan mempertanyakan netralitas media massa Indonesia.
Masyarakat geram melihat perkelahian besar di tengah masyarakat akibat pemberitaan media massa yang seolah menggiring masyarakat Indonesia ke dalam berita panas yang disiapkan oleh aktor politik. Menurut data milik UNESCO, tingkat minat membaca masyarakat Indonesia masih sangat kecil yaitu 0,0001% atau setara dengan 1 banding 1000 orang di Indonesia. Fakta ini tentu menjelaskan mengapa masyarakat Indonesia cenderung termakan oleh pemberitaan yang sebenarnya dipergunakan oleh aktor politik.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, mari melihat dampak sikap tidak netral ini melalui kacamata konsumen terhadap media massa. Selain berdampak buruk bagi masyarakat, sikap tidak netral dapat mendorong perusahaan media massa ke dalam lubang kuburnya sendiri. Pasalnya, masyarakat Indonesia semakin jenuh menerima pemberitaan yang hanya memancing keributan dalam publik. Para penonton, pembaca, dan pendengar setia perlahan-lahan akan meninggalkan sisi media massa yang tidak netral, karena apa yang dicari oleh masyarakat bukanlah sensasi melainkan ruang untuk membuka opini secara netral. Mereka tentunya akan mencari media massa lain yang dapat membuka opini dan pemberitaan yang proporsional, tidak melihat dari satu sisi saja. Jika hal ini terus berlanjut, perusahaan media massa yang tidak netral akan ditinggalkan oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, pemerintah dan masyarakat seharusnya merasa prihatin dan menyadari betapa pentingnya media massa untuk menjunjung tinggi netralitasnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan regulasi kepada perusahaan-perusahaan media massa untuk mencegah aktivitas yang tidak netral. Pemerintah harus menghilangkan media massa yang memihak aktor politik tertentu dengan cara menekankan sikap tegas terhadap media massa tanpa mengekang kebebasan berpendapat. Selain itu, pemerintah juga harus terus mengimbau dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya literasi digital. Dengan upaya-upaya tersebut, niscaya Indonesia akan terbebas dari media massa yang tidak netral dan masyarakat tidak perlu takut terjerumus ke dalam ‘racun’ aktor politik.
Referensi:
https://www.merdeka.com/peristiwa/kpi-nilai-tvone-metrotv-sudah-tak-layak-disebut-tv-berita.html
Syam, N. (2005). Sistem Media Massa Indonesia di Era Reformasi: Perspektif Teori Normatif Media Massa. SK, 56, 71-74.
ADVERTISEMENT