Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Setelah Ranting menuduh Bu Hida sebagai pelaku pembunuhan, Pak Manto mengajak bicara empat mata dengan Bu Hida. Jenazah Yunisa sudah dikuburkan tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu. Ini bukan soal keadilan, Pak manto sudah mencurigai kalau ada kekerasa terhadap Yunisa dan kalau sampai masyarakat tahu, panti asuhannya tidak akan mendapatkan donasi lagi. Bahkan lebih buruknya, bisa saja ditutup.
ADVERTISEMENT
“Apa kau benar kau membunuhnya?”
“Tidak Pak.”
Pak Manto menghela napas.
“Bu Hida, aku tidak akan melaporkanmu ke polisi. Mengaku saja.”
Dengan wajah cemas ia mengangguk, “Aku tidak sengaja, Pak.”
Sudah Pak Manto duga pasti ini pembunuhan. Ia harus menjaga agar kasus ini tidak bocor keluar. Lelaki itu juga tidak tega kalau harus melaporkan Bu Hida ke polisi. Bukan karena Bu Hida sudah lama kerja di panti, tapi wanita itu masih ada hubungan saudara dengan Pak Manto.
"Jangan kau ulangi lagi, ya. Kalau kasus ini sampai bocor keluar, bisa jelek citra panti asuhan kita,” ujar Pak Manto, ia kemudian mengusap rambutnya yang sudah beruban. Bu Hida mengangguk dan meminta maap.
ADVERTISEMENT
***
Wanita itu tidak dilaporkan ke polisi dan ia sekarang menaruh dendam pada Ranting. Malam itu juga ia mendatangi gudang sempit tempat Ranting tidur. Ranting diseret paksa masuk ke toilet yang pengap dan bau, itu toilet yang tempo hari dibersihkan Ranting. Saat Ranting diseret, Ikbal dan Faula mengintip dari jendela kamarnya dengan penuh kecemasan.
“Jangan kurung aku!” teriak Ranting sambil meronta-ronta.
Bu Hida akan menyiksanya terlebih dahulu sebelum Ranting dikurung di dalam toilet bau itu. Tubuhnya dihempaskan, Ranting tersungkur ke lantai yang basah dan kotor. Lengannya kemudian ditarik paksa, rambutnya dijenggut dan kepalanya dimasukkan ke dalam ember berisi air. Tubuh Ranting meronta, ia kehilangan napas kemudian Bu Hida mengangkat kembali kepalanya. Wajah Ranting sudah pucat, ia batuk-batuk.
ADVERTISEMENT
“Dasar anak setan!”
Wanita itu memasukkan kembali kepala Ranting ke dalam ember. Dan... tiba-tiba kedua lengan Bu Hida lemas, matanya melotot, suaranya tertahan di tenggorokan. Sebuah pisau yang panjangnya sejengkal orang dewasa tertancap di leher Bu Hida. Darah menetes perlahan, ia kemudian ambruk. Ranting terkejut saat melihat Intan berdiri di hadapannya sambil tersenyum.
“Kamu udah makan?” tanya Intan.
Ranting masih mengatur napasnya yang sempat sesak, matanya sembab, dan hidungnya merah. Kedua kaki Ranting basah oleh darah yang semakin lama semakin banyak mengalir dari leher Bu Hida.
“Be... belum,” jawab Ranting sambil mengusap wajahnya.
Tubuhnya bergertar ketakutan melihat mayat Bu Hida yang terkapar mengenaskan. Intan kemudian membantu Ranting untuk berdiri, ia juga mengguyurkan air ke kedua kaki Ranting yang berlumur darah. Sesekali Ranting menoleh ke mayat Bu Hida, ia tidak menyangka kalau Intan benar-benar membunuh wanita itu.
ADVERTISEMENT
“Kamu jangan khawatir. Bu Hida tidak pantas hidup, dia akan tenang di neraka,” kata Intan, ia sadar kalau Ranting sedang ketakutan.
Setelah kaki Ranting bersih, Intan menuntun lengannya dan mereka berdua keluar dari toilet itu. Intan ikut masuk ke gudang Ranting. Di sana mereka berdua duduk di atas kasur butut sambil memakan roti yang Intan curi dari kamar Bu Hida. Tiba-tiba mata Intan menangkap sesuatu yang menarik, itu boneka kesayangan Ranting.
“Bonekanya bagus.”
“Iya, dibelikan bapakku.”
Intan mengangguk, mulutnya sibuk mengunyah.
“Kamu tahu? Kamu itu adikku.”
Ranting mengerutkan dahinya.
“Nggak mungkin aku punya kakak. Aku ini anak satu-satunya.”
“Maksudku dari ibu gaib kita,” lanjut Intan.
ADVERTISEMENT
Ranting semakin tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Intan.
“Aku juga lahir dari pohon kemenyan,” kata Intan sambil menatap wajah Ranting yang kebingungan.
“Tadi aku disuruh Ibu kita buat bunuh Bu Hida.”
Sesaat kemudian, terdengar suara gaduh di atas plafon disambut tawa cekikikan seorang wanita.
“Nah itu Ibu. Dia datang....”
Ranting mendongak dan terkejut bukan main dengan apa yang dilihatnya.
Nantikan cerita Anak Kemenyan selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: