Mbah Ngesot

Pamali: Bapak Hidup Lagi? (Part 1)

3 Februari 2020 17:24 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pamali Foto: Masayu Antarnusa
zoom-in-whitePerbesar
Pamali Foto: Masayu Antarnusa
ADVERTISEMENT
Pamali. Ya, kata itu yang diucapkan Mang Roi saat ibu mau menginapkan jenazah bapak karena hujan deras mengguyur kampungku malam itu. Bapak meninggal tidak wajar, tanpa sakit, tidak ada kecelakaan, dia tidur di atas kasurnya dan tidak pernah bangun kembali. Dokter bilang bisa jadi kematian bapak karena serangan jantung. Entahlah, yang jelas aku sedih waktu itu, tapi yang membuatku lebih sedih lagi adalah, tidak ada seorang pun yang sudi melayat ke rumahku. Hanya Mang Roi, dia kakak dari bapakku, yang ikut berkabung di rumah. Waktu bapak meninggal, umurku baru 15 tahun, sedangkan adik laki-lakiku baru berumur 7 tahun. Ibu sangat terpukul dengan kematian bapak. Tulang punggung keluarga kami hilang, dan anak-anaknya masih butuh sosok seorang bapak.
ADVERTISEMENT
Waktu itu, Mang Roi memandikan jenazah bapak di halaman belakang rumah. Anehnya warga kampung hanya lalu-lalang sambil melempar pandang penuh kebencian ke arah jenazah bapak. Kain batik dibentangkan sebagai sekat untuk pemandian. Tubuh bapak yang kurus dibaringkan di atas tiga buah batang pisang. Aku menyaksikannya dengan wajah penuh kesedihan, perlahan Mang Roi mengguyurkan air ke tubuh bapak, menggosok dengan sabun batangan, diusapnya bagian vital, sungguh aku terharu melihat Mang Roi yang begitu telaten merawat jenazah bapakku.
Selesai dimandikan, ia juga yang mengkafani, sesekali aku membantunya mengikatkan tali. Ibu dan adikku terisak melihat jenazah bapak. Saat sudah dikafani, jenazah bapak dibawa ke ruang tamu yang lebih luas dan dibaringkan di atas kasur. Mang Roi menoleh ke arah pintu, mungkin saja dia berharap ada yang datang untuk melayat. Namun, sampai matahari sempurna jatuh, tidak satu orang pun di kampung ini yang mau melayat ke rumahku.
ADVERTISEMENT
"Ada yang bisa ngaji di sini?"
Sambil terisak ibu menjawab, "Tidak ada, Mang."
Keluargaku memang jauh dari pendidikan agama. Tidak seorang pun yang bisa mengaji.
"Alvin, bantu mamang berdoa buat bapak kamu, ya," Pinta Mang Roi. Aku mengangguk.
"Ya Allah ampunilah dosa yang telah Pak Abu lakukan di dunia...."
"Mang, kok pake bahasa Indonesia?" Tanyaku heran.
"Kau memangnya tahu Tuhan berbahasa apa?" Timpal Mang Roi.
"Sudah ikuti saja kata mamangmu, Vin," ibu mengusap pundakku.
Aku mengangguk.
"Ya Allah ampunilah dosa yang telah Pak Abu lakukan di dunia. Tempatkanlah dia di surgamu. Amin."
"Amin," sahutku dan ibuku.
Tidak ada solat jenazah untuk bapak. Ia hanya didoakan menggunakan bahasa Indonesia. Sungguh aku sangat sedih.
ADVERTISEMENT
Sebuah keranda yang dipinjam Mang Roi dari musala kampung sudah disiapkan. Dia akan pergi meminta tolong orang yang mau berbaik hati menggotong jenazah bapakku. Sementara untuk liang kubur, Mang Roi sudah menggalinya sendirian tadi siang. Kebetulan kuburan di kampungku lumayan jauh. Harus melewati perkebunan, pesawahan, hutan, dan menyeberang sungai. Aku tidak tahu kenapa warga kampung tidak mau membuat pemakaman umum yang lebih dekat dengan kampung. Terkadang bagiku mereka itu aneh.
"Mang, ini sudah malam. Apa sebaiknya jenazah bapak kita kubur besok pagi saja," kata ibu, kedua matanya sembap.
"Pamali, Tia. Jenazah itu harus dikubur secepatnya, jangan diinapkan."
Tiba-tiba saja terdengar suara petir menggelegar. Hujan pun turun dengan deras. Dari tadi cuaca memang sudah mendung.
ADVERTISEMENT
"Ini sudah malam dan hujan pula. Besok sajalah Mang kuburnya."
Mang Roi terlihat bingung.
"Kita tunggulah hujan reda saja. Kalau sudah reda, kita lekas kubur jenazahnya."
Sayangnya hujan tidak kunjung reda sampai larut malam. Pintu rumah dibiarkan terbuka, keranda tergeletak di beranda. Mang Roi tertidur di samping jenazah, begitu pun ibu dan adikku. Mereka tampak kelelahan. Sedangkan aku masih terjaga melihat jenazah bapak yang sudah rapi dipocongi. Kedua hidungnya dicocoki kapas, wajahnya sangat pucat dan terlihat kering. Semakin lama, kantuk menggelayuti mataku. Hingga akhirnya aku tertidur juga.
Tengah malam aku terbangun karena digigiti nyamuk dan melihat ada yang berbeda dari jenazah bapak, dengkulnya menekuk. Perlahan aku tekan sekuat tenaga agar lurus lagi. Kukecup kening bapak, banyak kenangan yang aku habiskan bersamanya. Kemudian, aku tidur kembali. Entah pada jam berapa, lagi-lagi aku terbangun. Kali ini aku sangat terkejut melihat jenazah bapak menghilang. Segera aku menoleh ke sekeliling, tepat di mulut pintu, kulihat bapak yang masih mengenakan kafan berdiri di sana sambil menghadap ke luar rumah. Kepalanya terlihat mendongak ke atas.
ADVERTISEMENT
"Bapak hidup lagi?" Tanyaku sambil tersenyum ragu.
Perlahan aku mendekat. Kulihat di luar kabut sedang pekat-pekatnya menyelimuti kampung, sedangkan hujan sudah reda.
"Pak?" Tanyaku sambil terus melangkah.
Aku menyentuh kafannya, bapak tetap mematung. Tubuhnya kaku dan keras sekali. Dapat kurasakan seperti menyentuh batang pohon.
"Alvin senang bapak hidup lagi," kupeluk tubuh bapak yang keras itu.
"Hampura abdi," kata bapak lirih. Suaranya seperti hendak menangis.
Aku mengerti ucapan bapak yang menggunakan bahasa sunda itu. Artinya, maafkan aku. Tapi, minta maaf untuk apa?
"Alvin!" Mang Roi bangun dan meneriakiku.
Disusul ibu yang masih dalam keadaan kantuk juga berteriak panik. Seketika tubuh bapak lunglai dan terjatuh ke lantai. Matanya melotot, mulutnya menganga. Segera Mang Roi membuka ikatan kafan di bagian kepalanya bapak.
ADVERTISEMENT
Nantikan cerita Pamali selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten