man-4081134_1920.png

llmu Begal: Guruku Ki Bamantara (Part 7)

20 Mei 2020 14:08 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Mereka tiba di sebuah tugu bekas gapura Desa Balangandang. Hari sudah gelap sehingga Abe harus menyalakan cahaya senternya. Rumput di jalanan desa itu kini hanya setinggi betis, Abe tidak perlu lagi menebaskan goloknya.
ADVERTISEMENT
Ternyata benar apa yang dikatakan Ali, desa ini tidak berpenghuni. Banyak pondasi-pondasi tua bekas rumah yang ambruk, bahkan ada yang dindingnya masih berdiri tegak, terbengkalai dijalari rumput liar. Abe menyorotkan senternya ke sekeliling, ia yakin kalau dulunya desa ini sangat ramai.
Gilang terus berjalan ke arah pantai tanpa berbicara apa pun lagi. Tatapan tetap pun kosong, dia seperti boneka yang sedang dikendalikan sesuatu. Semakin lama semakin terdengar suara debur ombak dari kejauhan, Abe berhenti sejenak.
“Itu pantai, ya?” Abe meruncingkan telinganya dengan telapak tangan.
Gilang tidak menoleh, juga tidak menjawab. Ia malah terus melangkah lurus ke depan. Tanpa menunggu jawaban Gilang, Abe bergegas jalan kembali.
Sebelum masuk ke pantai, Gilang berbelok arah ke kanan, memasuki jalan setapak ke hutan. Tidak jauh dari sana, akhirnya Abe melihat sebuah rumah gubuk yang atapnya terbuat dari rumbia. Di depan rumah itu ditancapkan dua buah obor yang menyala dengan tenang. Ada seekor anjing liar yang sedang tertidur tidak jauh dari sana, anjing itu terbangun saat mendengar seseorang yang datang lalu menguik, pergi ketakutan.
ADVERTISEMENT
Setibanya di halaman rumah, Gilang berhenti. Seseorang kemudian terdengar membukakan pintu, itu Ki Bamantara ia tersenyum ke arah Abe. Seperti biasa, Ki Bamantara mengenakan baju hitam dan celana hitam semata kaki. Rambutnya sudah putih semua, tapi giginya masih lengkap.
“Masuk, Nak,” kata Ki Bamantara dengan ramah.
Abe sempat menoleh ke arah Gilang.
“Biarkan dia di luar. Gilang memang suka tidur di sana,” kata Ki Bamantara.
Gilang duduk di atas tanah sambil memegangi kedua jempol kakinya, kepalanya mendongak ke langit, memandangi bulan, tubuhnya ia goyangkan perlahan seperti sedang bernyanyi di dalam hati. Abe bingung, apakah si Gilang ini sudah gila?
“Ki, tahu dari mana kalau aku akan datang ke Balangandang?”
ADVERTISEMENT
Ki Bamantara malah tertawa, mereka duduk di atas kursi kayu yang reot.
“Setiap bulan dan di hari yang sama, aku memang sering kedatangan tamu dari luar,” kata Ki Bamantara.
Abe mengangguk, kedua matanya memperhatikan sekeliling. Walau rumah Ki Bamantara itu gubuk, tapi di dalamnya cukup besar. Ada tiga kamar dan satu dapur. Hanya saja rumah itu masih beralaskan tanah, membuat Abe harus tetap menggunakan sepatunya. Dari dapur, muncul Ngartasih membawa guci kecil yang berisi air minum dan dua gelas yang terbuat dari potongan bambu.
“Nah, ini istriku, Ngartasih,” Ki Bamantara menyentuh bahu istrinya.
Ngartasih mengenakan baju kebaya, rambutnya berwarna hitam berselang putih. Walau sudah tua, tapi ia tetap terlihat bugar.
ADVERTISEMENT
“Silakan diminum,” Ngartasih tersenyum ke arah Abe.
“Iya terima kasih, Nek,” timpal Abe.
“Jadi begini Ki. Maksud kedatangan saya ke sini ingin belajar ilmu begal. Kata teman saya Bang Ali katanya dulu pernah belajar ilmu itu pada Ki Bamantara,” dengan sopan Abe menyampaikan maksud dan tujuannya.
“Oh ya Ali, aku ingat. Memang banyak orang yang mau belajar ilmu itu, tapi sedikit sekali yang berhasil meraihnya,”
“Apakah syaratnya berat, Ki?” Abe terkejut lantaran Ali tidak bercerita tentang syarat yang harus dipenuhi.
“Tergantung orang yang menjalankannya. Bisa terasa berat bisa juga menjadi mudah,” Ki Bamantara melinting tembakau lalu menyalakannya.
“Memang apa syaratnya, Ki?”
“Nanti satu persatu aku kasih tahu. Yang jelas ada tiga syarat yang harus kamu penuhi. Malam ini, kamu istirahat saja dulu, ya.”
ADVERTISEMENT
“Bagaimana kalau saya gagal memenuhi syarat itu, Ki?”
“Mati. Risikonya mati,” jawab Ki Bamantara sambil mengepulkan asap rokoknya.
Bagi Abe, apalah arti sebuah risiko. Dia seorang begal yang sudah biasa mempertaruhkan nyawanya demi uang. Sekarang demi wanita, dia akan mempertaruhkan apa pun. Bahkan, kalau ada yang lebih berharga dari nyawa pasti dia akan pertaruhkan.
Argghhhh...!” terdengar suara lenguh seorang lelaki dari luar, Abe tahu itu suara Gilang.
Buru-buru Abe mengintipnya dari celah jendela, ia terkejut dengan apa yang dilihatnya. Gilang sedang berkelahi dengan seorang lelaki, entah siapa. Mereka seperti harimau liar yang bertarung satu sama lain, berguling-guling di atas tanah. Wajah gilang sudah berdarah, sedangkan lawannya terlihat belum terluka sama sekali.
ADVERTISEMENT
Gilang berteriak, saat lawannya menggigit telinga gilang sampai berdarah. Abe bergegas keluar bermaksud menolong Gilang, tapi Ki Bamantara melarangnya.
“Biarkan saja. Mereka memang sering bertengkar,” Ki Bamantara menghadang Abe dengan tangan kanannya.
Ngartasih,” panggil Ki Bamantara dengan nada halus.
Yang dipanggil sudah mengerti, Ngartasih membawa sebaskom nasi basi lalu berjalan keluar rumah. Ia menaburkan nasi basi itu di hadapan dua lelaki yang sedang berkelahi, mereka kemudian berebut memakan nasi itu seperti seekor bebek.
Abe menelan ludahnya sendiri, ada yang aneh di sini. Abe menyadari itu.
Nantikan cerita Ilmu Begal selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten