Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
ADVERTISEMENT
Perkenalkan namaku Basuki. Sekitar pertengahan tahun 2006, aku melanjutkan SMP di salah satu pesantren modern. Sebenarnya aku tidak mau masuk pesantren, tapi ibulah yang bersikeras agar aku belajar ilmu agama di sana. Oya, perkenalkan juga teman SD-ku namanya Hadi. Dia juga akan masuk pesantren yang sama denganku.
ADVERTISEMENT
Pagi sekali, mobil travel berhenti di depan rumahku. Ibu dari semalam sudah mengemas semua barang-barangku. Hanya ibu yang akan mengantar ke pesantren karena bapak sedang kerja di kota.
"Jadi mondok juga kau, hah?" Mang Damin, si sopir menyeringai ke arahku.
"Jadilah Mang." ibu yang menjawab. Dia tergopoh-gopoh membawa koper yang berisi pakaianku.
Seorang kondektur dengan sigap membantu ibu, lalu memasukkan koper itu ke dalam bagasi mobil.
Di dalam mobil tampak Hadi sedang duduk dengan wajahnya yang kecut. Mungkin ia juga dipaksa untuk masuk pesantren. Sepanjang perjalanan, aku coba membayangkan seperti apa kehidupan di pesantren. Semuanya pasti akan berbeda, aku harus mulai hidup mandiri. Aku tahu, alasan terbesar Ibu memasukkanku ke pesantren tak lain karena aku sangat manja. Mungkin dia ingin mengajarkan padaku bagaimana hidup yang sebenarnya kalau tanpa orang tua.
ADVERTISEMENT
Dua jam perjalanan, akhirnya mobil travel berhenti di sebuah gerbang pesantren yang terlihat usang. Kami disambut oleh para santri dengan senyum ramah. Mereka membantu ibu dengan membawakan barang-barangku.
"Siang Ibu, atas nama siapa?" seorang wanita menyambut kami di depan kantor pondok.
"Basuki dan Hadi," jawab Ibuku.
"Kamar anak kami di sebelah mana ya?" tanya ibunya Hadi.
"Perkenalkan saya Ustazah Farihah. Jangan khawatir Hadi dan Basuki nanti satu kamar ya. Di kamar As-salam. Rud..., Rudi."
Dia memanggil salah seorang santri yang berpakaian rapi berdasi.
"Tolong antarkan tamu kita ke kamar As-salam ya," pinta Ustazah Farihah.
"Baik ustazah," jawab santri itu.
Ia lalu membawa kami semakin masuk ke lingkungan pesantren. Banyak sekali santri berlalu-lalang membawa piring yang sudah terisi makanan. Tampaknya memang ini jam makan siang bagi santri.
ADVERTISEMENT
Yang membuat aku bingung adalah, mereka semua berbicara bahasa Arab. Aku tidak mengerti pembicaraan mereka. Sesampainya di kamar yang mereka berinama As-salam, kami disambut lagi oleh ketua kamar di sana.
Satu kamar terdiri dari 15 orang termasuk ketua kamar.. Aku masih ingat nama ketua kamarku Kak Safrudin, dia juga memang ramah, menasehatiku agar betah di pondok. Aku tidak yakin bisa beradaptasi dengan lingkungan seperti ini
Satu minggu di pondok, aku mulai betah. Kakak kelasku baik sekali, mereka mengajariku bahasa Arab dan Inggris. Aku punya program sendiri agar cepat bisa bahasa Arab; setap hari minimal hafal satu kosakata bahasa Arab untuk digunakan dalam percakapan.
Suatu malam saat teman-temanku sudah tidur pulas dan lampu kamar sudah dimatikan, aku malah tidak bisa tidur. Kubuka pintu lemariku lalu mengambil sebuah kamus. Pelan-pelan kulangkahi satu persatu temanku yang sedang berjejer tidur dengan pulas.
ADVERTISEMENT
Aku mendekat ke jendela untuk mendapatkan cahaya dari luar. Kubuka sedikit tirai jendela itu, ini jam dua dini hari dan pondok benar-benar sudah sepi. Kubuka lembaran kamusku dan menemukan sebuah kosakata migrofah yang berarti gayung. Kuucapkan kosa kata itu berulang-ulang agar bisa diingat.
Tiba-tiba dari luar kamar, tampak bayangan seseorang melintasi kamarku. Jelas sekali, tadi aku lihat itu bayangan seseorang yang mengenakan mukena. Mana mungkin malam-malam begini ada santriawati yang masuk kawasan santriawan. Kuintip dengan hati-hati dari balik jendela, namun tidak ada siapa-siapa di sana.
"Apa mungkin ada orang yang iseng?" tanyaku dalam hati.
Aku kembali duduk di dekat jendela sambil bersandar ke dinding. Kubuka kembali kamus bahas Arab itu. Lalu menghafalkan kosakata migrofah yang berarti gayung.
ADVERTISEMENT
"Migrofah, gayung. Migrofah, gayung," gumamku sambil memejamkan mata agar tetap ingat.
Tiba-tiba ada seseorang mengetuk kaca jendela kamarku. Persis tiga ketukan.
"Siapa sih?!" aku kesal lalu membuka tirai jendela itu, tapi tetap tidak ada siapa-siapa.
Tak lama berselang perutku mulas, ingin buang air besar. Kuletakkan kamusku lalu beranjak pergi ke toilet. Lokasi toilet ada di paling ujung gedung ini. Saking tak kuat ingin buang hajat, aku lari terbirit-birit.
Toilet di pondok berbeda dengan toilet pada umumnya. Jadi, dalam satu ruangan ada 11 toilet yang berjejer dan hanya disekat dengan tembok yang tidak terlalu tinggi sehingga kalau jongkok maka teman yang sedang buang hajat di sebelah kita bisa terlihat kepalanya. Jadinya bisa buang hajat sambil ngobrol sama teman.
ADVERTISEMENT
Nah, malam itu aku langsung masuk ke dalam toilet dan buang hajat. Setelah selah selesai, aku baru sadar kalau emberku tidak ada gayungnya. Di samping kananku, terdengar suara gemericik air dan bunyi gayung, tapi aku tidak dapat melihat orang tersebut. Mungkin saja dia sedang tertunduk.
"Kak, aku boleh pinjem migrofah, nggak?" tanyaku. Kugunakan kosakata yang barusan kuhafalkan.
"Boro-boro migrofah, kepala aja nggak punya," jawabnya dan jelas itu suara wanita.
Aku berdiri melihat ke samping toilet itu, benar saja ada sosok tanpa kepala yang sedang jongkok di atas kloset. Aku pun lantas berteriak, lari terbirit-birit tanpa cebok. Santri di gedung itu sampai bangun karena teriakanku sangat keras.
***
Nantikan cerita Kisah Horor di Pesantren selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
ADVERTISEMENT