part 10 square.jpg

Dua Kehidupan Rani: Dia Tetap Anakku (Part 10)

14 Maret 2020 14:12 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dua Kehidupan Rani. (Foto: Argy Pradypta Martanegara)
zoom-in-whitePerbesar
Dua Kehidupan Rani. (Foto: Argy Pradypta Martanegara)
ADVERTISEMENT
“Yang benar saja, Bah! Anak kami masih hidup. Abah lihat dia masih bernapas, malah dibilang sudah meninggal. Bagaimana sih?” jelas saja aku marah.
ADVERTISEMENT
Abah Yadi menarik napas dalam, lalu mengembuskan-nya pelan. Dia masuk ke dalam kamar. Sesaat kemudian dia muncul lagi dengan membawa sebuah wadah berisi kembang warna-warni. Ia meminta Mas Andro membaringkan Rani di atas tikar.
Kembang tersebut lalu ditaburkan ke seluruh tubuh Rani. Sesaat setelah itu, tubuh Rani bergetar. Kedua matanya melotot. Aku dan mas Andro panik.
“Kenapa ini, Bah?” tanya Mas Andro.
“Tenang!” kata abah Yadi.
Selang beberapa detik, Abah meminta Mas Andro untuk menyentuh tubuh Rani. Namun, tubuh itu tidak dapat disentuh. Seperti ada bias pelangi yang terlihat, namun tidak dapat direngkuh.
“Ini roh anakmu. Dia benar-benar sudah meninggal dan gentayangan. Roh Rani tidak mau jauh dari orang tuanya."
ADVERTISEMENT
Aku dan Mas Andro menangis. Kami tidak kuasa melihat apa yang terjadi dengan Rani.
“Lalu siapa itu Dayang yang kata Rani jadi temannya?” tanyaku sambil menangis.
“Dia demit penghuni rumah yang pernah kalian sewa. Dia memang akrab dengan Rani. Tapi dia tidak akan membahayakan kalian.”
Mas Andro masih berusaha merengkuh tubuh Rani. Tapi, tetap saja tidak bisa. Rani memang sudah meninggal.
“Ada hal yang harus kalian ketahui. Aku melihat ada seseorang yang melakukan ini semua,” kata Abah.
Mendengar hal itu, aku dan Mas Andro seketika menatap wajah abah Yadi. Sesaat kemudian, kami saling pandang.
“Siapa Bah?” tanya suamiku.
“Kisur. Dia memanfaatkan anakmu untuk tumbal agar bisa punya keturunan.”
ADVERTISEMENT
“Bajingan!” suamiku mendelik, marah.
Perlahan tubuh Rani menjadi samar . Sesaat, tubuh itu akhirnya menghilang.
“Bah, Rani ke mana?”
“Dia tidak akan ke mana-mana. Saat kalian pulang nanti, dia pasti ada di rumah. Roh Rani enggan jauh dari kalian.”
Dan, benar saja. Saat kami tiba di rumah, Rani sudah anteng di atas ayunan. Ia malah menyapa kami sambil tersenyum ramah. Sontak saja aku dan Mas Andro memeluknya sambil menangis.
***
Besoknya, aku dan Mas Andro pergi ke Pandeglang untuk menuntut balas atas perbuatan Pak Kisur. Suamiku mengemudikan mobil dengan sangat cepat, ia tidak sabar ingin memberi pelajaran pada lelaki tua itu. Sialnya sesampainya di rumah Pak Kisur, dia dan istrinya sudah tidak tinggal di sana lagi. Kami malah menjumpai orang yang berbeda.
ADVERTISEMENT
“Oh, semenjak istrinya hamil Pak Kisur pindah rumah entah ke mana dan Rumah ini sudah kami beli,” kata seorang bapak paruh baya yang menjadi pemilik baru rumah Pak Kisur.
“Kalau rumah yang satu lagi?” tanyaku.
“Wah kalau rumah itu terbengkalai Bu. Nggak tahu dijual apa nggak? Ibu mau beli rumah, ya?”
“Oh, Nggak Pak. Kalau begitu kami pamit saja. Terima kasih ya, Pak.”
Kami langsung menuju rumah yang dulu pernah kami sewa. Keadaannya sangat tidak terurus. Pintunya dibiarkan terbuka, kami masuk ke dalam rumah tersebut kemudian mendobrak kamar tempat Rani ditemukan dulu. Dan... betapa terkejutnya saat kamu temukan pakaian Rani tergeletak di sana, juga ada sebuah boneka panda kesayangan Rani. Kami menangis dan bersumpah akan menemukan Pak Kisur.
ADVERTISEMENT
***
Nyatanya kami tidak pernah berhasil menemukan Pak Kisur. Ia dan istrinya hilang begitu saja entah ke mana. Dan, soal Rani, rupanya dia enggan pergi. Walau kami tahu dia adalah roh gentayangan, tapi kami tetap membiarkannya berada di rumah ini.
Dika, adik Rani, sudah tumbuh menjadi seorang remaja. Tapi Rani tetap menjadi gadis manis yang berumur tidak lebih dari lima tahun. Sebenarnya aku dan Mas Andro sudah mengikhlaskan kematian Rani. Tapi, kami tidak tega kalau harus mencari paranormal untuk mengusirnya dari rumah.
Lagi pula Dika sudah menerima keadaan kakaknya itu. Ia malah semakin sayang pada Rani. Padahal ia tahu kalau kakaknya adalah seorang hantu. Dika tidak pernah takut dengan Rani. Malah, sekarang yang terlihat seperti seorang kakak adalah Dika karena tubuh Rani tidak tumbuh dan berkembang.
ADVERTISEMENT
Setiap malam aku mendengar Rani bermain dengan teman gaibnya di dalam kamar. Suara tawa Rani sangat khas. Terkadang ia mengeluarkan suara wanita, kadang suara lelaki tua. Aku sudah maklum karena dia bukan manusia lagi.
Rani juga suka merengek ingin darah ayam segar dan tulang belulang hewan seperti sapi dan kerbau. Aku sempat membaca sebuah artikel yang menerangkan kalau makhluk gaib memang suka pada darah dan tulang hewan.
"Mau darah lagi, Mah," kata Rani saat sarapan pagi. Kulihat darah di piringnya sudah habis.
Kalau dia minta darah, mau tidak mau harus kuturuti. Sebab, kalau tidak dia akan marah dan mengacak-acak isi rumah.
Punya anak seorang hantu memang tidak pernah terpikir dalam benakku. Anak tetaplah anak. Walau berbeda alam, kasih sayangku sangat besar kepada Rani. Hingga pada suatu hari, Mas Andro menghampiriku.
ADVERTISEMENT
"Mah, sampai kapan kita mau seperti ini terus?"
"Maksud kamu, Pah?"
"Rani sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Papah yakin kalau kita relakan dia pergi, dia pasti lebih tenang di alamnya."
"Mau bagaimana pun aku sayang sama dia, Pah. Aku tidak peduli kalau pun dia hantu. Aku tetap sayang sama dia," kataku dengan air mata yang mulai basah.
"Kalau sayang sama anak kita, kita harus merelakannya, Mah. Biar dia tenang di alam sana."
"Mamah sama Papah lagi ngomongin aku, ya?"
Tiba-tiba Rani memotong obrolan kami. Ia berdiri di depan pintu. Sekitar mulutnya penuh bercak darah ayam. Tangannya menggenggam tulang sapi.
"Enggak, Sayang," aku mengusap air mata. Kulihat suamiku semakin bingung.
ADVERTISEMENT
Aku tahu Mas Andro ingin sekali memanggil dukun lalu mengusir Rani dari rumah. Ia ingin Rani tenang di alamnya. Tapi, aku tidak sampai hati untuk mengusir anakku sendiri. Hingga sampai saat ini, setelah berpuluh-puluh tahun Rani tetap tinggal bersama kami.
Dia tidak tumbuh, juga tidak menua. Mas Andro, suamiku tercinta meninggal dunia lebih dulu. Sedangkan Dika, anak bungsuku, tinggal di Lampung bersama istri dan anaknya.
Sekarang aku hanya seorang wanita tua yang sudah beruban dan keriput. Tidak banyak hal yang bisa kulakukan. Dan, sampai detik ini, saat aku menulis kisah ini untuk kalian, Rani masih tinggal bersamaku.
Ia pernah bertanya tentang apa yang sedang kukerjakan. Dan, aku bilang kepadanya kalau aku sedang menulis tentang kisah yang sangat indah. Tentang dua kehidupan Rani, anakku tercinta.
ADVERTISEMENT
"Rani sayang mamah...," katanya sambil memelukku.
SELESAI
___
Nantikan cerita horor selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten