Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1


ADVERTISEMENT
Menjelang magrib, Bima sudah sampai di Mojosari. Ia memperlambat laju mobilnya. Ia heran karena kampung Mojosari sangat sepi.
ADVERTISEMENT
Kampung itu seperti ditinggalkan warganya. Kabut tebal menghalangi laju mobil Bima. Ia berusaha untuk menemukan seseorang di kampung itu. Tapi, yang dia lihat hanya kawanan anjing melintas di depan mobilnya.
Setibanya di depan rumah Anjani, Bima keluar dari mobil. Ia harus menggunakan senter untuk menerangi jalannya karena kabut begitu pekat. Bima heran. Ada apa dengan kampung Mojosari ini?
“Bu?” kata Bima sambil mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban dari si pemilik rumah.
“Pak?” Bima mengetuk kembali pintu itu.
Ia lalu menggenggam gagang pintu rumah itu dan ternyata pintunya tidak dikunci. Perlahan Bima masuk sambil terus memanggil orang tua Anjani.
Di lantai rumah itu ada genangan air dan daun sirih yang berserakan. Bima memeriksa setiap kamar. Tapi, ia tidak menemukan siapa pun.
ADVERTISEMENT
“Ke mana mereka?” gumam Bima.
Dia pergi ke halaman belakang rumah sambil berteriak memanggil orang tua Anjani. Di belakang rumah itu, samar-samar cahaya senternya menyoroti seseorang yang sedang duduk sila membelakangi Bima. Itu seperti lelaki yang sedang bertapa.
“Pak?” dengan hati-hati Bima mendekati lelaki itu.
Semakin dekat wujud lelaki itu semakin jelas. Ia mengenakan baju dan celana panjang warna hitam. Ia juga mengenakan blangkon bermotif batik warna kuning.
“Ke mana perginya warga kampung ya?” tanya Bima. Tapi, lelaki yang duduk sila di hadapannya itu tidak menjawab. Bahkan, bergerak pun tidak.
Bima menyentuh pundak lelaki itu. Seketika tubuhnya lunglai dan jatuh terjatuh di atas semak-semak. Ternyata itu adalah bapak mertua Bima alias ayah Anjani. Lelaki itu sudah tidak bernyawa. Keadaannya sangat mengenaskan. Kedua bola matanya hilang. Ada lubang berukuran setelunjuk jari di bagian lehernya.
ADVERTISEMENT
Melihat kejadian itu, Bima kaget sampai terjungkal. Napasnya terengah-engah. Ia bergegas pergi dari sana. Dengan panik ia lari menuju rumah Ki Suratman. Bima agak kesulitan mencari jalan. Kabut itu membatasi jarak pandangnya.
Dengan susah-payah, akhirnya Bima tiba di rumah Ki Suratman. Rumah itu juga tidak dikunci. Bima menerobos masuk sambil memanggil nama Ki Suratman dengan nada tinggi. Di lantai rumah Ki Suratman juga ada genangan air dan daun-daun sirih yang berserakan. Dengan tergesa-gesa, ia membuka pintu kamar Ki Suratman.
Di dalam kamar itu ada Ki Suratman yang sedang khidmat melakukan sebuah ritual. Ia duduk sila sambil mengacungkan keris pusakanya ke langit. Kedua matanya terpejam, bibirnya bergetar mengucapkan mantra.
ADVERTISEMENT
“Ki?” sapa Bima sambil pelan-pelan mendekati Ki Suratman.
Bima menyentuh pundak lelaki itu. Seketika saja Ki Suratman tersentak kaget.
“Kanti iblis!” kalimat itu otomatis keluar dari mulut Ki Suratman.
Ia panik sambil mengamuk. Untung saja Bima bisa menenangkan Ki Suratman.
“Tenang, Ki. Tenang! Ini saya, Bima.”
“Bi… Bima. Ngapain kamu di sini?” tanya Ki Suratman.
“Saya mau cari ibu mertua saya, Ki. Mereka ke mana? Ada apa dengan Mojosari ini, Ki? Kenapa bapak mertua saya mati?” tanya Bima bertubi-tubi.
“Si Kanti, ini semua gara-gara Kanti!" jawab Ki Suratman dengan getir.
“Selama ini si Kanti juga menerorku, Ki," kata Bima.
Ki Suratman tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tatap wajahnya kosong.
ADVERTISEMENT
“Apa warga kampung ini semuanya mati, Ki?” Bima masih berusaha mencari tahu tentang Mojosari.
“Sebagian mati, tapi masih ada yang selamat. Mereka semua sudah mengungsi.”
Sebelum Bima bertanya kembali, tiba-tiba terdengar suara rombongan orang. Mereka menyanyikan lagu berbahasa Jawa.
“Mereka datang,” kata Ki Suratman. Wajahnya sangat cemas.
“Mereka siapa?” Bima mengerutkan dahi.
Karena penasaran, ia tengok rombongan orang itu dari balik jendela. Betapa terkejutnya Bima saat melihat ada sebuah arak-arakan tanpa wujud. Di atas arak-arakan itu ada saung kecil yang hanya muat satu orang. Di saung itu ada si Kanti yang sedang duduk sambil menatap lurus ke depan.
Bima heran. Arak-arakan itu berjalan sendiri tanpa ada yang menggotong. Kanti menoleh ke arah Bima. Wanita itu tidak tersenyum sedikit pun. Tatapannya datar dan begitu dingin. Itu membuat Bima menjauh dari jendela.
ADVERTISEMENT
“Jangan dilihat!” bisik Ki Suratman.
____
Nantikan cerita horor Pengantin Jawa selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: