Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Gerimis membasahi wajah Arya. Ia membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa remuk. Entah berapa lama ia pingsan, ia menoleh ke sebelah kanannya, di sana terkapar orang gila yang tewas ia tikam. Perlahan ia bangkit, menggelengkan kepala yang terasa sangat pusing. Sambil terhuyung ia berdiri, mengambil pisau yang tergeletak tak jauh darinya. Dua wanita itu sudah pergi, ia berdecak kesal.
ADVERTISEMENT
Perlahan ia berjalan sesekali terjatuh karena masih pusing. Sebuah tongkat kayu diambilnya ia gunakan untung menopang langkah kaki. Sesampainya di rumah, ia melihat Tias duduk di atas kursi bambu dengan tatapan kosong. Arya sudah tahu ini bakalan terjadi, kalau sampai tumbal peletnya lari, maka Tias akan tersadar dari pengaruh pelet dan berhenti mencintai Arya.
"Ceraikan aku," tanpa basa-basi lagi, Tias langsung melayangkan ucapan menohok.
"Tidak, Tias," Arya duduk di hadapan istrinya.
"Terserah. Yang jelas aku mau cerai," Tias benar-benar sudah sadarkan diri, rasa cinta yang awalnya menggebu seketika hilang.
Tias beranjak dari tempat duduknya dan pergi begitu saja tanpa pamit. Arya sudah menghadangnya, tapi Tias tetap memaksa pergi. Ia tidak sudi lagi bersama Arya. Sesaat setelah istrinya pergi, Arya mengamuk, ia membanting apa pun yang ada di rumah. Tidak ada cara lain agar Tias mau kembali padanya, selain menangkap Jesika. Arya tidak bisa menumbalkan sembarang orang, darah Jesika cocok untuk tumbal pelet kuntilanak.
ADVERTISEMENT
Maka keesokan paginya, ia bertelanjang badan hanya mengenakan celana panjang hitam, duduk di atas sebuah balok kayu di halaman belakang rumahnya sambil mengasah sebuah pisau kecil. Dia akan mencari Jesika ke kota dan mengembalikannya ke dalam lubang sumur. Setelah pisaunya tajam, ia masukkan kedalam sarungnya yang terbuat dari kulit hewan. Arya masuk ke dalam rumahnya dan dari dalam lemari ia mengambil sebuah plastik putih. Di dalam plastik itu terdapat helai rambut Jesika, ternyata ia masih menyimpannya.
Rambut itu ia bakar lalu dicelupkan ke dalam segelas air. Bibirnya bergetar membaca mantra. Air itu ditiup lalu ia minum, seketika ia melihat bayangan Jesika dan Dini berjalan dari Desa Balangandang menuju jalan raya. Ia langsung berkemas, memasukkan baju dan perbekalan lain kedalam tas hitam. Di tengah hujan gerimis, ia melangkah meninggalkan rumahnya untuk memburu Jesika.
ADVERTISEMENT
***
Sementara itu, Jesika di rumahnya sedang asik menonton drama Korea. Mulutnya sibuk mengunyah keripik singkong, sesekali ia tertawa menyaksikan adegan lucu lalu terkadang kedua matanya berkaca-kaca ketika ada adegan yang sedih. Setiap malam, ia rutin menonton serial drama kesayangannya itu.
"Jesika?" Bu Laila, ibunya Jesika, tiba-tiba memanggilnya.
"Ini kenapa baju kamu banyak darahnya?" Ia menunjukkan baju Jesika.
"Kemarin temanku di kantor kecelakaan Bu, aku bantu antar dia ke rumah sakit. Jadi darahnya kena baju deh."
"Siapa teman kamu?"
"Arian, Bu."
Walau pun ragu, Bu Laila mencoba untuk percaya pada anaknya itu. Dibawa kembali baju yang berlumur darah itu untuk dimasukkan ke dalam mesin cuci. Sesaat kemudian, smartphone-nya bedering. Sebuah pesan dari Rini.
ADVERTISEMENT
'Jes, lu ada waktu? Besok kita ketemu ya, gua mau ngomong.'
Nantikan cerita Lingsir Wengi Tembang 3 selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: