lingsirwengitembang2 anakku.jpg

Lingsir Wengi Tembang 2: Anakku (Part 13)

18 Januari 2020 20:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cerita horor. Foto: Argy Pradypta/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerita horor. Foto: Argy Pradypta/kumparan
ADVERTISEMENT
Di suatu malam, Ngartasih mendengar suara langkah kaki seseorang dari luar gubuk. Segera ia mengambil sebuah batu dan mengintip dari celah bilik. Ternyata itu adalah Mbah Rumi. Berhamburlah Ngartasih ke luar dan langsung memeluk wanita tua itu. Ia menangis sesenggukkan di pelukan Mbah Rumi.
ADVERTISEMENT
“Kok kamu di sini Ngartasih?”
“Warga desa marah Mbah. Mereka mau membunuhku,” jawab Ngartasih sambil terus menangis.
“Ikut aku saja. Gubukku tidak jauh dari sini.”
Mbah Rumi membawa Ngartasih ke gubuknya. Gubuk itu lebih besar dari yang ditempati Ngartasih selama ini. Walau masih berlantaikan tanah, tapi ada sebuah tempat tidur yang terbuat dari bambu. Sebuah lampu canting menjadi satu-satunya sumber cahaya dalam gubuk itu.
Atapnya terbuat dari ijuk, dindingnya bilik, dan ada sebuah jendela sederhana di bagian depan gubuk Mbah Rumi. Disuguhkan segelas air dan sebatang singkong bakar kepada Ngartasih. Wanita itu makan dengan lahap. Wajar saja, karena selama ini dia hanya memakan buah kecapi beserta cangkangnya.
Tubuh Ngartasih terlihat semakin kurus. Namun, dengan perut yang sudah hamil tua. Entah sudah berapa bulan kandungan Ngartasih, bahkan ia sendiri tak begitu mengingatnya. Yang jelas semakin hari badannya semakin lemas.
ADVERTISEMENT
"Terima kasih, Mbah. Aku senang sekali bisa ketemu Mbah di hutan. Aku takut, Mbah," kata Ngartasih, suaranya parau. Air matanya pun menetes kembali.
Mbah Rumi mengelus bahu Ngartasih, "Kau aman di sini. Aku akan merawatmu sampai anakmu lahir." Mbah Rumi tersenyum membuat keriput di pipinya terlipat.
Satu bulan lebih, Ngartasih hidup bersama wanita tua itu di gubuk. Mbah Rumi menanam singkong di belakang gubuk sehingga cadangan makanan selalu tercukupi. Ngartasih masih berharap bisa bertemu Ki Bamantara, suaminya tercinta. Ia yakin Ki Bamantara masih hidup dan suatu saat akan datang menjemputnya.
Sebelum hari bahagia itu tiba, ia harus bertahan hidup demi buah hatinya. Ngartasih berencana untuk mengajak Ki Bamantara pergi dari Balangandang dan memulai hidup baru di tempat baru, entah di mana. Ngartasih belum tahu pastinya.
ADVERTISEMENT
Di sebuah malam yang basah karena hujan turun sangat deras, suara rintik hujan terdengar membasahi atap ijuk. Malam itulah, Ngartasih mempertaruhkan nyawanya antara hidup dan mati. Selesai makan, tiba-tiba perutnya mulas. Ia memegangi perutnya dengan tangan kanan, sementara singkong bakar yang ia pegang jatuh begitu saja ke tanah. Dengan cekatan, Mbah Rumi membaringkan Ngartasih di atas tempat tidur. Ia tahu Ngartasih akan melahirkan.
Keringat mengucur di sekujur tubuh Ngartasih. Ia berusaha mendorong jabang bayi dalam perutnya agar ke luar. Beberapa kali ia menghentakkan napas dan mengejan dengan sekuat tenaga. Tapi bayi di dalam perutnya tidak kunjung ke luar. Tangannya dengan kuat mencengkram lengan Mbah Rumi. Sementara wanita tua itu terus memijat-mijat perut Ngartasih. Cahaya lampu berayun-ayun memantulkan bayangan Ngartasih yang sedang berjuang melahirkan.
ADVERTISEMENT
Selang beberapa waktu, jabang bayi itu tetap tidak kunjung ke luar dari perut Ngartasih. Ini sangat membahayakan nyawanya. Terlebih, wanita itu sekarang sudah kehabisan tenaga. Matanya sayup, wajahnya pucat, bajunya basah oleh keringat, dan air mata merekah di matanya. Ia tidak ingin mati secepat ini. Ngartasih ingin melahirkan anaknya dengan selamat dan bertemu suaminya.
Mbah Rumi jengkel dengan situasi seperti ini. Ia kemudian ke luar dari gubuk. Mengacungkan jari telunjuknya ke langit, matanya terpejam, bibirnya bergertar seperti sedang membaca mantra. Di tengah hujan deras dan angin ribut, ia memohon kepada dedemit penghuni hutan agar menolong Ngartasih.
Sesaat kemudian terdengar suara tangisan bayi. Mbah Rumi masuk kembali ke dalam gubuk. Di sana, ia melihat sosok genderuwo sedang merangkul bayi Ngartasih dan meletakkan bayi itu di atas ranjang bambu.
ADVERTISEMENT
"Anakku," lirih Ngartasih berucap sesaat sebelum tidak sadarkan diri.
___
Nantikan cerita Lingsir Wengi Tembang 2 selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten