Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Ranting berdiri di depan gerbang panti asuhan. Cat gerbangnya berwarna hijau yang mulai memudar, pintu gerbangnya juga sudah berkarat, engselnya mengeluarkan bunyi nyaring kalau digerakkan. Anak-anak berlarian di halaman panti yang cukup luas, ada yang sedang bermain ayunan, main bola plastik, main karet, melihat keramaian itu Ranting mulai merasa takut. Ia sebenarnya masih ingin tinggal bersama keluarga Sunaryo.
ADVERTISEMENT
“Lihat Ranting, mereka nanti akan jadi teman-teman kamu.”
Ranting tidak menjawab, wajahnya terlihat ketakutan.
Seorang perempuan gemuk yang umurnya sekitar empat puluh tahunan melangkah perlahan ke arah Ranting. Rambutnya sebahu, baju kemeja yang ia kenakan bermotif kotak-kotak hitam dan hijau tua, rambutnya hitam mungkin saja disemir. Senyumnya mengembang ramah ke arah Ranting. Perempuan itu biasa dipanggil Bu Hida, ia salah satu pengurus panti asuhan.
“Selamat datang, Pak. Wah, kamu Ranting, ya?”
Ranting tidak menjawab, juga tidak mengangguk. Pandangannya penuh waspada terhadap wanita itu.
“Iya, Bu. Saya Sunaryo yang mau menitipkan Ranting di panti asuhan ini.”
“Oh, iya ya... Tadi staf kelurahan telepon saya dan kami sudah bicara panjang soal Ranting.”
ADVERTISEMENT
“Iya Bu. Sebenarnya saya masih ingin Ranting tinggal di rumah, tapi keuangan saya terbatas dan semua saudara Ranting tidak mau mengurusnya.”
“Kasian sekali anak secantik Ranting malah ditelantarkan. Bapak tenang saja, Ranting sekarang berada di tempat yang tepat, kok.”
Pak Sunaryo mengangguk, senyumnya mengembang.
Bu Hida mengajak mereka berdua masuk ke halaman panti. Beberapa anak yang sedang berlarian tiba-tiba berhenti, Ranting berhasil menjadi pusat perhatian mereka. Dipandangi seperti itu, membuat Ranting tidak nyaman, ia tertunduk sambil terus memeluk erat bonekanya. Mereka melewati pohon mangga yang sedang berbuah lebat, ada dua buah yang jatuh terserak akibat terlalu matang. Ranting sempat memperhatikan buah itu sambil terus berjalan.
Mereka masuk ke dalam kantor. Bu Hida menyerahkan sebuah formulir data diri, untung saja Pak Sunaryo membawa kartu keluarga milik Ranting. Dengan perlahan ia mengisi formulir tersebut.
ADVERTISEMENT
Setelah selesai, Bu Hida mengambil sebuah paket besar yang dibungkus rapi menggunakan plastik, paket itu berisi kebutuhan dasar Ranting untuk di asrama nanti, seperti alat-alat mandi, baju muslim, sendal, sepatu dan baju sekolah.
“Ranting nanti sekolah, ya. Semua kebutuhan kamu ada di sini,” Bu Hida menyentuh paket itu.
Seperti biasa Ranting tidak mengangguk juga tidak berbicara apa pun.
“Iya, terima kasih Bu Hida,” jawab Pak Sunaryo.
“Yuk, Ibu antar ke kamar kamu.”
Mereka kemudian beranjak menuju asrama, melewati koridor yang ramai oleh anak-anak kecil yang sedang berlarian ke sana ke mari. Mereka tiba di sebuah kamar yang cukup besar, di sana berjejer tempat tidur bertingkat, tiga anak kecil yang sedang bermain bola bekel di lantai.
ADVERTISEMENT
“Nah ini tempat tidur kamu,” Bu Hida menunjuk sebuah ranjang bertingkat. “Di bawahnya Intan,” lanjutnya.
“Intan?” Ranting akhirnya bersuara.
Kepala seorang anak perempuan yang rambutnya di kucir tiba-tiba muncul dari ranjang atas. Ia terlihat pucat dan tidak sebahagia anak-anak lainnya.
“Itu dia. Hai Intan, kamu bakal punya teman baru nih namanya Ranting,” Bu Hida melambaikan tangan pada Intan yang masih memandanginya dengan datar.
“Yang betah ya, Ranting. Bapak doakan semoga kamu jadi anak yang sukses,” kata Pak Sunaryo.
“Kalau kamu butuh apa-apa, bilang saja sama ibu, ya, sayang,” tambah Bu Hida.
“Baiklah Bu, apa masih ada berkas yang harus saya isi?”
“Oh, tidak ada, Pak.”
“Kalau begitu saya pamit saja Bu. Oya Ranting, nanti bapak akan rajin tengok kamu. Jadi jangan khawatir, ya.”
ADVERTISEMENT
Ranting mengangguk dan mengantar Pak Sunaryo sampai ke gerbang panti, lelaki yang selama ini sudah berbaik hati padanya sekarang pergi meninggalkannya di panti asuhan. Angkot yang membawa Pak Sunaryo perlahan menjauh sampai tidak terlihat lagi oleh Ranting.
***
Jam sembilan malam, semua anak masuk ke kamarnya masing-masing, Ranting bergegas ke tempat tidur, menyelimuti diri sambil memeluk boneka kesayangannya. Itu boneka yang dibelikan ibunya dulu, ia tidak mau jauh dari boneka itu. Ranting mencoba untuk memejamkan mata, tapi tiba-tiba Bu Hida muncul dan membentaknya.
“Bangun!”
“Enak aja tidur!”
Dia membawa seorang anak perempuan yang mengenakan gaun merah.
“Ini tempat tidurnya Bunga, kamu turun dulu,” Bunga adalah anak baru yang saja masuk ke panti, penanggungnya memberikan uang pada Bu Hida, tak seperti Pak Sunaryo yang hanya modal isi formulir.
ADVERTISEMENT
Ranting ditarik paksa, ia kemudian dibawa ke sebuah gudang kecil yang remang. Di sana hanya ada kasur lantai yang sudah apek dan bantal bau tengik. Ia sudah sangat lelah lalu memaksakan diri untuk tidur, sesekali Ranting terbatuk-batuk karena ruangan itu berdebu. Dan... dari sudut ruangan itu, muncul bayangan kuntilanak yang memperhatikan Ranting.
Nantikan cerita Anak Kemenyan selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: