Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Kamar itu penuh dengan asap. Rini tidak kuat, ia memejamkan matanya lalu mundur keluar ruangan, sementara abah Sarnaji masih di dalam kamar mengobati temannya. Rini sempat melihat perubahan tubuh Jesika yang perlahan menjadi seperti kuntilanak. Dari dalam kamar itu terdengar cekikikan tawa kuntilanak. Sesaat kemudian, Abah Sarnaji melangkah keluar kamar tangannya masih memegang piring yang mengepulkan asap kemenyan.
ADVERTISEMENT
"Gimana Jesika, Bah?"
Abah Sarnaji tidak menjawab, ia malah berjalan ke halaman rumah.
"Siapa kau?!" Tanya abah Sarnaji sambil menunjuk ke halaman rumah.
Rini hendak mengikutinya, tapi langkahnya terhenti saat melihat sesosok lelaki paruh baya berdiri di bawah pohon kecapi. Lelaki itu mengenakan blangkon warna hitam, jas adat jawa dengan rantai emas di kantongnya, dan celana hitam cingkrang semata kaki. Abah Sarnaji mendekati lelaki itu perlahan. Rini tidak dapat mendengar percakapan mereka, kemudian ia membalikkan badan hendak menengok Jesika yang masih terbaring di kamar. Ia mengipas-ngipaskan tangannya untuk menyingkirkan asap yang mengepul memenuhi ruangan. Kemudian Rini mengelus dadanya, ia bersyukur temannya itu masih terbaring di atas kasur. Maklum, Rini takut temannya hilang lagi.
ADVERTISEMENT
Ia membenarkan posisi bantal di kepala Jesika dan terkejut saat lengannya menyentuh kepala Jesika, terasa ada lubang kecil di bagian tengah kepala Jesika. Bukan hanya itu saja, ia juga merasakan ada bercak darah di kepala temannya itu. Ia heran apa sebenarnya yang terjadi pada Jesika? Saat Rini menengok kembali ke jendela, abah Sarnaji hilang entah ke mana.
"Bah? Abah?" Rini berhambur ke halaman sambil menyorotkan senter.
Namun abah Sarnaji tidak ada. Rini lantas membangunkan Ombi yang sedang tertidur pulas di atas kursi bambu. Ombi terkejut, ia bangun dengan matanya yang masih terpicing.
"Ada apa, Mbak?"
"Abah Sarnaji hilang!"
"Hah? Yang benar, Mbak?"
"Aku di sini."
Suara abah Sarnaji terdengar dari dalam kamar Jesika. Buru-buru Rini dan Ombi menghampiri sumber suara itu. Terlihat abah Sarnaji sedang mengelus-elus rambut Jesika yang semakin lama semakin basah oleh darah, Rini heran kapan abah Sarnaji masuk ke kamar. Telapak tangan abah Sarnaji berlumur darah yang bersumber dari kepala Jesika. Tangan kanan abah Sarnaji memegang sebuah gayung yang terbuat dari batok kelapa, ia mengguyurkan air yang dicampur dengan kembang warna-warni ke rambut Jesika.
ADVERTISEMENT
"Ada apa sebenarnya dengan teman saya, Bah?"
"Ini biasa. Ada jin jahat yang suka sama teman kamu. Jin itu sangat menyayanginya, sama seperti dia menyayangi anaknya sendiri."
"Apakah jin itu bisa dihilangkan dari tubuh Jesika, Bah?"
"Bisa-bisa, kau tenang saja, Nak." Abah Sarnaji kembali mengguyurkan air kembang pada rambut Jesika.
"Sini," pinta abah Sarnaji.
Ombi dan Rini celingukan.
"Siapa, Bah?" Tanya Ombi.
"Ya Rini. Masa kamu."
"Ma... mau apa, Bah?"
"Rambutmu harus dibasuh juga."
"Kenapa?"
"Agar terhindar dari gangguan jin jahat." Gayung diletakkan di dalam guci yang masih berisi air.
Rini manut saja, ia membuka ikat rambutnya. Tergerailah rambutnya yang sebahu itu.
"Berlutut," pinta abah Sarnaji.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian menyibakkan rambut Rini ke depan hingga menutupi wajah Rini. Segayung air kembang diguyurkan pada rambut Rini. Ia sontak sajak bergidik merasakan dingin di pundak. Setelah abah Sarnaji selesai menyirami rambut Rini, tiba-tiba saja Jesika sadar. Ia perlahan bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar pada dinding bilik.
"Jes? Lu udah sadar?" Rini senang melihat temannya sudah sadar.
"Gua kenapa, Rin?" kata Jesika sambil memegangi kepalanya yang masih pusing.
"Lu aja tenang Jes. Ada makhluk gaib yang nempelin lu dan Abah Sarnaji baru aja ngobatin lu,"
Jesika masih belum bisa mencerna apa yang dikatakan temannya itu.
"Nak, setelah ini masih ada satu ritual lagi yang harus dilakukan."
"Apa itu, Bah?"
ADVERTISEMENT
"Berziarah ke makam kramat."
"Di mana itu, Bah?" Tanya Rini.
"Tidak jauh dari sini."
Maka malam itu juga mereka pergi ke makam kramat. Abah Sarnaji berada di barisan depan sedangkan Ombi di paling belakang. Rini memapah Jesika sebab langkah temannya itu masih tehuyung-huyung. Sebenarnya Jesika masih belum mengerti apa yang sedang terjadi, ia manut saja pada Rini. Di depan barisan depan, Abah Sarnaji membawa obor sebagai penerang, tapi Rini dan Ombi tetap menyalakan senternya untuk menerangi langkah mereka karena takut ada ular di tengah jalan. Mereka menyusuri semak-semak yang tampaknya tidak pernah dilintasi manusia. Pohon-pohon besar mengelilingi mereka dan sesaat kemudian, ketika Rini menoleh kebelakang, Ombi tiba-tiba hilang.
ADVERTISEMENT
"Bi, Ombi? Bah, Ombi ke mana?"
Rini sangat terkejut saat melihat ke barisan depan, abah Sarnaji pun hilang.
"Abah? Bah!" Rini berteriak mencari keberadaan abah Sarnaji. Ia menyorotkan senter ke segala arah namun mereka tidak ada. Ke mana mereka?
Nantikan cerita Lingsir Wengi Tembang 3 selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: