part 7 square(1).jpg

Dua Kehidupan Rani: Dia Datang Lagi (Part 7)

12 Maret 2020 15:37 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dua Kehiduapn Rani. Foto: kumparan/Argy
zoom-in-whitePerbesar
Dua Kehiduapn Rani. Foto: kumparan/Argy
ADVERTISEMENT
Mas Andro mengajakku dan anak-anak untuk berkunjung ke rumah orang tuanya di Bogor. Tentu saja aku sangat senang karena setidaknya bisa melupakan semua kejadian aneh yang kualami akhir-akhir ini. Rumah mertuaku terbilang cukup nyaman, ada dua batang pohon rambutan yang rindang di depan rumahnya dan halaman kecil yang ditumbuhi rumput hias. Setibanya di sana, Bu Fatimah, nama mertuaku, menyambut kedatangan kami di depan pintu rumahnya. Di rumah sederhana itu hanya tinggal dia seorang diri, sedangkan Pak Husen, suaminya sudah lama meninggal.
ADVERTISEMENT
"Eh Rani, apa kabar sayang?" sapa mertuaku ramah.
Rani langsung memeluk neneknya, "Rani kangen sama nenek," Bu Fatimah mengusap rambut Rani dan mencium pipinya.
Seperti biasa, kami memang lebih suka lesehan di beranda rumah sambil menggelar tikar ketimbang duduk di sofa ruang tamu, Mas Andro membawa sesisir pisang ambon dan seteko air putih dari dapur kemudian menyuguhkannya.
"Rani mau pisang, Nak?" Bu Fatimah mencomot pisang itu dan memberikannya pada Rani.
"Nggak Nek," Rani menggelengkan kepala.
"Akhir-akhir ini Rani aneh, Bu," Mas Andro membuka obrolan.
"Aneh kenapa maksud kamu?"
"Seperti ada makhluk gaib yang mengikuti Rani.”
"Waduh! Kamu sudah obati?"
"Sudah berkali-kali, tapi tetap seperti itu, Bu." Kali ini aku yang menimpali.
ADVERTISEMENT
"Dia juga sudah kami rukiah, tapi tetap saja seperti itu, Bu," kataku sambil mencomot pisang ambon.
"Rani pernah hilang ya dulu?" Tanya Bu Fatimah.
"Iya, Bu." Mas Andro terlihat serius.
"Kamu coba deh datang tempat kejadian saat dia hilang. Siapa tahu ada petunjuk di sana," saran mertuaku cukup masuk akal.
Aku sudah curiga dari awal kalau anakku memang ada yang mengikuti atau lebih parah lagi ada makhluk gaib yang mengendalikannya. Aku dan Mas Andro mengangguk. Mungkin apa salahnya mencoba saran Bu Fatimah.
"Oya, tapi bayimu baik-baik saja, kan? Sini ibu mau gendong," aku menyerahkan Dika pada mertuaku. Kemudian ia ditimang-timang. Aku sangat beruntung punya ibu mertua sebaik Bu Fatimah.
ADVERTISEMENT
***
Seminggu setelah kembali dari Bogor, aku mengalami kejadian mencekam lagi. Saat sedang menyusui, kudengar seseorang mengetuk pintu rumah. Semakin lama ketukan itu semakin kuat tanpa ada suara yang memanggil dari luar rumah. Aku buru-buru meletakkan bayiku di tempat tidurnya. Dan bergegas untuk membukakan pintu.
"Mah, jangan dibuka," Rani muncul dari dalam kamarnya dengan wajah ketakutan.
"Kamu tahu itu siapa?"
Rani mengangguk.
Pintu itu bukan lagi diketuk, tapi digedor-gedor. Saat itu siang bolong dan aku rasa tidak mungkin ada setan.
"Itu siapa Ran?"
"Danyang, Mah. Temanku. Dia lagi marah sama aku."
Aku terkejut dengan ucapan Rani. Kemudian bergegas menggendonya, membawanya ke dalam kamar. Lalu kuhubungi Mas Andro agar cepat pulang.
ADVERTISEMENT
"Pah, makhluk gaib itu datang lagi ke rumah kita."
"Hah! Rani bagaimana?"
"Dia baik-baik saja, sudah kubawa ke kamar."
Namun saat aku menoleh ke arah Rani. Ia tiba-tiba menghilang.
"Ran?"
"Mas, Rani nggak ada, Mas!"
"Mamah," kulihat ia melayang di atas sambil tersenyum padaku.
"Ya ampun Rani!"
"Mas panggil ustaz Rojudin lagi."
"Baik Mah, kamu jangan panik. Tetap tenang ya, Mah."
Kulihat Rani masih melayang di atas sambil melambaikan tangan padaku.
"Mah ayo sini main sama Danyang. Dia udah baikan sama aku Mah." ujarnya.
Sesaat kemudian, teleponku berbunyi lagi.
"Mah ustaznya meninggal kemarin."
"Astaga!" aku menutup mulut.
"Pah, cepat pulang sekarang."
"Oke Mah, kamu tenang ya jangan panik. Papah udah di jalan."
ADVERTISEMENT
Sesaat kemudian, benda-benda kecil dalam kamarku terpental ke sembarang arah. Aku berusaha melindungi bayiku dari benda-benda tersebut. Rani malah terbahak-bahak melihat kepanikanku.
"Cukup, Nak. Turun!" kataku.
"Bawa adikku ke sini, Mah," Rani menunjuk bayiku.
"Jangan, Ran!"
"Berikan adikku, Mah!"
Dia marah lalu berteriak membuat cermin di kamarku pecah berantakan. Segera kubawa bayi keluar dari kamar untuk menghindari pecahan kaca. Aku tidak berani masuk ke dalam rumah sampai Mas Andro pulang.
Sesaat kemudian, Mas Andro datang dengan tergesa. Dengan hati-hati kami memeriksa kamar. Di sana Rani sudah terkapar tidak sadarkan diri di atas lantas, sedangkan kamarku berantakan tidak berupa.
Nantikan cerita Dua Kehidupan Rani selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten