part 4 square(1).jpg

Lingsir Wengi Tembang 3: Pendakian (Part 4)

20 Februari 2020 16:45 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pendakian. Foto: Argy/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pendakian. Foto: Argy/kumparan
ADVERTISEMENT
"Kemah?" Tanya Jesika.
Rini tidak memberi tahu Jesika kalau ia akan mengobati temannya itu. Pagi itu, mereka bertemu di sebuah taman yang kebetulan sedang ramai pengunjung. Taman itu dekat dengan rumah Jesika.
ADVERTISEMENT
"Iya, udah lama kita enggak jalan-jalan bareng lagi," timpal Rini.
"Seru juga, Rin. Ke mana kemahnya?"
"Gunung Karang. Di Banten."
"Wah ayo, kapan kira-kira?"
"Besok, gimana? Gua udah hubungin guide di sana yang nanti bakal bantu kita."
"Gua kok baru denger gunung itu, emang ada orang yang kemah ke sana?"
"Banyak Jes. Jadi kita bisa seru-seruan bareng di sana. Gua jamin pasti bakal seru."
"Sama siapa aja kita ke sana?"
"Berdua aja Jes. Lagian pacar lo kan ilang," Rini menyinggung lelaki yang pernah dimakan Jesika.
"Hm... Oke, besok kita berangkat."
***
Ombi seorang guide yang akan membawa mereka ke kediaman abah Sarnaji, orang sakti yang akan mengobati Jesika. Hari memang sudah mau gelap saat mereka baru tiba di kaki gunung Karang. Tapi, Ombi bilang kalau hal itu tidak jadi masalah karena dia sudah terbiasa mengantar orang mendaki di malam hari. Dan semua aman-aman saja walau hanya bermodalkan senter.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali mereka berhenti untuk istirahat. Rini dan Jesika menggendong tas gunung yang berisi peralatan kemah dan makanan. Ombi berada di barisan paling belakang sedangkan Rini di paling depan. Mereka menyusuri jalan setapak yang menjadi satu-satunya jalur pendakian.
"Kita masih jauh, Bi?"
"Oh, mungkin sekitar sejam lagi kita sampai."
Ombi tersenyum ramah. Lelaki berumur 26 tahun itu sudah lama menjadi guide para pendaki gunung Karang. Kebanyakan orang yang mendaki itu ingin melakukan ritual pesugihan atau berobat ke abah Sarnaji. Sebenarnya abah Sarnaji bukan hanya sakti dalam hal pengobatan, dia juga seorang kuncen Gunung Karang. Banyak orang yang mempercayai kalau ia bisa mengendalikan para jin gunung itu.
Penyakit yang bisa disembuhkan abah Sarnaji beragam, dari mulai penyakit medis sampai penyakit yang diakibatkan karena pelet atau santet. Soal imbalan, semua orang sudah tahu kalau abah Sarnaji tidak mau dibayar dengan uang. Cukup dengan sembako saja, karena abah Sarnaji tinggal sendiri di gunung itu jadi uang tidak berharga baginya.
ADVERTISEMENT
Sekitar satu jam kemudian, akhirnya mereka tiba di sebuah rumah gubuk. Cahaya lampu canting terlihat dari jendelanya, ada dua batang pohon kecapi di halaman. Malam itu bukan hanya mereka saja yang berkunjung ke rumah abang Sarnaji, terlihat dua orang lelaki sedang mengetuk pintu.
"Mana tempat kemahnya, Rin?"
"Perkemahannya masih jauh Jes. Malam ini kita nginep dulu ya Jes di rumah abah Sarnaji."
"Siapa dia?" Jesika penasaran.
"Dia kuncen gunung ini. Mbak tenang saja, dia orangnya baik, kok," kata Ombi.
Jesika tidak curiga sedikit pun kalau ia mau diobati.
"Kuncen?"
"Iya, penjaga gunung, Mbak," tambah Ombi.
"Oh, iya. Gua baru inget. Oke deh gua ikut lu aja."
Masuklah mereka ke rumah abah Sarnaji. Awalnya Rini sempat keget karena melihat seorang lelaki yang berteriak kesakitan. Ia sedang diobati oleh abah Sarnaji. Mungkin saja lelaki itu terkena santet, atau gangguan gaib lainnya. Mereka duduk di atas kursi panjang yang terbuat dari bambu. Setelah Abah Sarnaji selesai mengobati, segera Ombi menghampirinya dan membisikkan sesuatu. Abah Sarnaji mengangguk, dilihat dari wajahnya, ia sudah sangat tua. Bahkan, kulit di lehernya melambai.
ADVERTISEMENT
"Kami dari Jakarta, Bah. Nama saya Rini dan ini Jesika teman saya," kata Rini. Mereka duduk di atas tikar pandan. Lampu canting menyala dengan tenang di hadapan mereka.
"Oh, iya Jakarta. Kalian jangan khawatir, menginaplah saja dulu di sini kebetulan abah punya kamar kosong," ujar abah Sarnaji.
Rini sebenarnya sudah membisiki Ombi agar memberi tahu abah Sarnaji tentang penyakit Jesika. Atas permintaan Rini itulah, tengah malam nanti abah Sarnaji akan melakukan ritual pengobatan saat Jesika sedang tidur pulas. Maka setelah mereka ngobrol ringan, abah Sarnaji menunjukkan sebuah kamar kosong. Di dalam kamar itu tidak ada ranjang, hanya ada dua kasur kapuk yang sudah usang tapi masih layak pakai.
ADVERTISEMENT
"Ini kamarnya. Selamat bermalam," ucap abah Sarnaji sambil tersenyum menampakkan giginya yang tinggal satu.
Sedangkan Ombi tidur di atas kursi kayu di ruang tamu, ia mendengkur saking lalahnya mendaki. Di dalam kamar, Rini sebenarnya hanya pura-pura terpejam, ia menunggu temannya tidur agar ritual pengobatan bisa dilakukan. Tengah malam pun tiba ditandai dengan bunyi burung hantu yang terdengar dari luar, Rini bangun lalu menghampiri abah Sarnaji yang masih duduk sila di ruang tamu. Setiap malam lelaki tua itu memang selalu begadang, membaca mantra-mantra untuk memperkuat ilmunya.
"Bah, sekarang," kata Jesika.
Perlahan abah Sarnaji bangkit, melangkah ke kamar Jesika. Sebuah piring yang dijadikan wadah untuk membakar menyan ia bawa ke kamar Jesika. Rini membuntut di belakangnya sambil membawa lampu canting. Setelah membaca mantra, Abah Sarnaji meniup tubuh Jesika, seketika tubuh Jesika bergetar. Matanya melotot, tangannya berubah menjadi hitam legam dan berkuku panjang, rambutnya tergerai panjang, tubuhnya membesar, asap mengepul kental. Rini ketakutan, sementara abah Sarnaji memejamkan matanya sambil terus merapalkan mantra dalam bahasa sunda.
ADVERTISEMENT
Nantikan cerita Lingsir Wengi Tembang 3 selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten