part 5_square(3).jpg

Pocong Tetangga: Warteg Pesugihan (Part 5)

28 Mei 2020 12:25 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pocong tetangga. Foto: Massayu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pocong tetangga. Foto: Massayu/kumparan
ADVERTISEMENT
“Hanya gelas yang jatuh,” Amprung mengelus dadanya, botol itu ternyata masih aman.
ADVERTISEMENT
Ia mengambil botol tersebut lalu menaruhnya kembali ke dalam lemari. Malam itu mereka tidur dengan ditemani suara dari dalam botol yang sangat mengganggu. Besok pagi, Amprung akan mendatangi kembali Mbah Goto, siapa tahu dia bisa mengatasi masalah ini. Kalau bisa, rasanya Amprung ingin memberikan saja botol itu pada Mbah Goto. Dia sudah tidak sanggup menyimpannya lagi.
Keesokan harinya, Amprung mendatangi rumah Mbah Goto. Seperti biasa dukun itu sedang santai di atas sofanya. Mbah Goto ini tidak terlihat seperti dukun pada umumnya, lebih seperti orang biasa yang hobi menonton TV.
“Kau simpan saja di rumah. Eh kau tahu, pocong dalam botol itu bisa buat kamu kayak,” kata Mbah Goto.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana caranya, Mbah?”
“Kamu coba buka warteg. Letakkan botol itu di dapur, dagangan kamu pasti laris.”
“Nggak ada modalnya, Mbah.”
Mbah Goto menggelengkan kepala. Ia bangkit dari duduknya lalu mengambil sebuah kardus dari dalam lemari. Di dalam kardus itu terdapat tumpukan uang seratus ribuan, entah berapa jumlahnya. Ia menghitung beberapa lembar uang lalu menyerahkannya pada Amprung.
“Ini tiga juta. Kau buka warteg di pasar Kliwon.”
“Serius, Mbah?”
“Iya, ambil saja. Aku senang kalau bisa bantu orang. Hati-hati jangan sampai botolnya pecah, kau jaga baik-baik.”
“Terima kasih Mbah,” Amprung berkali-kali mencium tangan Mbah Goto.
***
Tanpa banyak pikir lagi, Amprung menyewa sebuah kios di pasar Kliwon. Kios itu ia dapatkan dari teman berjudi, harganya sudah dinego habis-habisan sehingga bisa dibayarkan perbulan dan cukup murah. Biaya sewanya hanya lima ratus ribu perbulan.
ADVERTISEMENT
Tika akhirnya beralih profesi menjadi penjaga warteg. Hari pertama buka, ia tidak masak terlalu banyak karena takut tidak habis. Nyatanya baru tiga jam buka, dagangan Tika sudah ludes. Wartegnya ramai pengunjung. Botol itu benar-benar mendatangkan keberuntungan.
“Masak lagi, Tik,” pinta Amprung.
“Iya Pak. Mumpung lagi ramai pembeli.”
“Kita bakal jadi orang kaya!” wajah Amprung semringah.
Sebenarnya ada yang aneh dari masakan Tika. Menurut salah satu pelanggan, kalau mereka makan di warteg itu rasanya sangat enak dan nikmat, tapi kalau makanannya dibungkus dan dibawa ke rumah rasanya jadi hambar. Kurang enak.
Walau pun begitu pelanggan warteg Amprung semakin lama semakin banyak. Dari bulan ke bulan, usaha wartegnya semakin maju. Ia meraup keuntungan yang besar sehingga bisa membayar karyawan. Tidak ada orang yang tahu kalau di dapur warteg itu ada botol pocong yang menjadi alat pesugihan mereka. Setiap malam botol itu masih berusuara, namun tidak ada orang yang menyadarinya.
ADVERTISEMENT
“Pak, sebaikya kita kembali saja uang yang pernah kamu curi.”
“Jangan Tika. Kau ini bodoh! Nanti pocongnya malah pergi. Dagangan kita gimana?”
Tika tertunduk, Amprung mengelus bahu istrinya.
“Kau jangan khawatir selama pocong itu dikurung, kita pasti baik-baik saja. Dan yang terpenting....”
Amprung mendekatkan mulutnya ke telinga Tika, “Dagangan kita laris,” bisiknya.
***
Suatu hari, ada kegaduhan di wartegnya Amprung. Seorang anak laki-laki indigo mengamuk saat ayahnya hendak mampir di wartegnya Amprung. Ia tidak mau masuk ke dalam warteg itu lantaran melihat banyak sekali makhluk gaib di dalamnya.
“Ayah mau makan dulu sebentar, Nak.”
“Nggak mau Ayah. Jangan makan di situ,” ia menunjuk ke dalam warteg Amprung. Dari perawakannya, dapat dilihat kalau anak itu baru berumur enam tahun.
ADVERTISEMENT
“Nggak apa-apa sebentar doang, kok. Abis ini kita pulang,” ayahnya menarik lengan anak itu.
“Nggak Yah. Lihat itu banyak setannya. Itu di piring juga banyak cacing!”
Akhirnya ayahnya menuruti kemauan anak itu, ia tidak jadi makan di wartegnya Amprung. Para pelanggan pun kehilangan nafsu makannya. Buru-buru membayar dan pergi tanpa menghabiskan makanan.
Nantikan cerita Pocong Tetangga selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten