Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
ADVERTISEMENT
Kulihat ada seorang wanita menghampiri sandi. Yang membuatku terkejut adalah, kedua kaki wanita itu melayang. Dia mengenakan baju warna merah dan kain batik. Aku dan Hadi terkejut bukan main, Sandi dibawa oleh wanita itu berjalan ke tengah jembatan. Aku hendak mengikutinya, tapi si Hadi menahan tanganku.
ADVERTISEMENT
“Mau ke mana?” tanyanya.
“Ngikutin si Sandi,” jawabku.
“Jangan. Terlalu berbahaya,” kata hadi.
“Tapi kalau dia hilang gimana?” tanyaku lagi.
“Kita lapor ketua kamar aja.” Hadi memberi saran.
“Ya sudah ayo pulang,” kataku.
Kami pun pergi dari sana, sesekali aku menoleh ke belakang. Dari kejauhan masih terlihat punggung Sandi yang semakin menjauh dibawa oleh wanita misterius itu. Sesampainya di beranda kamar, aku menceritakan apa yang kulihat di jembatan Cimuning.
“Sandi, Kak. Sandi dibawa setan,” kataku sambil mengatur napas.
“Hah? Dibawa setan?” kata ketua kamarku.
“Iya, Kak. Ayo selamatkan dia,” ujar Hadi.
“Apaan sih. Kalian jangan mengada-ngada ya. Itu si Sandi lagi ngaji,” kata ketua kamar kami sambil menunjuk ke arah kanan.
ADVERTISEMENT
Dan benar saja, kulihat Sandi sedang khidmat mengaji di beranda kamar. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan datarnya.
“Tapi kak, sumpah demi Allah aku lihat si Sandi tadi dibawa sama wanita misterius di jembatan,” kataku mencoba untuk meyakinkan ketua kamar.
“Iya wanita itu kakinya melayang, Kak,” tambah Hadi.
“Hati-hati sama yang kalian lihat,” Sandi berdiri dan menatap ke arah kami berdua.
Tatapan itu selalu membuatku takut.
“Emang kenapa?” tanyaku.
“Yang kalian lihat itu setan!” bentak Sandi.
Aku seketika merinding. Tak lama berselang, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari lantai dua. Semua Santri di lantai bawah pun seketika menutup Alquran-nya. Mereka berhamburan naik ke lantai dua untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
ADVERTISEMENT
Aku pun penasaran lalu ikut naik ke lantai dua. Sesampainya di sana, kusaksikan seorang santri yang sedang kesurupan. Dia mengamuk sendiri, tak ada yang berani mendekatinya. Mulutnya terus menceracau tidak jelas.
Tingkahnya menjadi semakin aneh, kedua tangannya bersidekap, dia lalu melompat-lompat seperti pocong sambil tertawa dengan suara keras. Jelas sekali itu bukan suaranya, kalau didengarkan itu seperti suara lelaki yang sudah lanjut usia.
Santri itu terus-terusan melompat ke sana sini, kedua matanya melotot.
“Kalian lihat. Tak ada lagi di dunia ini yang bisa menyelamatkan kalian. Kalian akan disesatkan!” kata-kata itu keluar dari mulutnya disambut dengan tawanya yang terbahak-bahak.
Saat orang-orang berkerumun menyaksikan kesurupan itu, secara tidak sengaja, aku melihat Sandi mengintip dari jendela kamar, dia malah tersenyum melihat kesurupan itu. Aku heran kenapa dia malah kelihatan senang?
ADVERTISEMENT
***
Sandi tampak tersenyum melihat orang kesurupan. Entah apa yang ada dipikirannya. Aku terus memperhatikan tingkah si Sandi, tiba-tiba kedua bibirnya bergerak-gerak sambil menatap ke arah santri yang sedang kesurupan itu.
Santri itu tiba-tiba melirik ke arah si Sandi. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Aku tidak tahu apa maksudnya.
“Sandi cukup!” teriakku.
Membuat semua santri yang berkerumun menoleh ke arahku, termasuk si Sandi. Aku yakin itu semua ini pasti ulah si Sandi.
“Kenapa?” tanya Sandi.
“Elu pasti yang bikin dia kesurupan!” aku membentaknya. Jujur aku tidak tahan lagi dengan semua ini. Sandi tidak bisa dibiarkan. Dia harus keluar dari pondok ini.
“Saya nggak paham maksud kamu, Bas,” Ujar Sandi dengan nada datarnya.
ADVERTISEMENT
“Jangan ngeles lu ya!” kurenggut kerah bajunya.
Para Santri menahanku agar tidak berkelahi. Tapi, aku berhasil menonjok wajahnya.
“Gua nggak takut sama lu Sandi! Gua enggak takut!” teriakku, lima orang santri menyeret tubuhku dengan paksa, menjauh dari si Sandi.
“Bangsat lu!” Umpatku, tapi si Sandi hanya ternseyum dingin ke arahku.
***
Semenjak saat itu, aku dipindahkan ke gedung sebelah agar tidak berkelahi lagi dengan Sandi. Suatu malam, sekitar jam 2 dini hari, aku bangun untuk solat tahajud. Anehnya, dari kejauhan kudengar sayup-sayup suara rombongan orang mengucapkan kalimat tauhid. Aku heran, siapa orang-orang itu?
“Lailaha illallah.” Suara gemuruh itu semakin mendekat.
Pelan-pelan, aku mengintipnya dari balik tirai Jendela. Seketika saja aku terkejut karena ada rombongan orang berpakaian hitam sedang memikul keranda mayat.
ADVERTISEMENT
Di sana juga ada Sandi yang sedang berdiri seperti menyambut kedatangan keranda itu. Mereka menurunkan keranda itu, lalu keluarlah asap yang mengepul dan menggumpal tebal. Asap itu membentuk pocong berukuran kecil, Sandi kemudian membopong pocong itu masuk ke dalam kamarnya.
Rombongan orang berbaju hitam perlahan hilang begitu saja. Jujur Aku tidak bisa membiarkan Sandi terus berada di pesantren ini, semua orang harus tahu kalau si sandi bawa hantu ke pondok.
Malam itu juga aku memberanikan diri mendatangi kamar Sandi. Tapi… yang aku lihat sangatlah diluar dugaan. Kamar itu… dipenuhi hantu.
***
Saat aku masuk ke dalam kamar si Sandi, kulihat kamar itu di isi oleh banyak hantu. Di atas lemari, bergelayutan sesosok kuntilanak dengan wajahnya yang hancur penuh darah. Rambut kuntilanak itu tegerai hingga menyentuh lantai.
ADVERTISEMENT
Tak jauh dari tempatku berdiri, banyak makhluk halus yang wujudnya mengerikan. Mereka berkuku panjang, di sana juga ada si Sandi yang berdiri di antara mereka.
Aku pun berteriak pada si sandi.
“Sandi! Lu harus keluar dari pondok ini! Lu nggak bisa tinggal di sini!”
Dia malah tertawa.
“Hahahah….!” suaranya menggema dan itu seperti suara orang dewasa.
Sesaat kemudian, entah kenapa tiba-tiba tubuhku seperti terseret paksa mendekat ke arah si Sandi. Ia lalu mencekik leherku.
Aku meringis sambil berkata ,
“Istifar Sandi! Lepasin gua!”
Ia seperti tidak peduli malah mencekik leherku dengan semakin kuat. Sehingga aku kesulitan untuk bernapas. Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku tidak tahu. Tubuhku lamas, napasku tercekat di tenggerokan. Aku hilang kesadaran.
ADVERTISEMENT
Keesokan paginya, aku pun siuman. Kudapati diriku terbaring di dalam ruangan puskesmas pesantren. Dari luar, sayup-sayup terdengar dua orang yang sedang ngobrol satu sama lain. Aku mengenali suara itu, mereka tak lain adalah kak Opan ketua kamarku yang baru dan Ustaz Didi. Tak lama berselang mereka berdua masuk ke ruangan tempatku di rawat.
“Semalam kamu nyekik leher kamu sendiri, Bas.” Kata Kak Opan.
“Apa kamu punya kebiasaan tidur sambil berjalan?” tanya Ustaz Didi.
“Nggak ustaz, semalam aku banyak melihat kejadian aneh. Aku bingung ngejelasinnya gimana,” kataku lalu tiba-tiba kepalaku terasa sakit.
“Sudah kalau gitu kamu istrihat aja dulu,” ujar Ustaz Didi.
Aku harus mencari cara agar bisa meyakinkan semua orang yang ada di pondok ini kalau si Sandi punya banyak teman gaib. Dia tidak boleh tinggal di pondok ini lagi.
ADVERTISEMENT
***
Dua minggu kemudian, ada pelantikan pramuka di pondokku. Semua santri berkemah di lapangan sepak bola yang lokasinya tidak jauh dari pondok. Aku satu tenda dengan Hadi dan teman-teman lainnya. Di sinilah aku mengalami kejadian mengerikan.
Tengah malam, aku terbangun karena pengin pipis. Segera aku keluar dari tenda dan lari ke semak-semak untuk buang air kecil. Tak ada kejanggalan yang kualami sampai akhirnya saat kukembali ke tenda, terlihat Hadi sedang berdiri sambil menampakkan wajah ketakutan.
Kutanya dia.
“Lu kenapa, Hadi?”
“Bas… tolong gua, Bas,” katanya. Tangannya bahkan bergetar.
“tolong kenapa? Lu kenapa sih?” tanyaku lagi.
“Di dalam tenda kita Bas. Di dalam tenda kita lu cek deh.”
ADVERTISEMENT
Aku mulai tegang. “Emang ada apa Hadi?” tanyaku.
“Lu cek aja,” suruh dia, wajahnya sangat ketakutan.
Perlahan aku masuk ke dalam tenda itu sambil menyorotkan senter ke arah teman-temanku yang sedang tidur. Dan di antara mereka kulihat ada Hadi yang sedang terbaring di sana, ia melihat ke arahku dengan expresi wajah yang ketakutan,
“Bas… di luar ada orang yang mirip sama gua.”
Jelas aku terkejut, kalau Hadi ada di dalam tenda. Lantas, siapa yang barusan kulihat di luar.
“Apa apaan ini?!” kataku dengan suara keras. Membuat teman-temanku terbangun.
“Kenapa?” tanya mereka dengan ekspresi wajah yang masih mengantuk.
“Ta.. tadi ada Hadi di luar,” kataku terbata-bata.
Kemudian, aku langsung mengecek kembali sosok yang menyerupai Hadi yang ada di luar tenda. Dan, anehnya sosok itu menghilang begitu saja. Aku kemudian masuk kembali ke dalam tenda untuk memastikan kalau Hadi baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Aku mencoba untuk menenangkannya dan memberinya sebotol air minum. Kejadian itu memang sangat janggal, besoknya aku mengadu ke para panitia pramuka, tapi mereka malah menertawakanku dan menganggap kalau aku hanya mengada-ngada.
Malam terkahir pelantikan pramukan, semua santri putera dibariskan. Mata kami ditutup, lalu kami disuruh memegang pundak teman yang ada di depan kami. semacam main kereta-keretaan. Itu terjadi tengah malam, aku tidak tahu pasti jam barapa, mungkin sekitar jam 2 dini hari.
Setelah mata di tutup, kudengar suara panitia berbicara melalui spiker toa.
“Malam ini kekompakan kalian akan diuji. Pegang erat-erat pundak teman yang ada di depan kalian. Jangan sampai lepas dan kalian harus berjalan mengikuti suara tepukan tangan dari panitia. Paham?”
ADVERTISEMENT
“Paham!” Sahut kami serentak.
Aku memegang erat pundak teman di depanku, aku tak tahu siapa dia. Tantangan pun dimulai, barisan kami berjalan perlahan mengikuti tepukan tangan panitia, aku sempat kesulitan berjalan dan sesekali menginjak sepatu teman yang ada di depanku.
Barisanku seperti dibawa berkeliling lapangan, namun lama kelamaan aku mulai merasakan hal ganjil. Kakiku tidak lagi menginjak rumput, melainkan ranting-ranting kering, dan semak belukar. Barisanku terus mengikuti suara tepukan tangan itu.
Sesaat kemudian, suara tepukan itu tidak terdengar lagi. Barisan kami pun berhanti.
Lalu aku bertanya pada teman di depanku, kedua mataku masih ditutup dengan kain.
“Kok berhenti di sini?” tanyaku.
Teman di depanku tidak menjawab. Aku mulai curiga lalu buru-buru kubuka kain yang menutup mataku. Dan betapa terkejutnya, saat aku mendapati diriku sedang berada di tengah perkebunan karet.
ADVERTISEMENT
Aku heran kenapa aku bisa ada di sini? Teman-temanku menghilang. Hanya tinggal aku sendiri di perkebunan ini. Ke mana perginya mereka semua?
Aku bingung, lalu berteriak memanggil teman-temanku. Tapi tidak ada satu pun yang kutemui di perkebunan ini. Tak lama kemudian, dari balik pepohonan itu, kulihat seorang lelaki sedang berdiri sambil menatapku.
Ia melangkah mendekat ke arahku. Aku pun mundur beberapa langkah ke belakang. Semakin dekat, wajah lelaki itu semakin jelas. Aku tahu siapa dia, ya dia adalah Sandi.
Dia masih mengenakan baju pramuka lengkap. Tapi yang aneh adalah, ada benda di tangan kirinya, ia menggenggam sebilah pisau tajam seperti hendak membunuhku.
“Sandi?” tanyaku.
Dia malah tersenyum mengerikan sambil mengacungkan pisaunya ke arahku.
ADVERTISEMENT
“Sandi jangan, San!”
Aku mundur beberapa langkah sambil tetap waspada. Sebelum dia berhasil menikamku, segera aku lari terbirit-birit untuk menjauh darinya. Tapi dia malah mengejarku dari belakang.
“Mati! Mati!” teriaknya membuatku semakin tambah takut.
Aku heran apa sebenarnya salahku?
Aku terus berlari menjauh dari sandi, sesekali kuperhatikan sekelilingku ada pepohonan karet yang berjejer rapi. Sialnya saat sedang lari, kakiku tersandung, lalu aku tersungkur ke semak-semak. Kulihat Sandi sudah berdiri di hadapanku sambil menggenggam sebilah pisau.
“Jangan Sandi? Jangan bunuh aku!” kataku.
Dia lalu tersenyum mengerikan dan berkata.
“Kembalikan barang yang kau curi!” katanya, terkesan mengancam.
***
Sandi mengarahkan pisau itu ke wajahku. Ya memang beberapa hari lalu, aku mencuri sesuatu dari lemarinya Sandi. Yang kucuri tak lain adalah batu putih itu.
ADVERTISEMENT
Bagiku batu itu adalah simbol berhala. Setelah aku berhasil mencurinnya, kubuang batu tersebut ke sungai agar kekuatan gaib yang dimiliki Sandi hilang, karena aku yakin kalau kekuatan Sandi terletak pada batu putih itu.
“Batu itu sudah kubuang!” teriakku.
Sandi menampakkan wajah marah. Dia lalu menghujamkan pisaunya ke arahku, untungnya aku masih bisa menghindar. Kutendang perutnya ia pun terjungkal ke belakang. Lalu aku lari lagi dengan sekuat tenaga untuk menjauh dari si Sandi.
Sesekali aku menoleh ke belakang, terlihat Sandi masih berdiri di sana. Kali ini wajahnya semakin menakutkan, matanya merah menyala, dia mengejarku tapi bukan dengan cara berlari. Melainkan melayang seperti makhluk halus.
“Astagfirullah,” kataku sambil terus berlari.
ADVERTISEMENT
Sandi melayang dengan sangat cepat, melewati pepohonan karet. Dan entah apa yang terjadi tiba-tiba saja dia sudah berdiri di hadapanku. Kulihat kedua tangannya sangat mengerikan, terdapat banyak bulu hitam di lengannya, jarinya besar dan panjang. Ia lalu mencekikku.
“Hahaha.. tak ada yang bisa menyelamatkanmu sekarang. Mati kau!” bentaknya.
Aku kehilangan napas, dia semakin kuat mencekik leherku. Mungkin aku akan mati di sini. Tak lama berselang, tiba-tiba saja cekikan tangannya melemah, kudengar suara seseorang membaca ayat suci.
Sandi melepaskan tangannya dari leherku. Dia lalu berteriak seperti kesakitan. Di belakang Sandi, tampak Ustaz Didi bergumam sambil mengarahkan tangannya ke wajah si Sandi.
“Keluar kau iblis!” bentak Ustaz Didi.
“Hahaha… tidak! aku tidak mau keluar. Anak ini sudah melakukan perjanjian denganku. Dan aku akan terus menyesatkannya!” kata Sandi dengan suara besar.
ADVERTISEMENT
“Perjanjian apa?!” tanya Ustaz didi.
“Dia melakukan ritual pembangkitan mayat! Aku sudah membangkitkan ayah dan adiknya. Jadi sekarang anak ini miliku!” kata Sandi, bola matanya merah menyala.
“Kau iblis suka sekali berbohong, tak ada yang dapat kembali dari kematian. Yang kau tunjukan ke Sandi adalah jelmaan jin. Keluar atau kuhancurkan kau dengan ayat suci Allah.”
Ustaz Didi lalu kembali membaca ayat suci. Sandi memegang kepalanya, ia tampak kesakitan.
“Astagfirullah ustaz lihat,” kataku sambil menunjuk ke arah pepohonan karet.
Di sana tampak ada dua orang yang sedang berdiri. Yang satu berbadan tinggi dan yang satu seperti anak kecil. Mungkin saja itu adalah ayah dan adiknya Sandi.
ADVERTISEMENT
“Hahaha… aku akan menyesatkan kalian!” Sandi kembali berkata dengan suara aneh.
Ustaz Didi lalu melemparkan tasbih ke wajah Sandi membuat Sandi terkapar tak berdaya. Matanya melotot, Ustaz Didi menutup mata si Sandi dengan telapak tangannya sambil terus membaca ayat suci.
Aku menoleh ke arah pepohonan, kedua lelaki tadi sudah menghilang entah ke mana. Ustaz Didi lalu membopong tubuh Sandi, kami berhasil keluar dari perkebunan karet itu. Yang baru aku tahu adalah, ternyata lokasi perkebunana itu tidak jauh dari pesantren.
Sesampainya di lingkungan pondok, para panitia pramuka menyambut kedanganku. Mereka panik lantaran aku menghilang begitu saja. Untungnya Ustaz Didi menyelamatkanku.
Menjelang subuh, kegaduhan kembali terjadi. Santriawati satu gedung semuanya kesurupan. Ada yang menjerit seperti kesakitan, dan ada juga yang tertawa terbahak-bahak. Aku yakin kesurupan itu masih ada kaitannya dengan Sandi. Kesurupan itu terjadi selama satu jam, hingga akhirnya mereka sembuh satu persatu.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, Sandi dijenguk oleh ibunya. Aku dipanggil untuk menghadap pinpinan pondok karena aku menjadi korban malam itu.
“Semenjak kematian ayah dan adiknya, Sandi memang sering bertingkah aneh, Pak Kiai. Seperti ada yang menempeli tubuhnya. Saya sudah bawa dia ketempat ruqiah tapi tidak juga sembuh. Makanya saya masukkan ke pesantren. Siapa tahu di pesantren dia bisa sembuh.”
Pak Kiai mengangguk-angguk.
“Ibu jangan khawatir, nanti biar kami yang urus Sandi. Ustaz Didi juga kemarin sudah meruqiahnya,” kata Pak Kiai.
“Sandi harus diberi perhatian khusus di pondok ini, Pak Kiai. Aku khawatir jin itu datang lagi dan masuk ke tubuh Sandi," kata Ustaz Didi.
Jawab Pak kiai, “Tenang saja, kalau Sandi rajin salat dan mengaji inshaaAllah jin tidak akan mengganggu dia lagi. Yang terpenting adalah membentengi diri sendiri.” Ujar Pak Kiai.
ADVERTISEMENT
Sandi hanya diam saja. Wajahnya terlihat pucat,
Kemudian ibunya berkata.
“Saya mau bawa Sandi pulang dulu, Pak Kiai. Nanti saya antarkan ke pondok lagi.”
“Silakan, Bu. Tapi ada baiknya jangan lama-lama, nanti dia ketinggalan pelajaran.” Ujar Pak Kiai.
Sandi pun dibawa pulang oleh ibunya. Jujur aku merasa lega karena setidaknya pondok ini bebas dari teror si Sandi. Namun, ternyata Sandi tidak pernah kembali lagi ke pondok. Tidak ada kabar darinya, hingga akhirnya pihak pondok mencoret namanya dari daftar peserta didik.
Sandi memang sudah tidak ada, tapi bukan berarti aku tidak mengalami kejadian janggal yang tidak kalah mengerikan.
Menginjak kelas 2 SMA. Aku mengalami kejadian mengerikan lagi. Saat itu, setiap santri yang sudah menginjak kelas 2 SMA akan diberi jadwal untuk menjadi penjaga pondok di malam hari. Kebetulan malam itu bagian aku yang berjaga, semacam ronda.
ADVERTISEMENT
Saat sedang berjaga tengah malam, tiba-tiba perutku lapar. Kebetulan waktu itu kulihat lampu dapur umum sudah menyala. Kulirik jam tanganku, sudah jam 3 dini hari, dan di dapur itu pasti petugas dapur umum yang sedang masak untuk sarapan santri nanti pagi.
Jelas saja aku senang dan langsung mendatangi dapur umum itu. Siapa tahu ada makanan yang sudah matang. Aku bisa minta sesuatu yang bisa dimakan pada ibu penjaga dapur umum.
Setibanya di sana, tampak dua orang wanita sedang memasak sesuatu.
“Bu ada makanan?” tanyaku.
“Oh ada, kebetulan sekali.” Kata ibu dapur sambil membukakan pintu.
Dia lalu menyerahkan tempe goreng dan sepiring nasi padaku.
Aku makan dengan lahap sampai perutku kenyang, setelah itu aku langsung pamit.
ADVERTISEMENT
Namun, baru saja tiga langkah dari pintu dapur, lampu dapur seketika padam dan pintu tertutup dengan sangat keras seperti di banting. Karena penasaran, aku periksa jendela dapur itu sambil menyorotkan cahaya senter. Dan… anehnya, tidak ada siapa-siapa di dalam dapur. Padahal jelas-jelas, tadi ada dua orang yang sedang memasak.
Aku pun lari terbirit birit menjauh dari dapur umum.
SELESAI
___
Nantikan cerita horor selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: