Mbah Ngesot

Mall Angker Jakarta: Merantau (Part 1)

31 Maret 2020 14:58 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mall Angker Jakarta. Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mall Angker Jakarta. Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
ADVERTISEMENT
Namaku Inun. Aku tuh dari desa. Setelah lulus SMA, aku tidak punya biaya untuk kuliah. Maklumlah orangtuaku hanya seorang petani dan mereka berdua sudah lanjut usia. Sebenarnya, Abah mau jual kebun untuk biaya pendaftaran kuliahku, tapi aku tidak sampai hati kalau Abah harus menjual kebun satu-satunya demi aku. Oya, aku punya dua kakak, satu perempuan dan satu lagi laki-laki. Mereka semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari desa.
ADVERTISEMENT
Melihat keadaan orangtuaku, aku memutuskan untuk kerja saja ke Jakarta. Kerja apa pun asal halal, syukur-syukur kalau aku bisa menyisihkan uang untuk biaya kuliah.
Sore itu gerimis mengguyur desaku, Bi Risma berkunjung ke rumah. Dia adalah bibiku, katanya ada lowongan pekerjaan di Jakarta tempatnya bekerja, jadi pelayan di sebuah restoran.
Tentu saja aku senang dan langsung menerima tawaran itu. Abah dan Ambu juga mengizinkanku pergi ke di Jakarta, apalagi kalau yang mengajaknnya adalah bibiku sendiri.
“Kalau gaji lumayan lah dua juta lima ratus ribu per bulan, tapi itu juga bisa naik kalau Inun kerjanya bagus,” Bi Risma menjelaskan pada kedua orangtuaku.
Aku menyuguhkan teh hangat ke hadapannya. Dia duduk di atas kursi plastik, sementara kedua orangtuaku duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu. Walau rumahku sudah dibangun menggunakan tembok, tapi lantainya masih tanah. Kami belum ada dana untuk melanjutkan pembangunan. Jadinya di dalam rumah, kami harus menggunakan sendal.
ADVERTISEMENT
“Inun nanti tinggal sama kamu?” tanya Abah.
“Iya, nanti tinggal sama Risma aja Bah. Kebetulan kontrakan Risma luas.”
Kebetulan bibiku menjanda, dia diceraikan suaminya setahun lalu. Suaminya selingkuh dengan janda kaya di desa sebelah. Terpaksa Bi Risma harus merantau ke Jakarta demi menafkahi anaknya yang masih bayi.
“Iya Ambu mah titip kalau Inun masuk angin tolong dikerik dia udah biasa dikerik orangnya.”
“Tenang saja Mbu, Risma dari dulu sudah anggap Inun ini adik Risma sendiri.”
Bi Risma tersenyum.
“Diminum Bi tehnya,” kataku.
Besoknya aku pamit, berat rasanya meninggalkan kedua orangtuaku yang sudah tua. Tapi, bagaimana aku harus bekerja agar bisa kuliah. Sebelum berangkat, Abah membekaliku sebuah jimat, katanya buat jaga-jaga saja. Jimat itu sebesar koin lima ratusan dan dibungkus dengan kain warna hitam. Abah menyuruhku untuk menyelipkannya di dalam dompet. Aku manut saja apa kata Abah.
ADVERTISEMENT
Saat itu belum ada KRL jalur Rangkasbitung ke Jakarta, aku dan bibi masih naik kereta api biasa yang dipadati penumpang. Bukan hanya penumpang yang berjubel, tapi juga banyak para pedagang asongan, pengemis, preman, atau bahkan copet. Dulu itu, kereta api menjadi lapak basah bagi para penjahat. Kejahatan seksual dan pencopetan pasti terjadi setiap hari.
Untung saja, aku dan bibi kebagian tempat duduk. Kami duduk di dekat jendela, dari jendela kereta itu terlihat hamparan sawah membentang, pohon-pohon berjejer di pinggiran rel. Lamunanku melayang pada masa-masa SMA, tidak terasa ternyata takdir melemparkanku ke Jakarta.
“Inun?” tiba-tiba Bi Risma membuyarkan lamunanku.
“Iya Bi?”
“Mau es?”
Kulihat pedagang es teh manis asongan berdiri di samping tempat duduku.
ADVERTISEMENT
“Mau Bi.”
“Dua ya, Bang,” kata Bibi pada pedagang itu.
Selang satu jam, kami tiba di stasiun Tanah Abang. Orang-orang berhamburan keluar dari dalam kereta seperti ratusan semut yang keluar dari sarangnya. Mereka berebut tangga, berdesakan. Tidak seperti aku dan bibi yang santai saja menunggu di dalam kereta, bibiku malas kalau harus berdesakan seperti itu. Setelah bibi memastikan tangga itu lengang, kami keluar dari kereta. Di luar ada seorang lelaki yang menghampiri bibiku, ia memeluk bibi di depan umum tanpa malu-malu. Mungkin saja itu pacar barunya bibi.
“Kenalkan ini Inun saudaraku,” Bi Risma menyentuh pundakku.
“Hai, Inun,” sapa lelaki itu. Perawakannya kurus, rambutnya pendek, ada luka gores di pipinya.
ADVERTISEMENT
“HaiKak, salam kenal,” aku menjabat tangannya. Aneh! Telapaknya terasa panas, tanganku seperti dibakar. Kugibaskan secepat mungkin jabat tangannya.
“Kenapa?” tanya Bibi.
Napasku terengah-engah, aku menggelengkan kepala, “Nggak apa-apa, Bi.”
Nantikan cerita Mall Angker Jakarta selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten