ghost-1215489_1920.jpg

Hotel Bekas Pembunuhan: Kematian Zainal (Part 8)

25 Juni 2020 16:31 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cerita horor Hotel Bekas Pembunuhan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerita horor Hotel Bekas Pembunuhan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Lampu hotel menyala kembali. Heri membopong Tiara ke ruang istirahat. Saking paniknya dia lupa pada Hilda yang barusan ia bawa dari lantai dua. Anehnya Hilda sudah menghilang. Jelas itu bukan sosok Hilda yang sebenarnya, tapi makhluk halus yang menyerupai Hilda.
ADVERTISEMENT
“Tadi lu lihat apa?” tanya Heri setelah Tiara siuman.
“Lu benar, Her. Ada setan di hotel ini.”
Heri terkejut mendengar pernyataan Tiara.
“Apa yang lu lihat barusan?"
“Cewek. Mukanya penuh darah. Setelah itu gua enggak sadar,” jawab Tiara dengan suara parau.
“Kayaknya gua mau resign aja. Gua enggak sanggup lagi kerja di sini,” tambah Tiara.
Heri mengembuskan napas berat. Dia tahu pasti itu setan wanita yang pernah jadi korban pembunuhan di hotel ini.
“Gua juga tadi ketemu sama Hilda, mahasiswa yang hilang itu. Tapi, anehnya dia sekarang hilang lagi entah ke mana. Gua juga yakin sih yang gua bawa itu setan.”
“Sekarang hati-hati. Hotel ini angker. Lu mau tetap kerja di sini?” tanya Tiara.
ADVERTISEMENT
“Enggak ada pilihan lain, Ra. Gua harus tetap kerja,” jawab Heri.
Seorang service room muncul dari pintu. Ia tampak terburu-buru.
“Mas Heri, ada tamu yang mau check in,” kata seorang service room itu.
Heri mengerutkan dahi. Dia heran, tumben sekali ada tamu tengah malam seperti ini. Ia pun bergegas ke meja kerjanya. Di sana ada seorang lelaki yang penampilannya kumal. Ia mengenakan topi koboi, menenteng senapan angin, dan menggendong tas ransel. Pakaiannya kotor penuh bercak lumpur yang mengering.
Lelaki itu seperti baru saja pulang dari ekspedisi hutan belantara. Di samping lelaki itu ada seorang perempuan yang umurnya berkisar 21 tahun. Penampilannya tidak kalah kumal. Rambutnya kusut dan ada bercak lumpur kering di wajahnya. Perempuan itu terlihat murung. Dia menunduk dengan tatapan kosong.
ADVERTISEMENT
“Kami pesan dua kamar, ya,” kata lelaki itu sembari mengeluarkan sebuah kartu debit dari dompetnya.
“Baik, Pak.”
Tanpa banyak tanya lagi, Heri melayani kedua orang itu dengan ramah. Heri pun mengantar kedua tamunya ke kamar nomor 112 dan 113. Lelaki itu tak banyak bicara. Walau Heri menerangkan jenis layanan yang ada di hotel ini, tapi tampaknya kedua tamu itu sama sekali tidak peduli.
***
Jauh dari hotel, ada kabar buruk mengenai Zainal. Semenjak kepulangannya dari Ajang Pemilihan Duta Bahasa, dia jatuh sakit. Setiap hari ia merasakan perutnya perih seperti ditusuk-tusuk. Dia juga sering merasa sakit kepala.
Ia berkali-kali pergi ke dokter. Tapi, tetap tidak kunjung sembuh. Zainal juga sempat di rawat di rumah sakit. Namun, itu hanya beberapa hari saja karena keluarganya tidak sanggup lagi membayar biaya rawat inap.
ADVERTISEMENT
Tengah malam seperti ini, seluruh keluarga Zainal berkumpul. Mereka menangisi Zainal yang sedang sekarat tak berdaya di atas kasur, tidak terkecuali Fadil. Sudah dua hari ia mendampingi temannya.
Zainal sebenarnya sudah sekarat dari sehari sebelumnya. Tidak jelas penyakit apa yang diidapnya. Sebab, dia tiba-tiba sakit parah kemudian kondisinya seperti itu.
Beberapa saat kemudian, kedua mata Zainal terpejam. Dadanya turun-naik, nyawanya sudah di tenggorokan. Sang ibu membisikkan kalimat tauhid di telinga anaknya sambil menangis. Dalam satu embusan napas, Zainal meninggal dunia. Seluruh keluarga histeris, termasuk Fadil. Ia juga meneteskan air mata.
Entah kenapa Fadil dari awal curiga kalau penyakit temannya itu bawaan dari hotel angker. Tapi, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sekarang Zainal sudah meninggal. Bisa jadi selanjutnya Fadil atau teman-teman lainnya yang pernah jadi peserta di hotel itu.
ADVERTISEMENT
Surat Yasin tidak henti-hentinya dilantunkan keluarga Zainal dan para tetangga. Tepat jam 4 dini hari, tiba-tiba jasad Zainal bergetar. Semua panik sambil mengucap istighfar. Kapas yang disumpal di lubang Zainal mental begitu saja. Matanya melotot. Ia bangun seperti ada yang mengendalikan jasadnya.
“Tolong aku! Sempurnakan jasadku!”
Itu suara wanita. Fadil mengenali suaranya itu. Ya, itu jelas suara Hilda.
***
Nantikan cerita horor Hotel Bekas Pembunuhan selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten