Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Pagi hari, pintu gudang tempat Ranting tidur diketuk. Masih dalam keadaan kantuk ia bangun lalu membukakan pintu. Ternyata itu Intan, ia berdiri di hadapan Ranting sambil membawa sepiring nasi dan tempe goreng. Umur Intan ini lebih tua satu tahun dari Ranting, wajahnya selalu datar dan pucat. Ia menyodorkan piring tersebut ke Ranting yang masih mengucek matanya.
ADVERTISEMENT
“Sarapan,” kata Intan.
Ranting tidak langsung mengambil piring itu.
Intan meletakkan piring tersebut di lantai kemudian beranjak pergi begitu saja. Cara berjalan Intan cukup lucu, ia becingkrak membuat rambutnya yang dikuncir berayun-ayun.
Sesaat kemudian, Ranting mengambil piring tersebut, di dalam gudang sempit itu ia makan walau rasanya aneh, Ranting tetap paksakan untuk memakannya karena perutnya sangat lapar. Boneka kelinci masih ia peluk. Belum sempat ia menghabiskan makanannya, tiba-tiba terdengar suara Bu Hida memanggilnya dengan nada tinggi. Pintu gudang dibuka paksa, wajah Bu Hida sangat berbeda dibanding saat pertama kali Ranting bertemu dengannya. Sekarang terkesan galak, bengis, dan judes.
“Suruh siapa makan?” bentak Bu Hida.
Ranting meletakkan piringnya, wajahnya menengadah ke arah Bu Hida.
ADVERTISEMENT
“Ayo ikut!”
Lengan Ranting ditarik paksa, bonekanya jatuh. Jelas saja Ranting meronta ingin mengambil kembali bonekanya. Tapi tarikan Bu Hida lebih kuat dan terkesan menyeret tubuh Ranting. Dia membawa Ranting ke toilet umum yang bau pesing, klosetnya juga kotor. Di sana ada tiga anak lainnya, dua perempuan dan satu laki-laki yang sedang membersihkan toilet juga. Ruangannya pengap, tertutup dari sinar matahari. Lampu lima watt yang dipasang di setiap toilet menjadi satu-satunya penerang.
Ada empat toilet di sana, mereka sedang menggosok-gosok lantainya yang kotor dengan sikat. Sesekali menoleh ke Bu Hida dengan wajah ketakutan. Mereka barang kali sudah tahu tabiat Bu Hida yang suka marah-marah tanpa sebab, juga kasar ke anak-anak tertentu. Tentunya anak yang tidak menghasilkan uang baginya.
ADVERTISEMENT
“Kau bersihkan toilet ini, setelah itu baru lanjut makan lagi,” suruh Bu Hida yang langsung membalikkan badan dan pergi dari hadapan Ranting.
Ranting berdiri di depan toilet, bau tidak sedap menusuk hidungnya. Ia mengambil sikat yang tergeletak di dalam toilet. Diguyurkannya segayung air ke lantai kemudian ia mulai mengosongkan sikat tersebut dengan sisa tenaga yang ia punya.
“Hai, kamu kelihatan lelah. Biar aku saja yang bersihkan,” Ikbal, anak lelaki berumur sembilan tahun menghampiri Ranting. Tampaknya ia sudah menyelesaikan tugasnya.
Ranting berdiri, ia menerima tawaran Ikbal.
“Di sini kalau tidak ada kerabat yang ngasih duit ke Bu Hida, pasti disuruh-suruh kayak gini,” tanpa dipinta bercerita, Ikbal nyerocos sambil terus menggosok toilet.
ADVERTISEMENT
Ranting tidak menimpali, ia memperhatikan Ikbal yang sedang sibuk menggosok toilet.
“Nama kamu siapa?”
“Ranting.”
“Hahaha... lucu banget namanya,” Ikbal menoleh ke wajah Ranting.
Tawa Ikbal berhenti saat melihat wajah Ranting datar dan terkesan tidak menyukai guyonan itu.
“Hai Ranting. Kamu udah makan?” seorang anak perempuan menyapa Ranting dari belakang. Dia Yunisa yang juga membersihkan toilet barusan.
“Tadi hanya sedikit," jawab Ranting singkat.
“Nih, aku punya roti.”
“Wah mau dong,” Ikbal keluar dari toilet, ia menyeka keringatnya.
“Aku juga mau,” dari pintu toilet lainnya muncul Faula.
Yunisa merogoh kantong roknya, “Tenang, aku punya banyak, kok.”
“Dari mana?” tanya Ikbal.
“Pas tadi bersih-bersih kamar Bu Hida, aku curi roti-roti ini soalnya aku lapar banget. Makanan di dapur umum udah habis,” kata Yunisa.
ADVERTISEMENT
Ketika mereka asik makan roti tiba-tiba saja Bu Hida muncul sambil memanggil nama Ranting dengan nada tinggi. Ia melihat bungkus roti yang berserak di lantai dan tahu betul itu adalah roti miliknya karena ia beli di toko roti ternama.
“Wah, pantas saja roti Ibu hilang. Siapa yang yang berani mencurinya. Ngaku!”
Roti yang ada di mulut mereka belum selesai dikunyah, mereka semua tertunduk.
“Ayo ngaku, atau Ibu kurung kalian semua di toilet ini selama tiga hari!”
Ragu-ragu lengan mungil Yunisa terangkat.
“Anak sialan!”
Ranting terpejam saat Bu Hida mengayunkan lengannya ke wajah Yunisa. Dan, ketika Ranting membuka matanya, Yunisa sudah terkapar di lantai yang basah. Darah mengucur dari hidungnya. Ia tewas!
ADVERTISEMENT
***
Kematian Yunisa membuat heboh panti asuhan. Sampai-sampai, Pak Manto, ketua yayasan panik atas kejadian ini. Liciknya, Bu Hida mengancam setiap anak yang menyaksikan kejadian itu, mereka dipaksa tutup mulut dan memberi kesaksian palsu kalau kematian Yunisa murni kecelakaan. Namun, sayangnya saat anak-anak itu ditanyai kepala yayasan, Ranting malah menunjuk wajah Bu Hida.
"Dia pembunuhnya," kata Ranting.
Nantikan cerita Anak Kemenyan selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: